NovelToon NovelToon
The Monster: Resilience

The Monster: Resilience

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:984
Nilai: 5
Nama Author: Gerhana_

Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.

Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.

Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?

Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8: Old Man

Perlahan, Wira membuka matanya. Pandangannya kabur sejenak sebelum ia menyadari dirinya berada di dalam sebuah gubuk kecil dengan pencahayaan remang dari cahaya api yang berkobar di bawah cerobong asap. Aroma kayu bakar memenuhi ruangan, memberinya perasaan hangat di tengah hawa dingin yang masih terasa di tubuhnya. Wira berusaha menggerakkan tubuhnya yang masih lemah, dan dari sudut matanya ia melihat sosok seorang kakek bertubuh besar sedang duduk di dekat tungku api. Pria tua itu berotot, berkepala botak, dan memiliki kumis tebal. Dengan santai, ia membaca sebuah buku, tanpa memedulikan Wira yang mulai sadar.

Wira bergumam pelan, sambil mencoba menata pikirannya. “Sepertinya kali ini aku masuk neraka… karena bertemu dengan raja iblis,” gumamnya dengan nada sedikit bercanda.

Tanpa mengangkat wajah dari bukunya, kakek itu menyahut dengan suara dalam dan tegas, “Mungkin wajahmu tampan, bocah, tapi mulutmu sampah.”

Wira terkekeh, lalu bertanya, “Jadi, bagaimana aku bisa ada di sini, Kek? Di mana ini? Dan… siapa kau sebenarnya?”

Kakek itu menutup bukunya sejenak, menatap Wira dengan tatapan yang tajam namun penuh rasa tenang. “Seharusnya kau berterima kasih dulu, bocah. Aku sedang mencuci baju di pinggir sungai ketika melihatmu hanyut di sana. Tentu saja aku takkan membiarkan anak SMP tenggelam begitu saja,” katanya sambil terkekeh. “Ini tempatku, sebuah gubuk di pinggir sungai. Dan untuk namaku, kau tak perlu tahu.”

Wira mengerutkan kening, setengah kesal dan setengah penasaran. “Aku ini bukan bocah SMP, Kakek Iblis. Usiaku 21 tahun.”

Kakek itu tersenyum samar, masih menatap Wira dengan nada meledek. “Benarkah? Melihat tubuhmu yang pendek dan gaya bicaramu, aku semakin yakin kau bocah SMP.”

Wira hanya menghela napas panjang, memutuskan untuk mengalah sambil tersenyum sinis. “Sudahlah… biarkan aku tidur di sini semalam, wahai Raja Iblis. Aku sedikit kelelahan.”

Kakek tua itu tidak menjawab, hanya kembali membuka bukunya dan melanjutkan membaca. Diam-diam, ia melirik Wira, seakan memastikan bahwa anak muda itu baik-baik saja. Dengan rasa lelah yang mendera, Wira pun akhirnya terpejam, membiarkan dirinya tertidur pulas dalam kehangatan gubuk yang sederhana itu.

Pagi Hari, di dalam gubuk.

Pagi harinya, Wira terbangun dengan tubuh yang terasa jauh lebih baik. Rasa nyeri di tubuhnya berkurang, dan energi yang sempat terkuras kini sedikit kembali. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir mengamati sekitar gubuk kecil yang dipenuhi peralatan sederhana namun teratur. Saat pandangannya menyapu salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah lencana militer yang terletak di atas meja kayu, menunjukkan bahwa si kakek yang menyelamatkannya bukanlah orang biasa.

Tak lama kemudian, kakek itu masuk ke dalam gubuk, membawa beberapa batang kayu untuk menambah bahan bakar di tungku. Matanya menyipit saat melihat Wira menyentuh lencana miliknya.

“Bocah, bukannya tidak sopan namanya kalau menyentuh barang orang tanpa izin?” ucap kakek itu, suaranya penuh nada menggoda sekaligus memperingatkan.

Wira terkekeh sambil meletakkan lencana itu kembali di tempatnya. “Hei, Kek, jadi kau tentara, bukan? Ajari aku menembak!”

Kakek itu mendengus, mengangkat sebelah alis. “Ya, aku memang tentara. Tapi kenapa aku harus mengajarimu, bocah? Apa untungnya untukku? Lagipula, apa keahlianmu?”

Wira berpikir sejenak, lalu tersenyum licik. “Hmm… kalau kau mengajariku, Kek, aku juga akan mengajarimu sesuatu!”

Kakek itu memiringkan kepalanya dengan raut bingung. “Oh ya? Dan apa yang bisa bocah sepertimu ajarkan padaku?”

“Cara membuat gombalan jitu untuk menaklukkan hati wanita!” jawab Wira sambil tersenyum lebar, menggoda kakek yang tampak kaku.

Mendengar itu, si kakek hanya memutar matanya dan mengalihkan pandangannya, “Kalau begitu enyahlah,” jawabnya dengan nada malas.

Wira tertawa kecil, mengangkat tangannya. “Tunggu sebentar! Baiklah, aku hanya bercanda. Tapi… hei, Kek, aku tahu cara mengalahkan Ruo. Bagaimana menurutmu? Bukankah ini cukup menarik?”

Kali ini, si kakek terdiam, pandangannya berubah serius. Ia menghela napas panjang, menatap Wira dengan tatapan penuh pertimbangan. Setelah beberapa detik, akhirnya ia mengangguk pelan.

“Baiklah, bocah. Kalau memang kau tahu sesuatu yang bisa mengalahkan makhluk-makhluk itu, aku akan mengajarimu menembak,” jawab kakek itu akhirnya.

Di markas, Bima mengumpulkan semua orang untuk menceritakan apa yang terjadi di rumah sakit. Dengan raut wajah serius, ia menceritakan setiap detail yang dialaminya dan Wira, mulai dari taktik pengambilan tabung kriogenik hingga pengejaran yang akhirnya memaksa Wira mengorbankan diri agar ia bisa kembali dengan selamat. Nora, Flora, dan Rizki mendengarkan dengan seksama, sementara Meyrin duduk di samping Flora, tampak tenang namun masih terlihat sedikit cemas.

“Kalian harus tahu,” lanjut Bima dengan nada tegas, “Ruo ternyata masih bisa melihat. Jadi, mereka nggak sepenuhnya bergantung pada deteksi emosi saja.”

Flora mengerutkan kening, tampak bingung. “Kalau mereka masih bisa melihat, bagaimana caranya kita bisa tidak terdeteksi?”

Bima mengangguk pelan, mencoba menjelaskan lebih lanjut. “Mungkin level deteksi panca indera mereka tetap sama seperti manusia, mereka bisa melihat, mendengar, mencium, dan merasakan. Bedanya, mereka juga punya kemampuan untuk mendeteksi lonjakan emosi, yang membuat mereka lebih peka terhadap manusia yang sedang takut atau cemas. Sayangnya, kita belum tahu seberapa jauh jangkauan deteksi mereka terhadap emosi.”

Nora merenung sejenak, mengangguk sambil menyimpulkan. “Artinya, kita harus berhati-hati dalam segala hal. Tidak boleh terlihat, tidak boleh tercium, tidak boleh terdengar, tidak boleh tersentuh, dan yang paling penting, tidak boleh merasa takut.”

Ruangan itu mendadak hening. Setiap orang saling memandang, menyadari betapa sulitnya menjaga ketenangan di tengah ancaman yang terus mengintai mereka. Meski sulit, mereka tahu bahwa itulah satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan.

Setelah beberapa saat, Flora menatap mereka dengan senyum penuh semangat. “Tapi ini kabar baik, kan? Ternyata, mereka punya kelemahan. Sekarang kita tahu mereka tidak sepenuhnya tak terkalahkan. Kita masih punya harapan! Jadi, kita tidak boleh putus asa!”

Mendengar kata-kata Flora, semua orang mengangguk pelan, merasa sedikit lebih ringan. Keyakinan Flora menyalakan kembali semangat yang hampir padam. Bima juga tersenyum samar, merasa lebih optimis setelah mendengar dorongan semangat dari Flora.

Tak lama kemudian, Bima bangkit dari tempat duduknya. “Baiklah, aku akan keluar sekarang untuk mencari makanan. Aku juga akan mencoba mencari Wira di sekitar sungai, siapa tahu aku bisa menemukannya.”

Flora yang sejak tadi memperhatikan, menawarkan diri dengan penuh semangat. “Biar aku ikut, Bima. Aku juga ingin berjalan-jalan sebentar, menghirup udara segar. Lagi pula, kita bisa saling bantu jika terjadi sesuatu.”

Bima mempertimbangkan tawaran Flora sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Ayo kita berangkat.”

Dengan persiapan seadanya, mereka mengambil beberapa peralatan darurat dan keluar, meninggalkan Nora dan Rizki yang tetap berjaga di markas. Sementara itu, tekad mereka semakin kuat untuk bertahan dan mencari cara agar bisa mengalahkan ancaman yang kini semakin jelas di depan mata.

Siang itu, Meyrin berkeliaran di dalam markas, mengamati setiap sudut ruangan dengan rasa ingin tahu yang besar. Dalam keheningan markas yang sepi, ia mencari-cari benda yang bisa dijadikan mainan atau setidaknya mengusir kebosanan. Saat pandangannya menyapu meja kecil di sudut ruangan, ia melihat sebuah kertas lusuh. Terpikat, ia mengambilnya dan mulai membacanya dengan perlahan.

Kertas itu berisi sebuah puisi, dengan tulisan tangan yang sedikit berantakan namun memiliki kata-kata yang kuat. Meskipun usianya baru 12 tahun, Meyrin merasakan ada yang berbeda dari kata-kata itu. Meski ia belum sepenuhnya mengerti makna yang tersirat, puisi itu menimbulkan perasaan hangat dan lega, seolah memberinya sedikit rasa aman.

Tak lama kemudian, Nora muncul, membawa sepiring makanan kecil untuk Meyrin. Melihat gadis kecil itu menatap kertas dengan penuh perhatian, Nora tersenyum dan duduk di sampingnya.

“Meyrin, kamu sedang apa?” tanya Nora lembut sambil meletakkan piring di dekat Meyrin.

Meyrin menoleh ke Nora, lalu mengangkat kertas lusuh itu. “Kak Nora, ini… ini puisi Kak Wira, ya? Kak Wira itu orangnya seperti apa, sih? Katanya dia sangat kuat, tapi badannya pendek,” tanyanya polos dengan mata berbinar penasaran.

Nora tertawa kecil mendengar pertanyaan jujur Meyrin. "Iya, Kak Wira memang nggak tinggi, tapi jangan tertipu penampilannya. Dia itu orang yang sangat berani dan pintar, Meyrin. Banyak hal yang sudah dia lakukan untuk melindungi kita semua.”

Meyrin menatap Nora dengan mata penuh minat. “Emangnya Kak Wira pernah melakukan apa saja, Kak?”

Nora tersenyum lembut dan mulai bercerita. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Nora menceritakan kisah-kisah heroik Wira: tentang bagaimana ia berani melawan Ruo, bagaimana ia selalu punya rencana, dan yang paling penting, bagaimana Wira tak ragu mengorbankan dirinya demi keselamatan teman-temannya.

“Banyak orang berpikir Kak Wira itu berani karena dia nggak takut apa pun. Tapi sebenarnya, dia justru berani karena dia peduli sama kita semua. Dia rela melakukan apa pun agar kita semua selamat, bahkan jika itu artinya dia harus berhadapan dengan bahaya sendirian,” jelas Nora, senyum hangat menghiasi wajahnya.

Meyrin mendengarkan dengan serius, terlihat makin tertarik dengan sosok Wira yang sebelumnya tak begitu ia kenal. Namun, pandangannya kembali tertuju pada puisi di tangannya. "Kalau begitu… apa maksudnya puisi yang Kak Wira tulis ini, Kak?"

Nora terkekeh, menyadari bahwa puisi itu mungkin terlalu dalam bagi gadis kecil seperti Meyrin. Ia berusaha menjawab dengan sederhana. “Itu artinya Wira akan menyelamatkan umat manusia, Meyrin.”

Meyrin terdiam sejenak, seolah mencoba memahami jawaban Nora. Namun, tatapan gadis kecil itu menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam, yang seakan-akan ia rasakan dari goresan pena pada kertas lusuh itu. Meskipun ia belum tahu apa, Meyrin bisa merasakan kekuatan yang besar dan tak terucap dari kata-kata Wira.

1
Uryū Ishida
Sejujurnya aku gak percaya bakal suka ama this genre, tapi author bikin aku ketagihan!
Gerhana: Terimakasih, tunggu eps selanjutnya yah
total 1 replies
Jell_bobatea
Penulisnya jenius!
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
kuia 😍😍
author, kamu keren banget! 👍
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!