Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Aneh
Langkahnya terasa lebih enteng, tidak ada umpatan dan penghinaan yang ia lontarkan ketika menyurusi jalan itu. Sejak tadi Mikhail senyam senyum tak jelas sembari menoleh beberapa kali.
Beberapa pasang mata melihat ke arahnya, pria itu asing dan baru kali ini masuk lingkungan mereka. Pakaian yang sudah menjelaskan jika bukan kalangan menengah ke bawah menjadikan dia pusat perhatian seketika.
Hal semacam ini sudah biasa, dan dia hanya melempar senyum tipis pada orang-orang di sana. Itupun hampir tidak terlihat, memang nilai keramahan Mikhail hampir tidak ada.
Sudah menjelang sore, terjebak di kamar mandi akibat kedatangan Zidan yang tiba-tiba membuat Mikhail banyak membuang waktu. Sementara rapat yang tadinya dia katakan sudah pasti dia tunda dengan alasan lelah.
"Pak Mikhail."
"Saya?" tanya Mikhail menunjuk dirinya, seorang wanita muda seumuran Zia kini berjalan ke arahnya.
"Iya, Bapak ... senang bertemu di sini," ujarnya sedikit ragu, sebenarnya sudah pasti Mikhail tidak akan mengenalnya sama sekali. Akan tetapi, jika dia tidak menyapa takutnya Mikhail akan membuat hidupnya sengsara di kantor.
"Kamu siapa? Apa kita pernah mengenal sebelumnya?" Mikhail bertanya dengan dahi yang kini berkerut, sungguh pertemuan tak terduga ini merusak imajinasinya.
"Erika, anak magang di kantor Bapak." Kaku sekali, Erika meremmas jemarinya lantaran tatapan Mikhail terlalu menakutkan sore ini.
Tidak ada perkataan lain yang dia berikan kini, pria itu hanya mengangguk pelan sebelum kemudian menatap lawan bicaranya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Bapak dari mana?"
Baru kali ini Erika bingung sendiri menghadapi laki-laki, akan tetapi justru merasa tertantang. Mikhail tak hanya dingin padanya tapi juga terlihat menghindar, pria itu hanya mengarahkan jempolnya ke belakang tanpa menjawab jelas pertanyaan Erika.
"Ooh, tempat tinggal saya di sana loh, Pak ... mau mampir dulu?" Penawaran yang sebenarnya iseng-iseng berhadiah namun jujur saja benak Erika menginginkan pria itu untuk menerima tawarannya.
"Tidak, terima kasih."
Sial, Mikhail memberikan repson yang lebih tak terduga lagi. Sejak kemarin dia banyak mendengar gosip simpang siur tentang Mikhail, kini dia sendiri yang membuktikan.
Kanebo kering, pantang disenggol dan tidak terbuka pada orang asing memang melekat dalam diri Mikhail. Sebelumnya Erika tidak begitu yakin, karena biasanya pria yang begini bisa luluh jika wanita sudah beraksi.
"Baiklah jika begitu, hati-hati di jalan, Pak."
"Iya."
Sesaat kemudian pria itu kembali berlalu dengan langkah panjangnya. Erika memejamkan mata dan mengepalkan tangannya, malu sekali bahkan ingin dia mengubur tubuhnya hidup-hidup.
"Huft ... oke, Zia! Kamu menang kali ini."
Mereka sempat bertaruh beberapa hari lalu tentang Mikhail. Zia yang seyakin itu jika gosip yang tersebar benar, tapi tidak dengan Erika. Wanita itu yakin Mikhail tak sekaku itu dan bisa tidak mampu menolak pesona seorang wanita.
Keyakinan ini muncul lantaran dia kerap melihat Mikhail keluar dari kantor bersama seorang wanita. Artinya, dia masih bisa dikendalikan. Kini, semuanya terbukti dan Erika menyesal lantaran sempat meangung-agungkan seorang Mikhail.
-
.
.
.
Hari ini Mikhail tak menyimpang kemana-mana, pria itu sudah berada di rumah sebelum senja berganti. Kanaya menatapnya bingung, pria itu baru masuk dan tak henti unjuk suara di hadapannya.
"Sore, Mama ... Papa mana?"
"Kamu abis dari mana? Seneng banget kayaknya." Bukannya menjawab sapaan, Kanaya justru bertanya hal lain.
Pertanyaan itu serius Kanaya lontarkan, karena biasanya putranya ini akan pulang dengan memperlihatkan wajah masam dan kerap memilih diam.
"Nggak juga, cuma sedikit."
Pria itu berlalu dan duduk di sofa ruang keluarga, menghidupkan televisi dan menaikkan kakinya di atas meja. Ini bukan Mikhail yang biasa, sejak kapan dia menjadikan televisi tujuan utama.
"Oh iya ... tadi pagi kamu belum jawab pertanyaan Mama," ungkap Kanaya baru ingat tadi pagi Mikhail lari padahal pertanyaannya baru saja terlontar.
"Yang mana?" Mikhail pura-pura tidak paham padahal sudah mengetahui kemana arah pembicaraan mamanya.
"Semalem tidur dimana?"
Kanaya duduk di sisi Mikhail yang bersandar dan matanya menatap layar televisi di hadapannya fokus sekali.
"Kalau Mama tanya itu dijawab," ucap Kanaya menepuk pelan dada putranya, kebiasaan sekali ketika ditanya hanya diam dan pura-pura tidak mendengar.
"Aarrgghh, kenapa harus dada sih, Ma! Kalau jantungku copot bagaimana?" Lebay memang, Mikhail kebiasaan melebih-lebihkan segala sesuatu dalam hidupnya.
"Ya makanya jawab! Kamu tidur dimana? Mama tanya Edgard sama Bryan mereka nggak ketemu sama kamu semalam."
Mikhail menghela napas pelan, di usianya yang sudah sedewasa ini sang mama masih kerap memastikan hal semacam itu pada teman-temannya. Memang tidak dilarang ataupun dikekang, karena hendak melakukannya Kanaya takkan mungkin bisa mengingat usia Mikhail memang sudah dewasa.
"Tidur di hot..."
PLAK
Belum sempat Mikhail meneruskan kalimatnya, telapak tangan Kanaya sudah mendarat di keningnya. Kanaya memang sensitif dengan tempat itu, hal yang paling dia wanti-wanti adalah kala putranya menghabiskan malam di hotel.
"Astaga, Mama ... belum selesai! Aku di hotel tapi sendirian."
Dia terpaksa berbohong, tatapan kecewa sang mama sudah dapat dia lihat meski emosi Kanaya tidak meluap-luap. Pria itu memang nakal tapi takut sang mama mengetahui dengan jelas apa yang dia lakukan.
"Kamu pikir Mama percaya? Kamar tidur kamu kenapa sampai harus ke hotel kalau cuma tidur sendirian? Hm?"
Kanaya hidup sudah cukup lama, hal semacam ini rasanya sulit dipercaya. Apalagi, Mikhail bukan anak yang sebaik itu, jelas saja dia khawatir putranya terjemurus ke hal-hal yang lebih mengerikan diluar pengawasan Edgard maupun Bryan.
"Tatap mata aku, Ma ... apa ada kebohongan di dalamnya?"
"Huft, entahlah, Mama hanya takut kamu macam-macam." Senjata Mikhail dan Ibra selalu sama, dan Kanaya benar-benar tak bisa marah jika dua pria dalam hidupnya ini sudah mengeluarkan jurus andalannya.
"Nggak akan macam-macam." .... Cuma satu macam, Ma. Dia melanjutkan jawaban hanya dalam batinnya.
"Bener nggak?"
"Iya ... enggak." Mikhail menjawab malas dan memejamkan matanya, semakin membuat Kanaya curiga saja.
"Jangan tidur magrib, nanti gak bisa bangun lagi tau rasa kamu." Kanaya menepuk pelan wajah putranya sebelum kemudian berlalu dari sana.
Perkataan itu sukses membuat Mikhail membenarkan posisi duduknya dan mengurungkan niat untuk tertidur saat ini. Padahal matanya sudah lelah, kakinya terasa pegal dan memang cukup banyak langkah yang dia lewati hari ini.
"Heeh!! Syakil ... dari mana kamu?"
Kedatangan adiknya dari luar menjadi perhatian Mikhail, masih dengan pakaian yang tadi siang. Bisa dipastikan Syakil baru pulang dan ini memicu timbulnya pertanyaan dari Mikhail.
"Tumben aku pulang Kakak sudah pulang juga, biasanya Isya di luar," ucap Syakil sarkas.
"Jawab dulu pertanyaanku, jam kerja di kantor Kenzo selesai pukul empat ... dan sekarang sudah hampir jam enam, kamu dari mana saja?" Pertanyaan beruntun muncul dari bibir Mikhail, dan ini membuat Syakil tak suka.
"Ck, apa perdulimu, sejak kemarin-kemarin aku pulang jam segini dan Mama tidak pernah mempermasalahkannya." Syakil menatanya tajam, baru satu kali Mikhail melihatnya pulang namun seakan paling paham.
"Kakak cuma bertanya, Syakil ... kamu cuma perlu jawab, beres!" ujar Mikhail tegas, baru pertama kalinya Syakil melawan dan dia sempat terkejut.
"Seperti yang Kakak sering ucapkan, aku sudah dewasa jadi jangan mengaturku melebihi Papa."
Tbc