Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sore harinya ...
Damar sengaja mengajak Adrian ke taman kota. Tujuannya tentu saja ingin bertemu dengan Quin. Meskipun ia merasa tak yakin jika gadis itu akan ke taman yang sama.
"Adrian, kamu tunggu aku di mobil saja," pinta Damar.
"Baik, Tuan," sahut Adrian. Ia pun meninggalkan Damar sesuai perintah.
Sepeninggal Adrian, Damar tersenyum tipis memandangi sekitar. Tak pernah terbayangkan olehnya, akan duduk di kursi roda. Sejenak ia termenung. Teringat kembali ucapan Quin yang memberinya semangat.
"Hai, sudah lama?" tanya seseorang sekaligus membuyarkan lamunan Damar.
Pria itu melirik ke arah sumber suara. Senyumnya seketika terlukis karena sosok itu adalah Quin.
"Sendiri saja? Apa kamu sering ke taman ini?" tanya Quin dengan ramah kemudian duduk di bangku.
"Tadi berdua dengan teman. Hanya saja dia sedang menemui seseorang," jawab Damar berbohong. "Aku jarang ke taman ini, hanya beberapa kali."
"Oh, begitu, ya," timpal Quin. "Jujur saja, hampir setiap sore aku ke taman ini saat pulang kerja. Oh ya, ini untuk kamu." Quin menyodorkan satu cup es boba coklat kepada Damar.
Damar tersenyum kemudian meraih minuman itu dari Quin. "Thanks ya."
Quin mengangguk. "Maaf, hanya minuman pinggir jalan plus murah meriah," ucap Quin sembari tertawa. "Jika aku nggak salah, kamu pria yang kemarin kan?"
"Ya, kamu benar. Kenalin, aku Damar." Ia mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Quin.
"Quin." Quin langsung menjabat tangan Damar dengan senyum ramah.
Setelahnya Quin kembali menyedot minuman favorit-nya. Tak lama berselang, ponselnya bergetar. Akan tetapi Quin tak menggubrisnya.
Karena tak kunjung dijawab akhirnya Damar menegur Quin. "Kok nggak di jawab?"
Quin berdecak sembari memutar bola matanya malas. "Ck, biarkan saja. Lagian panggilan nggak penting. Nanti juga berhenti sendiri."
"Jawab saja," saran Damar.
"Biarkan saja. Pasti dari pria brengsek itu! Pria yang terlihat setia namun berbalut dengan penuh kepalsuan!" balas Quin dengan ketus disertai senyum miris. "Entahlah, aku merasa semua pria sama saja meski nggak semuanya juga sih. Apalagi yang gemar gonta ganti pasangan hanya untuk memuaskan hasrat semata. Sungguh sangat menjijikkan!"
Ucapan Quin barusan membuat Damar tertohok merasa miris. Ia langsung membatin, 'Oh damn! kata-katanya setajam silet.'
Quin melirik Damar yang sedang menatapnya. "Maaf, jika ucapanku membuatmu tersinggung. Aku berharap bukan termasuk pria brengsek itu."
'Dulunya aku juga termasuk pria brengsek itu, Quin. Tapi, sekarang ceritanya sudah berbeda,' timpal Damar dalam hati.
Hening sejenak ....
"Damar," panggil Quin dengan lirih.
"Ya." Damar langsung melirik Quin.
"Maukah kamu menjadi temanku?"
Damar tersenyum lalu balik bertanya, "Kamu nggak malu ingin berteman dengan pria jelek juga lumpuh sepertiku?"
Quin menggeleng pelan kemudian menjawab dengan singkat. "Tidak."
"Bagaimana jika kita jadi partner saja," tawar Damar penuh arti.
"Partner? Partner dalam artian apa dulu?" tanya Quin.
"Ya, partner. Partner selama 101 hari. Lebih tepatnya menjadi asisten pribadiku," jawab Damar dengan senyum penuh arti.
Quin bergeming sekaligus mempertimbangkan tawaran dari Damar. 'Sepertinya, tidak ada salahnya aku menerima tawaran itu,' batin Quin.
"Bagaimana? Apa kamu setuju dengan tawaranku barusan?" tanya Damar penuh harap.
"Oke, deal. Hanya 101 hari saja kan. Tapi, jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku," kelakar Quin sekaligus tertawa.
"Aku nggak yakin. Jika itu terjadi maka kamu harus bertanggung jawab," balas Damar.
Tak ada tanggapan dari Quin melainkan terus tertawa, tanpa tahu niat tersembunyi dari Damar.
"Tapi, selama 101 hari itu juga, kamu harus siap tinggal bersamaku," sambung Damar.
Tawa Quin seketika terhenti. "What?! Tinggal bersamamu? Tapi, kamu nggak bakal macam-macam kepadaku kan?"
Damar tergelak mendengar ucapan Quin. "Mana mungkin aku bisa macam-macam kepadamu. Berdiri saja aku tidak mampu. Semuanya harus dibantu seseorang."
"Maaf, aku lupa. Tapi, kamu nggak akan melarangku bekerja kan?"
"Nggak, yang penting kamu mengurusku lebih dulu sebelum berangkat kerja," jelas Damar.
"Oke, aku siap," balas Quin yakin.
"Berikan alamatmu. Besok seseorang akan menjemputmu," pinta Damar.
Quin kemudian meminta nomor ponsel Damar. Setelah itu, ia mengirimkan alamatnya lewat DM.
"Apa aku akan digaji?" tanya Quin sekaligus berkelakar.
"Pastinya." Damar tersenyum.
"Ini sudah hampir gelap. Sebaiknya kita pulang," cetus Quin. "Biar aku membantumu mendorong kursi rodanya."
Damar tak menolak melainkan menurut patuh. Entah mengapa ia merasa Quin adalah gadis yang baik juga tulus.
Adrian yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, cepat-cepat turun dari mobil begitu Quin mulai mendorong kursi roda Damar.
Ia langsung mengangkat tangan sekaligus mengisyaratkan supaya gadis itu menghampirinya.
"Damar, kamu harus semangat supaya bisa berjalan lagi. Jangan merasa pesimis melainkan optimis untuk bangkit dari keterpurukan. Aku yakin kamu pasti bisa," ucap Quin sesaat setelah mengantar Damar ke arah Adrian.
"Terima kasih, Quin. Aku akan mencoba."
Sebelum meninggalkan Damar, Quin mengangkat kedua tangan menyimbolkan semangat. Setelah itu, ia berpamitan sekaligus menghampiri kendaraannya.
Sepeninggal Quin, Adrian langsung membuka suara. "Wah, Tuan? Saya penasaran, apa sebenarnya yang Anda bahas dengan Nona Quin tadi. Jangan lupa, Tuan, dia itu tunangan Pak Angga."
"Nggak usah kepo. Meski dia tunangan Angga, kita nggak akan pernah tahu, apakah mereka memang berjodoh atau sebaliknya," tutur Damar sedikit ambigu.
Adrian dibuat bingung dengan ucapan Damar barusan.
Ketika dalam perjalanan pulang, Damar tersenyum tipis memandangi cup es boba pemberian Quin.
'Sepertinya dia sangat menyukai minuman ini. Angga, jangan salahkan aku jika Quin bakal jatuh ke dalam pelukanku.'
...----------------...