Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: The Departure
Pagi yang tenang membawa suasana sendu ketika mereka meninggalkan markas yang telah menjadi rumah sementara mereka, penuh dengan kenangan suka dan duka. Setelah memeriksa perbekalan dan memastikan semuanya siap, Wira berdiri di depan mobil dan bertanya, "Apakah semuanya sudah siap?"
Serempak, teman-temannya menjawab, "Sudah!"
Wira tersenyum tipis dan melanjutkan, "Kalau begitu, ayo kita berangkat."
Bima berada di balik kemudi, dengan Wira duduk di bangku samping, sementara Rizki, Flora, Nora, dan Meyrin duduk di kursi belakang. Di awal perjalanan, suasana terasa hening. Hanya suara deru mesin mobil yang menemani mereka.
Wira memecah keheningan dengan bertanya pada Rizki, "Rizki, jadi kota pertama yang kita tuju adalah Kota Banyan, ya?"
Rizki mengangguk dan menjawab, "Iya, benar. Perkiraanku, kita akan sampai dalam waktu sekitar empat jam, tergantung kondisi jalan."
Wira melirik ke dashboard mobil. "Yah, semoga bahan bakar kita cukup."
Bima yang fokus pada kemudi menyahut, "Aku sudah menyiapkan stok sekitar 15 liter tambahan. Dengan konsumsi mobil ini, aku yakin itu cukup untuk menempuh jarak sekitar 200 kilometer."
Mereka kembali terdiam, menikmati perjalanan yang terasa berat sekaligus penuh harapan.
Tiba-tiba suara Meyrin yang ceria memecah keheningan. "Ah, lihat di sana! Itu taman bunga!"
Flora yang duduk di dekat jendela melongok keluar. "Ah, benarkah?"
Meyrin mengangguk semangat. "Iya, kata Kak Wira aku seperti bunga. Katanya, aku tetap cantik di antara rerumputan."
Flora tersenyum sambil menoleh pada Wira. "Hei, Wira. Dia itu masih 12 tahun, loh. Jangan terlalu pintar merayu."
Rizki ikut menimpali dengan nada menggoda. "Yang benar saja, Wira. Kalau di dunia ini masih ada hukum, kau pasti sudah masuk penjara."
Wira mendesis sambil mengangkat tangan tanda protes. "Hei, hei, apa maksud kalian? Itu hanya perumpamaan!"
Di tengah candaan itu, Nora tetap diam, memandang bangunan-bangunan kota yang kini hancur melalui jendela. Matanya yang biasanya memancarkan kehangatan kini terlihat jauh dan penuh pikirannya sendiri. Rizki, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan raut wajahnya yang berbeda.
"Nora, ada apa? Apa kau masih marah pada Wira?" tanya Rizki hati-hati.
Nora terkejut, lalu tersenyum kecil sambil menggeleng. "Ah, tidak. Aku tidak marah kok pada Wira."
Rizki menghela napas lega. "Syukurlah. Kalau begitu, Wira…" Ia beralih ke arah Wira dengan senyum iseng. "Apa kau punya pacar?"
Flora dan Nora, yang tadinya terlihat acuh, kini memusatkan perhatian mereka pada Wira. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu, meski Nora mencoba menyembunyikannya.
Mata Wira melebar, lalu dia tertawa kecil. "Ahaha... iya, ada."
Rizki menatap Wira dengan ekspresi penasaran. "Ada? Siapa? Apakah dia ada di mobil ini?"
Wira tersenyum penuh teka-teki dan menjawab, "Bayangan. Dia adalah bayanganku sendiri."
Suasana hening sejenak, lalu Rizki tergelak. "Yah, begitulah kalau berbicara dengan Wira. Selalu penuh teka-teki dan makna dalam. Hahaha!"
Namun, Rizki belum selesai. Dengan nada menggoda, ia bertanya lagi, "Tapi kalau ada gadis yang menyukaimu, apa tanggapanmu, Wira?"
Wira mengangkat bahu sambil tersenyum ringan. "Tentu saja aku senang. Aku akan bersyukur karena telah disukai. Itu adalah hal yang patut dihargai, bukan?"
Flora tertawa kecil, sementara Nora hanya menunduk dan memalingkan pandangannya ke luar jendela. Meyrin, yang tidak sepenuhnya mengerti percakapan itu, hanya menatap mereka dengan bingung.
Perjalanan terus berlanjut, diiringi tawa kecil dan percakapan santai yang perlahan menghangatkan suasana di tengah perjalanan menuju Kota Banyan. Di balik canda dan tawa itu, bayang-bayang perjalanan berat di depan mereka terus mengintai, namun untuk sesaat, mereka dapat merasakan kebersamaan yang sederhana namun berarti.
Beberapa jam dalam perjalanan mereka sudah melewati perbatasan kota Banyan, kelompok Wira memutuskan untuk berhenti di sebuah rest area untuk beristirahat. Rest area itu kini tampak seperti bayangan dari masa lalu, jendela-jendelanya pecah, pintunya tergantung lepas tanpa bisa ditutup, dan dindingnya penuh coretan dan bekas kehancuran.
Bima mulai mengisi ulang bahan bakar mobil, sementara Wira memandang ke arah gedung tua rest area. “Aku akan masuk ke dalam, siapa tahu ada sesuatu yang berguna,” katanya santai sambil mengambil langkah ke depan.
Tanpa diduga, Nora tiba-tiba berkata, “Aku ikut.”
Wira menatapnya dengan sedikit terkejut. “Oh? Baiklah,” jawabnya, tidak mampu menolak.
Mereka berjalan masuk ke dalam rest area yang gelap dan berdebu. Lampu yang dulu pernah menerangi kini hanya tergantung seperti hiasan muram. Lantai retak, dan beberapa kursi di dalamnya sudah terbalik. Langkah mereka bergema pelan di ruangan yang kosong.
Wira mencoba mencairkan suasana canggung dengan memulai pembicaraan. “Nora, apa ka-”
“Diam!”
Sebuah lengan besar dengan cepat mencengkeram Wira dari belakang, menodongkan pistol ke kepalanya. Pria bertubuh tinggi dan berotot muncul dari bayangan. Wajahnya kotor, penuh bekas luka, dan matanya memancarkan ketidakpercayaan.Nora terkejut. “Wira!”
Pria itu berbicara dengan suara keras dan kasar. “Siapa kalian?!”
Wira tetap tenang meskipun ditodongkan senjata. “Kami survivor. Hei, tenanglah!” ujarnya dengan suara rendah, mencoba menenangkan.
Namun, pria itu semakin meningkatkan tekanan. “Mau apa kalian ke sini?!”
Nora melangkah maju, mencoba bernegosiasi. “Kami hanya sedang dalam perjalanan ke Kota Cakra. Kami berhenti untuk istirahat, hanya itu.”
Pria itu memelototi mereka dengan tatapan tajam. Namun sebelum ia bisa berkata lebih banyak, suara langkah kaki berat terdengar dari luar.
“Wira!”
Bima muncul dengan pistol di tangan, langsung mengarahkan senjatanya ke pria tersebut. Tatapannya dingin dan penuh tekad. “Lepaskan dia!”Pria itu tidak gentar, malah semakin erat mencengkeram Wira. “Lepaskan? Bocah ini akan kulepas setelah kepalanya berlubang!”
Wira menatap pria itu dengan pandangan penuh keyakinan. “Pak, jika kau membunuhku, temanku tidak akan ragu untuk membunuhmu juga.” Suaranya dingin, tetapi penuh ancaman.
Pria itu tersenyum sinis. “Dan jika aku melepaskanmu, apa jaminanku bahwa kalian tidak akan membunuhku?”
Bima mulai menghitung, “Kuhitung sampai tiga. Lepaskan dia, atau kau akan mati.”
Pria itu menatap tajam dan mulai menghitung juga. “Kuhitung sampai tiga. Kepala bocah ini akan berlubang.”
Mereka berdua mulai menghitung bersama. “Satu... dua... ti-”
“HENTIKAN!!”
Suara keras Nora memecahkan ketegangan.
Semua orang terdiam.
Nora melangkah maju, menatap Bima dan pria itu dengan penuh ketegasan. “Bima, turunkan senjatamu,” katanya dengan nada yang kuat namun lembut.
Bima menatap Nora dengan ragu, tetapi ia akhirnya mengalah, perlahan menurunkan senjatanya ke tanah.
Nora melanjutkan, kini berbicara kepada pria tersebut, “Pak, lepaskan teman kami. Kami tidak akan melukai Anda, saya berjanji.”
Pria itu menatap mata Nora, mencari sesuatu, ketulusan, mungkin. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu. Akhirnya, ia mendorong Wira ke depan dan memasukkan kembali pistolnya ke dalam kantong.
Wira, yang masih sedikit terkejut, membenahi posisi tubuhnya dan menatap pria itu. Pria itu lalu mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari mereka semua.
Setelah kekacauan reda, Wira dan kelompoknya memutuskan untuk berbicara lebih jauh dengan pria misterius itu. Rizki, Meyrin, dan Flora kini juga masuk ke dalam bangunan, meskipun Meyrin masih memegang tangan Flora erat, tampak takut setelah melihat situasi sebelumnya.
Wira menatap pria itu dengan pandangan tajam namun santai, membuka percakapan. “Jadi, Paman... siapa kau?”
Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Sama seperti kalian, aku survivor. Namaku Andri.”
Nora, yang kini lebih tenang, bertanya dengan lembut, “Apakah kau sendirian, Pak Andri?”
Pak Andri menunduk, matanya sedikit suram. “Dulu tidak. Sekarang... ya.”
Mendengar jawabannya, Nora langsung menduga bahwa pria ini pasti memiliki masa lalu yang kelam. Namun ia memilih untuk tidak menggali lebih jauh.
Bima, yang masih ingin tahu, bertanya dengan nada sedikit tajam, “Pak Andri, kenapa tadi kau ingin membunuh Wira?”
Sebelum Pak Andri bisa menjawab, Wira menyela sambil mendengus, “Sudahlah, Bima. Itu wajar di situasi seperti ini. Orang pasti akan curiga.”
Meyrin, yang berdiri di samping Flora, mempererat genggaman tangannya, tampak masih gugup dengan apa yang terjadi.
Kini giliran Rizki yang angkat bicara. “Pak Andri, kenapa kau tidak berlindung di camp survivor saja? Bukankah di sana lebih aman?”
Pak Andri tersenyum kecil, tetapi senyumnya pahit. “Mungkin banyak orang berpikir seperti itu, bahwa tempat itu adalah yang paling aman.”
Flora menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang salah dari nada suara Pak Andri. “Kenapa, Pak?”
Pak Andri menatap mereka semua, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjelaskan atau tidak. Akhirnya, ia berkata, “Karena sebenarnya... sudah tidak ada tempat yang benar-benar aman. Kamuflase Ruo itu merepotkan. Mereka bisa menyusup ke mana saja tanpa terdeteksi. Dan kekuatan mereka? Jujur saja, mereka benar-benar monster yang tidak punya kelemahan.”
Wira memandang Pak Andri dengan ekspresi percaya diri, lalu berkata tegas, “Kau salah! Kami sudah membunuh beberapa Ruo.”
Pak Andri langsung memutar tubuhnya, memandang Wira dengan tatapan skeptis. “Jangan bercanda, anak kecil. Peluru, ledakan, bahkan api saja tidak bisa melukai mereka. Ketika berhasil dilukai, regenerasi mereka membuat kulit mereka seperti logam.”
Mendengar ucapan itu, Wira mendengus kesal, mengambil granat kriogenik dari dalam tasnya, dan menunjukkannya kepada Pak Andri. “Ada tesis pasti ada antitesis, ada kekuatan pasti ada kelemahan, dan benda ini adalah antitesisnya!”
Pak Andri mengernyit, menatap benda kecil di tangan Wira. “Bukankah itu hanya granat?”
“Sentuhlah,” jawab Wira singkat.
Pak Andri ragu sejenak, tetapi akhirnya menyentuh granat tersebut. Ia langsung menarik tangannya setelah merasakan dingin yang menggigit. “Dingin?”
Wira memasukkan kembali granat itu ke dalam tasnya. “Benar. Dingin adalah kelemahan mereka. Bekukan kulit mereka, maka regenerasi mereka berhenti total. Saat membeku, kulit mereka menjadi rapuh, mudah dihancurkan. Di hadapanku, Ruo hanyalah kucing penakut yang gemetar ketakutan menghadapi dingin.”
Mendengar penjelasan itu, mata Pak Andri melebar. Untuk pertama kalinya, ia melihat Wira dengan rasa kagum, menyadari bahwa pemuda ini bukan sekadar survivor biasa.
Pak Andri mengangguk pelan, lalu berkata, “Jadi begitu... Kudengar kalian sedang menuju Kota Cakra. Benar, kan?”
Bima menjawab dengan tegas, “Ya, itu benar.”
Pak Andri mengangguk lagi, menatap mereka semua. “Perjalanan ke sana tidak akan mudah. Banyak survivor lain pasti menuju tempat yang sama, berpikir bahwa Camp Rafflesia adalah tempat paling aman di pulau ini.”
Nora angkat bicara, suaranya terdengar mantap meskipun ada sedikit kelelahan. “Kami tidak punya pilihan, Pak. Tujuan kami adalah bertahan selama mungkin.”
Pak Andri memandang mereka dengan tatapan yang lebih lembut. “Kalau begitu, istirahatlah di sini malam ini. Berangkatlah besok pagi. Perjalanan di siang hari akan lebih aman untuk kalian.”
Nora menunduk sedikit sebagai tanda terima kasih. “Terima kasih, Pak Andri.”
Udara malam semakin menusuk kulit, membuat suasana rest area yang sudah terbengkalai terasa semakin sunyi. Satu per satu anggota kelompok Wira mulai tertidur, melepas lelah dari perjalanan panjang yang mereka tempuh hari itu. Namun seperti biasa, Wira masih terjaga. Ia merasa sulit untuk memejamkan mata, pikirannya terusik oleh berbagai hal. Setelah mendesah panjang, ia memutuskan keluar untuk menghirup udara segar dan mencari pemandangan bulan serta bintang.
Di luar, Wira melihat Pak Andri sedang duduk di sebuah bangku beton, menikmati rokoknya sambil menatap langit yang bertabur bintang. Wira mendekatinya.
“Pak, boleh minta satu batang?” tanya Wira sambil menunjuk rokok di tangan Pak Andri.
“Ambil saja,” jawab Pak Andri singkat sambil menyodorkan bungkus rokoknya.
Wira mengambil satu batang, menyalakannya dengan korek yang juga ia pinjam dari Pak Andri. Setelah menghembuskan asap pertamanya, ia duduk di sebelah Pak Andri.
Keheningan berlangsung sejenak sebelum Pak Andri akhirnya bertanya, “Apa tujuan kalian ke Camp Raflesia?”
Wira melirik pria itu sambil memegang rokoknya. “Bukankah tadi temanku sudah bilang? Kami hanya ingin bertahan hidup.”
Pak Andri menatap Wira lebih tajam. “Aku melihat wajahmu. Kau punya tujuan lain, bukan?”
Wira menghela napas panjang, sedikit kesal karena pria ini terlalu jeli. “Sepertinya kau bukan orang biasa, ya. Matamu cukup tajam. Ya, kau benar. Aku punya tujuan lain.”
“Dan itu adalah?” desak Pak Andri.
Wira mengalihkan pandangannya ke langit, menghembuskan asap rokoknya, lalu berkata, “Sebenarnya aku sedang bertengkar dengan seseorang. Dia marah padaku.”
Di balik tembok bangunan rest area, tanpa Wira sadari, Nora sedang menguping percakapan mereka.
Pak Andri terkekeh kecil. “Ah, hubungan anak muda. Pertengkaran dengan pacar, ya?”
Nora yang mendengar ucapan itu terkejut, wajahnya langsung berubah sedikit merah.
Namun Wira hanya memasang wajah masam. “Yah, mungkin dia memang akan menjadi pacar yang baik kalau kami ada dalam situasi yang normal. Dia seorang perawat, pekerjaannya menyelamatkan nyawa siapa pun. Dia lembut, baik hati, penuh kasih sayang… dan ya, dia cantik. Dia hampir sempurna.”
Nora yang mengintip dari balik tembok tersentak. Wajahnya memerah, tapi matanya tetap fokus mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Wira.
Pak Andri tersenyum tipis. “Kalau begitu, kenapa kalian bertengkar?”
Wira menghisap rokoknya sekali lagi sebelum menjawab, “Aku sudah bilang dia hampir sempurna, kan? Tapi aku hanya berpikir… kelembutan dan kebaikan seperti itu tidak cukup untuk melindunginya di dunia ini.”
“Jadi, kau tidak setuju dengannya?” tanya Pak Andri sambil mengamati reaksi Wira.
“Kira-kira seperti itulah. Dia marah karena aku membunuh pria yang berusaha berbuat jahat padanya. Itu membuatku bingung. Aku hanya ingin melindunginya.”
Pak Andri menatap Wira dalam-dalam, lalu berkata, “Bocah, bukan itu masalahnya. Orang dengan hati yang lembut dan bersih tidak akan bisa menerima kekerasan. Apakah kau… memperlihatkan sesuatu yang terlalu keras padanya?”
Wira terdiam sejenak, lalu menggaruk kepala sambil berkata pelan, “Y-yah, mungkin.”
Pak Andri kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius. “Bocah, apa tujuanmu di dunia yang kacau ini?”
Tanpa ragu, Wira menjawab, “Menghancurkan Ruo dan Gougorr!”
“Untuk apa?” desak Pak Andri.
Wira terdiam. Ia memandang ke langit, menatap bulan yang bersinar samar di antara awan-awan tipis. Ekspresinya berubah serius, seolah merenungkan sesuatu yang mendalam. Akhirnya, ia berkata dengan suara rendah namun tegas, “Melindungi keindahan. Ruo merampas perasaan manusia. Perasaan adalah alasan kita menghargai keindahan. Aku tidak terima. Bahagia atau sedih, keduanya sama-sama indah karena mereka menghasilkan warna. Tapi Ruo mencuri itu. Jadi… untuk melindunginya, aku harus menghancurkan mereka.”
Nora yang mendengar ucapan itu dari balik tembok, tertegun. Matanya melembut, seolah memahami alasan di balik tindakan Wira yang sebelumnya ia benci.
Pak Andri terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan. “Ah, begitu. Kalau begitu, majulah dan selamatkan keindahan itu, Bocah.”
Wira memutar tubuhnya, menatap Pak Andri dengan senyuman tipis. “Itu pasti.”
Pak Andri menghisap rokoknya untuk terakhir kali sebelum membuang puntungnya ke tanah, menginjaknya hingga padam. Dalam hati, ia merasakan harapan baru, seolah Wira adalah sosok yang dibutuhkan dunia yang sudah hancur ini.