Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakak Ipar
📞 Jevon : kalo ngga, tuh cowo anak temennya mama gua suruh ke rumah.
📞 Rachel : Bodo amat Jepon, bodo amat... Kaga takut gua, kaga peduli... Bip
"Jepon Jepon.. Sok keras amat, sendirinya juga jom.... Aaaaa khh.... Huhhh .... ", kaget Rachel melihat Vano yang sudah berada dibelakangnya.
"Kak... Kapan sampainya? Kok ngga kedengeran?".
"Ya engga lah, kamunya asyik begitu." Jawab Vano sekenanya, dengan wajah datar lebih ke wajah sebalnya.
Rachel menghela napas, apakah toddernya ini akan kumat lagi, dan apalagi kesalahannya kali ini, apakah salah juga jika Rachel mencuci pakaiannya?
"Apa lagi hmm? Aku buat salah apa lagi kali ini Ayaang?", Rachel memeluk Vano dan mendongakkan kepalanya.
"Kenapa ngga boleh dikenalin ke abang kamu yang mau nyeleksi aku itu? Lagian kan mereka bukan orangnya Numbers jadi ngga papa? Hayo kenapa? Kamu malu ngenalin aku?", tudung Vano.
"Iya yaang, aku rada malu, aku malu sama diri sendiri, masa iya seorang Rachel punya pacar kayak gini, apa sih Rachel... Heheheh...".
"Loh kok gitu? Bukannya kamu harusnya rusuh gitu ngenalin aku ke orang-orang? Pacar kamu se ganteng se keren ini ngga di umbar, parah sih? Aaakkhhhh... Sakit yaaang...!!!", teriak Vano ketika Rachel berjinjit menggigit pipinya yang agak gembul itu.
"Iya ayo makan dulu, ntar aku kenalin." seru Rachel sambil mendorong Vano agar melangkah mendekati meja makan.
"Bohong...", Vano merajuk menghentikan langkahnya.
Rachel terdiam memandang lelakinya itu, wajah tampan yang selalu datar itu, sikapnya agak kaku dan dingin diluar sangat tidak cocok dengan kelakuannya saat ini. Bagaimana pria itu berubah menjadi seperti anak lima tahun yang merajuk karena tidak di turuti. Bagaimana menggemaskannya pipi sedikit tembem dengan bibir yang mengerucut itu.
"Ya udah jumat malam kita ke rumah Jevon, nginap disana baliknya Minggu pagi. Bisa?".
"Bisa Yaang... ", semangat Vano tiba-tiba.
"Itu aja kamu ngga mikir dulu. Pulang dari Numbers udah jam 7 malam, perjalanan mobil ke rumahnya Jevon itu butuh waktu 1,5 jam. Minggu pagi kamu ada jadwal seminar rutin di Plaza Orchid, gimana caranya kamu bisa lakuin itu semua."
"Aku bisa batalin Yaang, atau suruh yang lain buat wakilin aku."
"Kak, plis. Jangan begitu, aku ngga sepenting itu buat di treat kayak gini.Kapan-kapan juga kamu masih bisa temuin mereka."
"Kata siapa kamu ngga sepenting itu? Kamu berarti banget ya buat aku, jangan asal ngomong gitu."
"Ayo makan dulu. Kayaknya kamu beneran laper ini makanya rese. Ntar selesai makan kita omongin lagi. Ayo isi tenaga dulu."
"Abis itu.... ", goda Vano dengan senyum aneh.
"Ya anterin aku pulang lah, apa lagi. Aku punya rumah sendiri."
Vano sudah diam, enggan mendebat lagi, ditambah perutnya memang sudah lapar.
Rachel dan Vano makan dengan tenang, sebelumnya Rachel sudah yakin makanan yang ia buat layak untuk dimakan dan rasanya juga lumayan, meski pun ia hanya bisa masak masakan sederhana. Sudut bibirnya melengkung melihat Vano semangat sekali untuk makan.
"Tambah nasinya Yaang... ", serunya sambil menyodorkan piringnya yang sudah kosong pada Rachel.
"Tambah Yaang.. ", part 2.
"Lagi Yaang... ", part 3.
"Kak... Kamu kelaperan apa gimana sih? Ngga begah apa?", protes Rachel.
"Enak soalnya."
"Nanti kekenyangan kamu sakit perut loh. Udah stop, jangan gitu ah, serem."
"Belum habis itu lauknya, aku habisin dulu." seru Vano sambil mengangkat piringnya tinggi-tinggi agar tidak direbut Rachel dan akhirnya si wanita mengalah.
Vano tidak kurang uang untuk membeli makanan enak dan mahal mana pun yang ia mau, tapi kenapa rasanya melihat dia makan seperti itu hati Rachel malah sakit, seolah pria kesayangannya itu baru makan makanan seperti itu kali ini seumur hidupnya, apakah tidak ada yang memasak untuknya selama ini?
Apa Bu Margareth tidak memasak untuknya? Dan pembantu yang ia pekerjakan tadi? Apa tidak masak?
"Kakak suka?".
"Suka banget Yaang."
"Besok lagi ya."
"Iya, sayang. Nanti aku masakin lagi."
🍀🍀
Rachel berjalan dengan tenang memasuki kawasan Numbers dengan penampilannya ala wanita kantoran seperti biasanya. Tiba-tiba tangannya di gandeng seseorang.
"Pagi, Nyonya Anggasta... ", bisik Mikha.
"Heh... "
"Hayo lu ngaku ke gua sejak kapan? Lu diem-diem makan kain lap lu, Hel."
"Hehehhe... Jangankan elu, gua aja ngga tahu sejak kapan."
"Cerita dooong... Pelit amat lu sama gua."
"Inget kan jaman kaki gua kena paku, nah dia confess di rumah sakit. Brutal bener anjir, gua di kok0p dulu sebelum ditembak, tepat sebelum elu dateng... ".
Mikha sudah menutup mulutnya dengan mata melotot ke arah Rachel. "Terus nyet, terus.. Aduh.. Gua yang tremor."
"Ya ngga langsung jadian sih. Gua kabur-kaburan dulu seminggu, gua bingung mau ngapain, bingung harus gimana, kaget lah. Di kok0p lagi jir di gudang Ws, udah gitu ngga pake aba-aba lagi." Polos Rachel.
"Aaaakkkhhhh... Aduh panas gua Hel... Panas... Aduh Ka Vano ngga nyangka. Trus... Trus... ".
"Lu kok kayak nonton b0k3p sih anjir."
"Ahahahahah... Serius loh lanjutin ceritanya? Gua sebagai satu-satunya yang tahu dan ikut merahasiakan kisah ini harus tahu kronologi dong, ahahha... ".
"Oke lanjut. Terakhir dia ngira gua punya cowo karena kebetulan abang gua dateng, main ke kontrakan gua, dia ngikutin gua sampe rumah jir. Ampe di culik ke mobilnya, serem ga tuh."
"Aduh... Kayaknya kalo modelnya gua yang diculik auto kena Stockholm deh. Denger cerita lu kayak gini aja gua berharap di culik juga."
"Gila."
"Ahhh indah banget Hel kisah lu. Gua kira cuma di drakor petinggi macarin bawahannya, ternyata disini juga ada."
"Tapi gua cukup realistis buat ngga terlalu larut, Mikh. Hampir setengah tahun gua kenal dia, dan kita udah pacaran hampir 2 bulan, perlakuan dan perasaan dia ke gua itu beneran nyata. Real. Tapi gua cukup sadar diri gua siapa dan dia siapa. Jadi gua ngga ekspek apa-apa dalam hubungan ini. Gua jalanin aja sebisanya."
Mikha mendesah pelan.
"Seengganya lu nemu yang real, yang treat you like a queen. Lah gua, asik blind date aja terus, kaga pernah nemu yang pas". Keluh Mikha.
"Lah yang itu gimana? Yang dimple? Manis anjir."
"Kaga nyambung Hel. Dia pinter banget, otaknya ngomongin science mulu. Lah otak gua kalo ketemu pacar cuma pengen k0k0pan doang."
"Ahahahhaha... Otak lu... Ahh.. Sifat lu ngga jauh beda sama abang gua."
"Jodoh gua abang lu kali, jadi gua mungkin calon kakak ipar lu".
"Kalo modelan elu jadi kakak ipar gua, fix sih, pecah. Btw ini abang gua, tertarik ga lu?".
"Ahhh elaah Hel. Lu nawarin abang lu jadi calon gua, kayak nawarin obat ku4t anjir, udah git... ", Mikha tidak bisa meneruskan kalimatnya setelah melihat ponsel Rachel dengan layar foto Jevon.
"Hmmm kayaknya elu emang calon kakak ipar gua... Aohhh.... ", keluh Rachel masuk ke Numbers meninggalkan Mikha yang masih mematung memandangi ponsel yang ia berikan.
"Emakk.... Anakmu mau nikah... ", lirihnya. "Hel... Rachel tungguin gua, Hel... Gua mau jadi kakak ipar lu, Rachel.... ", teriak Mikha mengejar Rachel. Vano terkekeh kecil melihat kedua wanita yang segila sewaras itu.
.
.
.
TBC... 💜