Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Menghilang
Hari-hari setelah pertemuan itu berubah menjadi mimpi buruk bagi keluarga Naura.
Sudah tiga hari sejak Bimo dan keluarganya berjanji akan memberikan keputusan, tapi tak satu pun kabar mereka terima.
Ponsel Bimo tidak bisa dihubungi, begitu pula orang tuanya.
Ayah Naura berkali-kali mencoba menelepon, namun hasilnya nihil.
"Ini benar-benar keterlaluan!" Ayah Naura membanting ponselnya ke meja.
Suaranya menggema di ruang makan kecil itu, membuat suasana semakin mencekam.
"Mereka pikir kita ini apa? Mainan?!"
"Pak, tenang dulu," ujar ibu Naura dengan nada lembut, meski wajahnya pun menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
"Tenang? Kamu masih bisa bilang aku tenang? Anak kita dipermainkan, dan sekarang mereka menghilang begitu saja!"
Naura duduk di sudut ruangan, diam tanpa suara. Kepalanya tertunduk, jari-jarinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya bengkak karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis.
Dalam benaknya, ada pergulatan besar. Meski Bimo sudah begitu menyakitinya, ia masih ingin mendengar penjelasan darinya.
"Aku harus mencari dia," gumam Naura tiba-tiba.
Semua mata tertuju padanya. Ayahnya mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?"
"Biarkan aku mencari Bimo. Aku butuh jawaban langsung darinya," jawab Naura dengan suara pelan, tapi tegas.
"Jangan konyol, Naura!" bentak ayahnya.
"Dia sudah jelas-jelas menghilang karena tidak mau bertanggung jawab. Untuk apa kamu repot-repot mencarinya?"
Naura menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku hanya ingin tahu, Pak. Kalau memang dia sudah tidak mau bersama aku, setidaknya aku ingin mendengarnya langsung."
Ibunya memegang tangan Naura, mencoba menenangkan.
"Nak, kamu nggak perlu mengorbankan diri seperti ini. Kalau dia benar-benar peduli, dia pasti akan datang sendiri."
Namun Naura sudah mengambil keputusan. Malam itu, setelah semua orang tidur, ia diam-diam keluar dari rumah dengan membawa tas kecil.
Langit mendung, hawa dingin menusuk kulit, tapi ia tak peduli. Satu-satunya tujuan di pikirannya adalah rumah Bimo.
***
Perjalanan ke rumah Bimo terasa begitu panjang.
Naura naik angkot terakhir menuju kota, diiringi suara hujan rintik di jendela.
Wajahnya kosong, tetapi hatinya penuh dengan berbagai emosi, marah, kecewa, tapi juga harapan kecil bahwa Bimo akan memberikan penjelasan.
Sesampainya di depan gerbang rumah besar itu, Naura berdiri dengan ragu.
Lampu-lampu taman menyala terang, memperlihatkan betapa megahnya tempat itu. Naura menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu gerbang.
Seorang satpam keluar dari posnya, memandang Naura dengan alis terangkat.
"Mau apa, Mbak?"
"Saya mau ketemu Mas Bimo," jawab Naura dengan suara bergetar.
Satpam itu tertawa kecil, nada suaranya merendahkan.
"Mbak siapa, ya? Mas Bimo lagi nggak di rumah."
"Tolong, Pak. Saya cuma mau bicara sebentar saja," pinta Naura, hampir menangis.
Namun satpam itu tak bergeming.
"Nggak bisa, Mbak. Mas Bimo nggak terima tamu. Mending Mbak pulang saja."
Naura berdiri di sana selama beberapa menit, berharap ada keajaiban.
Namun pintu gerbang tetap terkunci. Dengan hati berat, ia memutuskan untuk menunggu di luar. Kejam.
***
Setelah hampir satu jam, sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang.
Dari dalam, Bimo keluar bersama seorang perempuan berambut panjang.
Wajah perempuan itu terlihat familiar bagi Naura—ia adalah perempuan yang pernah dilihatnya di media sosial Bimo.
"Bimo!" panggil Naura, suaranya parau.
Bimo terkejut melihatnya, tapi ekspresinya segera berubah menjadi dingin.
Ia berjalan mendekati Naura dengan langkah santai, diikuti perempuan itu yang memandang Naura dengan tatapan meremehkan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bimo dengan nada datar.
Naura menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis.
"Aku hanya ingin bicara. Kenapa kamu menghilang? Kenapa kamu nggak memberikan kabar apa-apa?"
Bimo menghela napas, tampak tak sabar.
"Naura, kamu nggak seharusnya datang ke sini. Semua ini sudah jelas, kan? Hubungan kita... sudah berakhir."
Kata-kata itu menghantam hati Naura seperti pisau tajam. Air matanya mulai mengalir.
"Kamu bilang akan menikahi aku. Kamu bilang aku penting untukmu. Tapi sekarang kamu malah pergi begitu saja?"
Perempuan di sebelah Bimo tertawa kecil.
"Lihat dirimu, Naura. Apa kamu pikir kamu pantas untuk Bimo? Kamu cuma gadis kampung yang nggak punya apa-apa."
"Diam, Citra," potong Bimo, tapi ucapannya terdengar lemah.
Naura menatap Bimo dengan penuh luka.
"Jadi ini alasan kamu? Karena aku nggak pantas? Karena aku cuma orang biasa?"
"Naura, aku minta maaf. Tapi kamu harus sadar, kita berasal dari dunia yang berbeda. Hubungan kita nggak akan pernah berhasil." Bimo menghindari tatapannya.
Air mata Naura semakin deras. Ia merasa seluruh dunia runtuh di sekitarnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Bimo dan perempuan itu di belakangnya.
***
Hujan deras kembali turun saat Naura berjalan tanpa tujuan. Pakaiannya basah kuyup, tapi ia tidak peduli.
Di kepalanya, hanya ada satu pikiran, dirinya telah menjadi badut yang dipermainkan oleh cinta.
Langkahnya terhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku yang dingin, memeluk dirinya sendiri untuk mengusir dingin.
Tangisnya pecah di bawah derasnya hujan.
"Tuhan, apa aku salah mencintainya? Apa aku salah mempercayainya?" bisiknya lirih.
Namun jawaban tidak datang. Hanya hujan yang terus turun, seolah turut menangisi nasibnya.
Naura terdiam di bawah derasnya hujan, tubuhnya menggigil kedinginan, tetapi hatinya terasa lebih beku.
Langit kelabu yang menaunginya seolah turut menangisi nasibnya.
Sesekali ia menyeka air matanya, tapi percuma—air mata itu terus mengalir, bercampur dengan tetesan hujan.
Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkannya. Sebuah pesan masuk dari Bimo.
[Naura, maafkan aku. Aku tahu aku telah menyakitimu. Besok malam aku akan menemuimu, untuk terakhir kali. Ada hal yang harus aku jelaskan.]
Naura menatap layar ponsel itu dengan perasaan campur aduk.
Pesan singkat itu seperti angin dingin yang menyusup ke dalam luka hatinya yang masih menganga.
"Untuk terakhir kali." Kata-kata itu bergaung dalam benaknya, menambah beban di dadanya yang sudah berat. Sesak.
'Apa yang ingin dia katakan?' pikir Naura.
Ia mencoba mencari jawaban, namun semakin ia berpikir, semakin hatinya terasa hancur.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini panggilan dari ibunya. Naura enggan mengangkatnya, merasa tak siap menghadapi emosi keluarganya.
Ia membiarkan panggilan itu berlalu, lalu mematikan ponselnya.
Hujan terus mengguyur, membuat tubuh Naura semakin menggigil.
Namun ia tetap duduk di sana, menatap kosong ke depan.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya, suaranya hampir tertelan oleh suara derasnya hujan.
Malam itu, Naura merasa seperti terombang-ambing di lautan yang gelap, tanpa arah, tanpa pegangan.
Pesan dari Bimo memberinya secercah harapan, tetapi juga menakutinya.
Ia tahu, pertemuan esok hari mungkin akan menjadi akhir dari segalanya—akhir dari mimpi, cinta, dan segala harapannya.
Di ujung taman, bayang-bayang lampu jalan terlihat samar di balik hujan. Dunia terasa jauh dan asing baginya, seperti ia bukan lagi bagian dari itu semua.
Naura memejamkan matanya, mencoba menguatkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi esok hari.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan