Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Tidak ada ruginya aku mengalami pengulangan waktu," pikir Reixa. Mata hijaunya berbinar-binar saat memandang Saverio. Dengan ide gilanya yang tak terbendung, ia berhasil memaksa pria itu membeli sebuah perusahaan kecil yang nyaris bangkrut. Kini, Saverio resmi menjadi pemilik perusahaan tersebut.
"Aku tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku akan merebut semua hal berharga yang kini menjadi milikku dan orang-orang baik yang diabaikan. Jadi, selamat datang, kalian orang-orang yang kerja kerasnya pernah disia-siakan!" pekik Reixa dalam hati, senyum kecil tersungging di wajahnya saat menatap beberapa orang yang duduk di ruang rapat perusahaan itu.
Mereka adalah orang-orang yang pernah ia kenal dalam kehidupannya yang lalu, wajah-wajah yang kelak akan mengalami nasib tragis akibat permainan kotor pesaing bisnis—terutama dari beberapa mantan suami Reixa di masa depan. Kali ini, ia bertekad untuk mengubah nasib mereka.
"Saya mewakili Reixa, memutuskan untuk mengambil alih perusahaan ini. Saya berharap kalian bisa bekerja dengan baik dan jujur, mengutamakan sikap profesional serta etika kerja. Kemajuan perusahaan tidak hanya bergantung pada produk berkualitas, tetapi juga pada attitude yang baik. Percuma bekerja di bawah naungan perusahaan besar jika sikap kalian merusak reputasi. Itu sama saja menghancurkan semuanya," ujar Saverio dengan tegas.
Di dalam hati, pria itu tidak berhenti mengomel pada gadis kecil yang kini duduk manis di pangkuannya. Ia masih mengingat betapa ngototnya Reixa, memaksanya membeli perusahaan ini—bahkan sampai tantrum habis-habisan. Bocah itu tidak hanya memaksanya, tetapi juga menyertakan pidato yang harus ia pelajari demi kelancaran rapat hari ini. Dan sayangnya, bocah ini sekarang sudah resmi menjadi putri angkatnya. Mau tidak mau, Saverio harus mengikuti permainan kecil Reixa.
"Untuk posisi direktur, kita tetapkan pemilik perusahaan sebelumnya. Sementara itu, saya ingin semua pihak bekerja sama membantu peluncuran produk terbaru. Ini adalah langkah awal kebangkitan perusahaan," lanjut Saverio dengan nada tegas, melirik sekilas pada Reixa yang tersenyum puas di pangkuannya.
"Bagus sekali, Ayah. Kau pandai seperti yang aku harapkan," bisik Reixa kecil dengan nada penuh kepuasan. Saverio hanya bisa mendesah pelan, mengusap pelipisnya. Bagaimanapun, di balik wajah polos gadis kecil ini, tersembunyi rencana besar yang sulit ditebak. Dan entah bagaimana, Saverio tahu, ini baru awal dari semua kegilaan yang akan ia hadapi.
Rapat itu berakhir dengan sukses. Saverio menghela napas panjang, merasa dirinya tak lebih dari boneka yang dimainkan oleh gadis kecil yang kini duduk nyaman di pangkuannya. Beberapa karyawan tampak lega dengan kepastian posisi mereka, sementara yang lain masih cemas, menyadari bahwa mereka harus membuktikan diri di bawah kepemimpinan yang baru.
Saat mereka keluar dari ruang rapat, Reixa menoleh ke Saverio dengan senyum lebar dan mata berbinar penuh antusiasme. "Ayah, aku ingin kita segera memulai proyek pertama kita. Aku punya ide brilian yang pasti akan sangat diminati di masa depan."
Saverio menatap gadis kecil itu dengan raut skeptis, sudut bibirnya sedikit terangkat seolah menahan tawa. "Rei, kau sadar kau baru sepuluh tahun, kan? Apa kau benar-benar paham dunia bisnis?"
Reixa mengerucutkan bibirnya, menunjukkan wajah kesal. "Ayah selalu underestimate aku," balasnya sambil menyilangkan tangan di dada. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kau pikirkan, Ayah. Kau akan lihat nanti!"
Saverio menghela napas berat, mengangkat kedua tangan seolah menyerah. "Baiklah, Rei. Jadi, apa rencana gilamu kali ini?"
Dengan penuh percaya diri, Reixa mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya yang dihiasi stiker-stiker lucu. Dia membuka halaman yang penuh dengan tulisan dan coretan warna-warni. "Kita akan memproduksi alat-alat elektronik ramah lingkungan," katanya dengan nada serius. "Dalam beberapa tahun ke depan, teknologi ini akan jadi tren besar."
Saverio mengangkat alis, kini terlihat sedikit lebih serius. "Ramah lingkungan, ya? Itu ide bagus, tapi butuh modal besar. Rei, kita baru saja mengambil alih perusahaan yang hampir bangkrut. Kau yakin ini waktunya?"
Reixa mengangguk mantap. "Aku yakin, Ayah. Kita punya waktu untuk mengembangkan ide ini perlahan. Yang penting, kita mulai sekarang sebelum orang lain mendahului kita."
Saverio menatap gadis kecil itu dalam diam, merenungkan jawabannya. Dia tahu Reixa bukan anak biasa, tapi melihat semangatnya yang membara membuatnya tak tega menolak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau itu yang kau inginkan, kita coba. Tapi kau harus janji, kau tidak akan terlalu memaksakan diri. Aku yang akan mengurus detailnya, sementara kau tetap jadi anak kecil yang menikmati hidupmu."
Senyum Reixa melebar, dia menggenggam tangan Saverio erat. "Terima kasih, Ayah. Kau memang yang terbaik!" katanya riang.
Saat mereka melangkah keluar dari gedung, Saverio melirik gadis kecil itu dengan senyum kecil. Di satu sisi, dia khawatir Reixa terlalu cepat terjun ke dunia yang penuh tekanan ini. Tapi di sisi lain, dia tak bisa mengabaikan binar di mata gadis kecil itu, tanda bahwa dia benar-benar percaya pada idenya.
Dalam hati, Reixa bersorak penuh semangat. Ini baru langkah awal dari rencana besar yang telah ia susun. Kali ini, dia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan impian dan usahanya—tidak di kehidupan ini.
✨
Seiring berjalannya waktu, Reixa tumbuh menjadi remaja cantik dengan sejuta prestasi yang membanggakan. Kepintarannya sering kali membuat Saverio terdiam, tak tahu harus berkata apa. Gadis kecil yang dulu selalu duduk di pangkuannya kini telah menjelma menjadi seorang remaja yang tangguh dan penuh percaya diri.
"Ayah, sedang apa?" tanya Reixa suatu sore, berjalan mendekat dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. Dia menemukan Saverio duduk di ruang kerja, tampak serius memegang sebuah bola kaca di tangannya. Saverio, yang kini resmi menjadi seorang paranormal terkenal, tetap terlihat muda meski usianya telah mendekati kepala empat.
Saverio hanya melirik sekilas ke arah Reixa, lalu kembali menatap bola kaca di tangannya. "Meramal cuaca," jawabnya singkat dengan nada acuh tak acuh.
Reixa mengerutkan kening, lalu meletakkan tangannya di pinggul. "Bukankah sudah ada aplikasi ramalan cuaca, Ayah?" katanya dengan nada setengah mengomel. "Apa Ayah sedang mencoba mengetes kemampuan? Atau Ayah sekadar bosan? Kalau begitu, mari kita lihat mana yang lebih akurat," lanjutnya dengan senyum menggoda yang khas.
Saverio menghela napas panjang, meletakkan bola kaca di atas meja. "Kau ini selalu saja meremehkan kemampuan Ayah," balasnya dengan nada sarkastik, tapi sudut bibirnya terangkat, menandakan dia sebenarnya menikmati celotehan putri angkatnya itu.
Reixa tertawa kecil, melipat tangan di dadanya. "Bukan meremehkan, Ayah. Hanya memastikan. Kalau Ayah kalah akurat dari aplikasi cuaca, aku mungkin harus mempertimbangkan untuk merekrut Ayah jadi peramal di festival sekolahku saja," ucapnya sambil menyeringai.
Saverio menatapnya tajam, tapi hanya sejenak. Dia tahu, Reixa selalu punya cara untuk memutarbalikkan kata-katanya. "Kalau begitu, tunggu saja. Cuaca besok cerah di pagi hari dan hujan deras di sore hari," ucapnya dengan nada menantang.
Reixa mengangkat alis, menyalakan ponselnya untuk memeriksa aplikasi cuaca. "Aplikasi bilang besok hujan sepanjang hari. Kita lihat siapa yang benar," katanya sambil tersenyum penuh percaya diri.
Saverio menggelengkan kepala, menyadari bahwa tidak peduli berapa usia Reixa, gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya terjebak dalam perdebatan kecil yang konyol tapi menghibur.
Keesokan harinya, Reixa menatap jendela apartemen mereka dengan tangan terlipat, menatap ke luar dengan penuh perhatian. Matahari bersinar terang di pagi hari, sama persis seperti yang dikatakan Saverio. Dia melirik sekilas ke arah pria yang tengah menikmati secangkir kopi di meja dapur, dengan ekspresi kemenangan yang terpancar jelas di wajahnya.
"Masih pagi, Ayah," gumam Reixa dengan nada menggoda. "Kita lihat saja apakah sore nanti hujan benar-benar turun. Jangan terlalu cepat merasa menang."
Saverio hanya tersenyum tipis. "Kau terlalu bergantung pada teknologi, Rei. Kadang, insting manusia lebih akurat daripada mesin," balasnya sambil menyeruput kopinya dengan santai.
Hari terus berjalan, dan seperti ramalan Saverio, langit yang cerah di pagi hari mulai berubah mendung di siang hari. Reixa, yang awalnya merasa yakin akan kemenangan aplikasinya, kini mulai merasa gugup. Dia berdiri di depan jendela, memperhatikan awan gelap yang perlahan-lahan berkumpul.
Pada akhirnya, tepat saat sore tiba, hujan deras mengguyur tanpa ampun. Reixa memandangi pemandangan itu dengan mulut sedikit terbuka, sementara Saverio berjalan mendekat, berdiri di sampingnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Jadi, bagaimana?" tanya Saverio dengan nada menggoda. "Apa Ayah harus mulai mengisi posisi sebagai peramal cuaca di festival sekolahmu?"
Reixa mendesah berat, menoleh ke arahnya dengan ekspresi pura-pura kesal. "Ayah menang kali ini. Tapi jangan lupa, aplikasi itu juga buatan manusia. Jadi, secara teknis, teknologi tetap hasil dari kecerdasan manusia," ucapnya mencoba membalikkan situasi.
Saverio tertawa kecil, mengacak rambut Reixa dengan lembut. "Kau ini memang selalu punya cara untuk menang dalam argumen, ya?" katanya. "Tapi ingat, Rei, teknologi mungkin membantu, tapi insting dan pengalaman tidak bisa digantikan."
Reixa tersenyum kecil, meski dalam hati masih merasa sebal. "Baiklah, Ayah. Kali ini aku kalah. Tapi jangan terlalu bangga dulu. Lain kali aku pasti akan membuktikan kalau teknologi tetap yang terbaik."
Saverio mengangguk dengan ekspresi puas. "Kita lihat saja nanti, Rei. Tapi untuk sekarang, bagaimana kalau kita nikmati hujan ini dengan segelas cokelat panas?"
Reixa mengangguk setuju, mengikuti Saverio ke dapur dengan semangat. Meski kalah, ia tahu perdebatan kecil ini hanyalah salah satu dari banyak momen berharga yang membuat hubungan mereka semakin erat.