Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Reina membuka pintu rumah besar berlantai dua dengan tubuh kotor dan bau tanah, sambil menenteng sepotong besar daging rusa. Tanpa menghiraukan tatapan siapa pun, gadis itu langsung menuju dapur, membuka kulkas, dan menyusun daging buruannya dengan hati-hati.
"Hebat sekali! Jam segini baru pulang! Habis keluyuran dari mana, hah? Masih kecil sudah belajar jadi jalang!" suara bentakan tajam terdengar dari belakang. Reina melirik sekilas dengan tatapan datar ke arah wanita yang berdiri di ambang pintu dapur—Arina, ibu tirinya.
Tidak membuang energi untuk menjawab, Reina menutup kulkas dengan keras, lalu berjalan santai menuju tangga. Namun, Arina tidak menyerah. Wanita cantik dengan senyum palsu itu mengikuti Reina, wajahnya berubah garang saat Leon, ayah Reina, tidak ada di sekitar.
"Aku bicara padamu, anak sialan! Jangan berpura-pura tuli!" maki Arina sambil menunjuk-nunjuk punggung Reina. "Lihat Althea, adikmu. Dia tidak seperti dirimu yang hanya tahu keluyuran!"
"Reina bersamaku." Suara dingin penuh ketegasan menghentikan langkah keduanya. Arina menoleh kaget, menemukan Leon berjalan santai ke arah mereka, senapan angin masih menggantung di bahunya. Tatapan Leon seolah menembus jantungnya. "Ada masalah jika dia pergi bersamaku?" tambahnya, suara rendahnya seperti cambuk yang memecahkan kebohongan.
Arina langsung tergagap. Tubuhnya kaku, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Apa dia mendengarkan perkataanku tadi?" pikirnya panik, sembari mencari alasan cepat. Dengan cepat, ia memasang wajah penuh kepura-puraan, mata berair seolah hendak menangis.
"Aku hanya menegurnya, Leon," ucapnya, berpura-pura sedih. "Dia memarahi dan bahkan mendorongku! Maafkan aku, mungkin aku memang tidak cukup baik menjadi ibu untuknya."
Reina mendengus kecil, mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Leon yang kini meliriknya dengan pandangan setengah curiga, setengah bosan. Gadis itu hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, tahu bahwa drama seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.
Leon hanya melengos, memilih tidak merespons drama murahan itu. Ia melangkah mendekati Reina, meninggalkan Arina yang memandangnya dengan tatapan terpukul palsu.
"Apa kau sudah meletakkan dagingnya dengan benar?" tanya Leon dengan suara sarkastis namun santai. "Kalau sudah, ayo istirahat. Besok kau libur sekolah, kan?"
Reina terdiam sejenak, memandang Leon dengan bingung. Bukan karena pertanyaannya, tetapi karena respons Leon yang sangat berbeda di beberapa kehidupan dulu, ketika beberapa orang yang menjadi ayahnya selalu menyalahkan Reina tanpa banyak tanya.
"Ah, iya, Ayah," jawab Reina akhirnya, mencoba menyembunyikan rasa lega yang muncul di hatinya.
Di belakang mereka, Arina menghentakkan kakinya kesal, wajahnya memerah karena upayanya sia-sia. Dia mengutuk dalam hati, "Aku akan membuat bocah itu menderita. Kita lihat siapa yang menang nanti!"
Namun, Reina mendengar batin Arina dan menyeringai tipis.
Sambil berjalan menaiki tangga, Leon menyeringai di balik masker yang menutupi wajahnya. "Besok, aku punya tantangan untukmu," katanya ringan. "Kita lihat apakah kau bisa mengalahkanku dalam mengemudi."
Reina terkekeh. "Aku nggak lupa, Ayah, bagaimana kau mengemudi seperti kesetanan terakhir kali. Jangan sampai muntah di mobilmu sendiri, oke?"
Leon menatapnya tajam, tetapi ada setitik kekaguman dalam pandangannya. "Kalau begitu, aku akan tidur di kamarmu malam ini," katanya santai, lalu menambahkan dengan nada sarkastis. "Kamarku sudah dihias seperti penginapan murahan oleh seseorang."
Wajah Reina berubah datar. "Kamarku bukan hotel, Ayah."
Leon terkekeh kecil, melangkah lebih dulu ke kamarnya sendiri. "Dan rumahku bukan tempat penampungan," balasnya cepat, menyisakan Reina yang mendengus kecil tetapi tak bisa menahan senyum tipisnya.
✨
Leon membuka pintu kamar Reina dengan tatapan dingin. Di hadapannya, seorang gadis seusia Reina sedang mengacak-acak meja belajar putrinya. Gadis itu adalah Althea, anak dari Arina, yang kerap mendapat pujian atas sikap lemah lembut dan prestasinya di sekolah—kontras dengan perlakuan yang diterima Reina.
“Sedang apa kau di sini?” suara Leon terdengar datar, namun cukup tajam untuk membuat Althea tertegun.
“Aku hanya ingin meminjam buku Reina,” sahut Althea dengan nada ragu, sembari meremas jemarinya. Pandangannya mencari pembenaran, tetapi ekspresi dingin Leon membuatnya gelisah.
Reina muncul di belakang Leon, menatap Althea dengan sorot mata tajam. “Bukuku ada di perpustakaan, bukan di kamarku. Keluar,” ujarnya datar, namun tegas.
“Aku tidak tahu... aku hanya...” Althea terbata-bata, tanpa sengaja menyenggol senapan angin di dekat meja belajar Reina. Senjata itu jatuh dengan bunyi keras, membuat belati yang terpajang di dekatnya ikut berjatuhan.
‘Brak!’
Suara ribut itu segera memanggil Arina, yang masuk dengan tergesa-gesa. Ia mendapati putrinya menangis dan memeluk Althea, sambil menatap Reina penuh kebencian. “Apa yang kau lakukan pada putriku, anak sialan?! Kau tidak cukup puas hanya menjadi beban, sekarang kau juga ingin mencelakainya?!”
Reina mendengus, ekspresinya tetap dingin. “Dia yang masuk tanpa izin dan ceroboh. Kalau kau mau mencari kambing hitam, cobalah yang lebih masuk akal.”
‘Plak!’
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Reina, membuat jejak merah terlihat jelas di pipinya. Arina memandangnya dengan amarah yang membara. “Beraninya kau bicara seperti itu padaku?!”
Reina tidak bereaksi, tetapi matanya bertemu dengan Leon, yang sejak tadi berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap. Tatapan tajam pria itu cukup untuk membuat Arina kehilangan keberanian.
“Dia menyentuh barang-barang Reina tanpa izin dan hampir membuat sesuatu meledak. Dan kau malah menampar Reina?” Suara Leon terdengar dingin dan mengintimidasi.
Arina, yang biasanya pandai bersilat lidah, tampak tergagap. “Aku hanya mencoba mendidik—”
“Dengan cara menyiksa mentalnya selama dua tahun? Dan sekarang fisiknya juga?” Leon memotong ucapan Arina, suaranya semakin dingin. “Kau menginginkan putriku pergi, bukan? Baik. Aku akan memberimu pilihan.”
Mata Arina membelalak, tetapi sebelum ia sempat menyela, Leon melanjutkan dengan nada sarkastis, “Kau bisa tinggal di rumah ini, tapi hanya jika kau berhenti bersikap seperti ratu drama. Kalau tidak, pintu keluar ada di sana. Jangan lupa bawa anakmu yang tidak tahu sopan santun itu.”
“Apa maksudmu?!” Arina memekik. “Kau tidak bisa mengusirku begitu saja! Kau mencintai aku!”
Leon tertawa kecil, tawa penuh sarkasme. “Mencintai? Aku bahkan tidak mencintai diriku sendiri karena pernah menikah denganmu. Jangan memaksaku untuk mengulang kebodohan itu. Karena aku tidak pernah mencintai orang dungu seperti mu.”
Leon berjalan mendekat, menatapnya dengan mata hijau yang kini bersinar samar. “Kalau kau ingin harta, aku akan memberimu apa yang memang layak. Tapi jangan berpikir kau bisa mendapatkan lebih dari itu.”
Arina terdiam, keringat dingin membasahi punggungnya. Leon menoleh pada Reina, menepuk kepala putrinya perlahan. “Ayo, Reina. Kita bereskan kamar ini dan pergi makan malam. Biarkan mereka merenung.”
Reina mengikuti Leon tanpa berkata-kata, tetapi ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. Akhirnya, seseorang berdiri di sisinya—bahkan jika itu datang terlambat.
✨
Leon menempelkan kain basah pada pipi Reina yang memerah akibat tamparan Arina. Sorot matanya dingin, namun ada jejak kepedulian yang tak bisa disembunyikan. Dalam diam, ia mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan wanita seperti Arina masuk ke dalam hidupnya—wanita yang membawa keributan tanpa henti hanya untuk mencari validasi yang tidak pernah ia berikan.
Arina tidak melakukan apa-apa selain diam di rumah, membebankan semua pekerjaan pada Reina, membuat gadis itu menjadi bulan-bulanan. Pernikahan itu? Fiktif. Leon tidak pernah mengakuinya, baik secara hukum maupun hati.
“Kau terlihat menyedihkan,” sindir Leon dengan nada dingin, meskipun matanya memancarkan kehangatan samar.
Reina mendengus, memutar bola matanya dengan malas. “Kalau Ayah termakan dramanya, mungkin sekarang aku sudah jadi pelayan pribadimu.”
Leon tersenyum kecil, meski itu lebih mirip seringai. “Itu kalau aku sebodoh pria di sinetron. Untungnya, aku punya cukup otak untuk tahu siapa yang drama dan siapa yang harus diusir.”
Reina mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa, tapi ada rasa puas yang tergambar jelas di wajahnya. Sebelum suasana tenang itu sempat bertahan lama, seekor kelelawar sebesar telapak tangan pria dewasa meluncur masuk ke ruangan. Sayapnya yang hitam berdesir tajam saat ia menukik menuju meja, berhenti di tepi nampan yang memuat secangkir cokelat panas. Tanpa basa-basi, kelelawar itu mulai menyeruput minuman Reina, menyisakan separuh isi cangkir, sebelum bersendawa keras.
Leon menatap adegan itu dengan dahi berkerut. “Ini... peliharaanmu?” tanyanya, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.
Reina, yang tampak sama sekali tidak terganggu, hanya mengangkat alis. “Bukan. Aku bahkan nggak tahu dari mana dia datang.”
Kelelawar itu menyeka mulutnya dengan sayap, lalu mulai membuka tutup toples biskuit dengan gesit. Ia memakan isinya dengan lahap sebelum melirik Reina dengan mata hitam kecilnya yang berkilat nakal. “Reina sayang~ Aku mencium bau darah segar. Manusia yang menamparmu tadi... dia menu spesial malam ini, kan? Dimana dia?” tanya kelelawar itu dengan suara melengking yang terdengar seperti ejekan.
Reina mendengus, menunjuk ke arah atas tanpa ekspresi. “Lantai atas. Sana, urus sendiri.”
Kelelawar itu terkekeh, menyeruput minuman Reina sekali lagi sebelum terbang dengan anggun ke arah yang ditunjukkan. Suara tawa kecilnya bergema di sepanjang lorong.
Leon menatap Reina, lalu menatap arah kelelawar itu terbang. “Apa aku harus khawatir?”
“Tidak, kecuali dia membakar rumah,” jawab Reina santai, kembali duduk dan mengambil cangkirnya yang nyaris kosong. Ia menyeruput sisa minumannya tanpa peduli, sementara Leon hanya bisa menghela napas panjang, bingung apakah harus kesal atau kagum.