Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu menuju kegelapan
Saat cahaya hijau memudar, Shin dan Leo menemukan diri mereka berdiri di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari logam hitam berkilauan. Di atas gerbang itu, sebuah simbol aneh berbentuk lingkaran dengan garis-garis yang melintang terlihat bersinar redup. Aura dingin menyelimuti tempat itu, membuat keduanya merinding.
"Serem amat," gumam Shin sambil melipat tangan di dada. "Ini gerbang atau dekorasi rumah penyihir jomblo?"
Leo memandang gerbang itu dengan serius. "Aku merasa ini adalah ujian terakhir. Kita harus berhati-hati."
"Lo selalu ngomong 'hati-hati', tapi buktinya gue yang selalu kena masalah duluan," keluh Shin sambil menendang kerikil kecil ke arah gerbang. Kerikil itu langsung berubah menjadi debu begitu menyentuh pintu.
Leo mendesah. "Itu karena kau selalu ceroboh, Shin. Kita perlu strategi."
Shin mendekati gerbang dan menyentuhnya dengan ujung jarinya. "Strategi? Gampang. Gue dorong, terus kita liat apa yang terjadi."
Sebelum Leo sempat mencegah, gerbang itu mulai bergetar hebat, dan suara gemuruh bergema di sekitar mereka. Shin langsung melangkah mundur dengan tangan terangkat. "Oke, gue nyentuh dikit, langsung drama. Ini gerbang sensitif banget."
"Shin! Jangan asal bertindak!" Leo menegur dengan nada kesal.
Namun, gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan lorong panjang yang dipenuhi kabut. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah cahaya samar berwarna merah.
Leo menggenggam tongkat sihirnya erat-erat. "Aku rasa kita tidak punya pilihan lain selain masuk."
Shin mengangkat bahu. "Yah, kalau udah buka pintu, sayang banget kalau nggak masuk. Lo duluan aja, gue jagain punggung lo."
"Tidak, kau duluan," jawab Leo tegas.
"Apa? Gue nggak mau jadi kambing percobaan!"
"Kau yang membuka gerbang, jadi kau yang masuk lebih dulu," balas Leo tanpa kompromi.
Dengan berat hati, Shin melangkah masuk ke lorong itu sambil terus mengomel. "Gue selalu jadi korban. Kalau ada jebakan, gue bakal ingetin lo di alam baka."
Saat mereka berjalan semakin dalam, suara aneh mulai terdengar—seperti bisikan-bisikan yang menggema di sekitar mereka.
"Leo, lo denger suara itu nggak? Atau gue udah mulai gila?" tanya Shin sambil menoleh ke belakang.
"Aku mendengarnya," jawab Leo sambil mempercepat langkahnya. "Sepertinya ini bukan tempat biasa."
"Ya iyalah, ini lorong ajaib. Tempat biasa mana ada yang kayak gini," balas Shin sinis.
Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka berubah menjadi sosok bayangan yang menyerupai manusia. Mereka berdiri diam, menatap Shin dan Leo dengan mata kosong yang bercahaya merah.
Leo langsung mempersiapkan mantranya. "Mereka kelihatannya bukan teman."
Shin menghela napas panjang. "Ya ampun, kapan terakhir kali gue ketemu sesuatu yang nggak mau bunuh gue? Ini mulai bikin capek."
Salah satu bayangan melesat ke arah mereka dengan kecepatan tinggi. Leo langsung meluncurkan bola api kecil untuk menghalaunya, sementara Shin melompat ke samping dengan gesit.
"Leo, lo fokus aja sihirnya! Gue coba nge-distract mereka," teriak Shin sambil mengambil tongkat kayu dari lantai dan memutarnya seperti seorang pendekar.
"Apa yang akan kau lakukan dengan itu?" tanya Leo skeptis.
"Gue? Nggak tau juga. Tapi gue bakal bikin mereka bingung dulu!" Shin mulai berlari ke arah bayangan-bayangan itu sambil meneriakkan suara aneh. "Yaaaaaah! Gue datang, kalian semua hantu murahan!"
Bayangan-bayangan itu mengejar Shin, yang dengan lincah menghindari mereka sambil terus berteriak tak jelas. Salah satu bayangan mencoba menyerangnya, tapi Shin berhasil memukulnya dengan tongkat kayunya, membuat bayangan itu memudar.
"Wow, gue jago juga!" seru Shin dengan bangga.
Leo mengabaikan komentar Shin dan melafalkan mantra panjang. Sebuah lingkaran sihir besar muncul di tanah, memancarkan cahaya terang. "Shin, jauhi mereka!"
"Lo nggak usah ngomong dua kali!" Shin langsung melompat menjauh dari bayangan-bayangan itu, yang kini tersedot ke dalam lingkaran sihir milik Leo. Cahaya itu meledak, menghancurkan semua bayangan dalam sekejap.
Shin terengah-engah sambil duduk di lantai. "Oke, itu keren banget. Tapi lain kali, kasih gue peringatan dulu!"
Leo mendekati Shin sambil tersenyum tipis. "Kau memang tidak berubah, Shin. Tapi setidaknya kau membantu."
"Ya iyalah, gue ini pahlawan. Jangan lupa kasih gue pujian setiap selesai berantem," jawab Shin sambil berdiri dan menepuk debu dari pakaiannya.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mencapai ujung lorong. Di sana, mereka menemukan sebuah altar besar dengan bola kristal berwarna merah di atasnya.
Arvin muncul di hadapan mereka dengan senyum lebar. "Selamat, kalian telah melewati ujian ini. Namun, ini baru awal dari perjalanan kalian."
Shin menatap bola kristal itu dengan penasaran. "Ini apaan? Souvenir?"
Arvin terkekeh. "Ini adalah inti kekuatan hutan ini. Jika kalian ingin melanjutkan, kalian harus membuktikan diri sekali lagi."
Shin mengeluh. "Serius? Lagi? Gue kira ini udah selesai!"
Leo menatap Arvin dengan tenang. "Kami akan menghadapi apa pun yang diperlukan."
Arvin tersenyum, lalu menghilang bersama altar dan bola kristal itu. Shin dan Leo tiba-tiba dikelilingi oleh cahaya hijau, membawa mereka ke tempat berikutnya.