Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kebenaran Yang Menyakitkan
Aku masih saja menggerutu akan sikap Mama dan papa yang kurasa santai saja membiarkan temannya menginap di rumah. Apalagi teman tersebut ada dalam daftar seseorang yang di curigai. Lantas mengapa mereka bersikap seolah tidak ada yang terjadi, padahal kami sudah membicarakannya di waktu yang lain.
"Kenapa kamu menggerutu?." tanya Angela yang setelah sekian lama ditunggu akhirnya muncul juga. Memilih diam dan tidak meresponnya karena kurasa Angela pun kini sama menyebalkannya.
"Hmm, tidak mau dijawab!?. Apa aku pergi saja?." tanyanya. Membuatku semakin kesal akan ketidakpekaan hantu yang satu ini.
"Kamu kemana aja sih?, di tungguin dari kemarin juga!." sahutku manyun. Sedang yang ditanya hanya tersenyum seolah ada yang lucu dan pantas di tertawakan.
"Kamu lucu, Adelia." jawabnya santai. Aku hanya bisa menepuk jidat dan memutar mata malas.
"Kenapa sih, Adelia?." tanyanya lagi kini mulai mendekatiku.
"Seseorang yang bernama Bima akan tinggal dirumahmu mulai sekarang, walau aku tidak tahu kapan waktunya yang pasti." ungkapku, dan itu membuat Angela nampak berpikir.
"Seseorang akan tinggal disana? Kenapa bisa?." tanya nya lagi. Aku pun menjelaskan pada Angela bahwa lelaki yang bernama Bima adalah teman papaku dan Bima sendiri yang mengatakan hal tersebut, bahwa rumah di depan sana sudah dijual.
"Dijual! Apakah itu berarti dia bertemu dengan Ayah?." aku hanya mengangguk membenarkan hal tersebut. Angela mengatakan bahwa hal tersebut sangatlah mencurigakan, karena sangat aneh rasanya dari sekian banyak rumah, mengapa lelaki tersebut mau membeli rumah yang jelas-jelas di nyatakan terdapat penunggu didalamnya.
"Itu terlalu mencurigakan Adelia. Bisakah kamu meminta papamu, meminta lelaki itu memberikan alamat pemilik rumah sebelumnya? Aku yakin yang dimaksudnya adalah Ayahku." ungkapnya sedih.
Aku berjanji akan memintanya pada papa. Aku juga menceritakan pada Angela bahwa lelaki yang kami maksud ada dirumah ini, tepatnya menginap disini sementara waktu.
"Oh, ya, apa kamu tidak takut?." tanya Angela antusias.
"Kurasa tidak, karena kulihat ia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Namun entahlah, kurasa ia lebih aneh, karena ia tidak keluar dari ruangan itu, kecuali hanya saat makan saja." jelasku menunjukkan ruangan yang ada di depanku kepada Angela. Ya, benar. Aku meminta Angela agar masuk ke ruangan itu dan bertemu langsung dengan lelaki yang kuketahui bernama Bima itu. Angela kemudian bergegas pergi menemui lelaki itu dan hilang setelahnya.
____
Disinilah aku sekarang, sedang duduk dihadapan papa. Aku sedang mencoba menepati janjiku pada Angela dengan meminta tolong pada papa agar mau meminta alamat pemilik rumah yang telah dibeli Bima.
"Jadi, kamu mau papa melakukan hal itu, Adelia?." tanya papa dan aku hanya mengangguk sebagai jawaban membenarkan pertanyaan papa.
"Enggak, Adelia. No." ujar papa kemudian meminta aku keluar dari ruang kerjanya. Papa beralasan bahwa ia sedang sibuk dan tidak bisa di ganggu. Tidak berhenti disitu, aku berusaha mencobanya sekali lagi, tapi nihil. Mengetahui bahwa aku gagal meminta papa, sekarang aku mencoba meminta bantuan pada Mama.
"Jadi, kamu mau mama bicara hal itu sama Bima itu?." tanya Mama menatapku. Jawaban yang sama, aku membenarkannya.
"Papa belum ngomong sama kamu?." tanya Mama lagi.
"Ngomong apaan, Ma? Nggak ada." sahutku sekenanya, karena sepertinya kali ini pun usahaku akan berhasil. Mama kemudian membisikkan sesuatu pada telingaku.
"Jadi maksud mama, lelaki diatas itu bukan Bima, tapi Dariel. Begitu?." tanyaku. Mama mengangguk membenarkan. Aku semakin penasaran saat mama bilang, bahwa lelaki diatas itu, Dariel, dan ia bukanlah orang jahat seperti yang kami sangkakan, ia punya alasan mengapa ia menutupi identitasnya selama ini, dan hal yang paling mengejutkan adalah saat mama mengatakan bahwa Dariel adalah pamannya Angela. Ia disini untuk mencari keberadaan Angela. Oleh karena alasan itulah mama dan papa mengijinkan ia menginap.
"Tapi itu gak bohong, kan, Ma?." tanyaku kali ini memastikan kebenarannya.
"Nggaklah, Sayang." sahut Mama. Kemudian setelahnya mama memintaku untuk segera pergi menemui Dariel dan meminta ia saja yang menjelaskannya. Saat naik ke lantai atas, aku dikejutkan dengan keberadaan Angela dikamarku. Apa ia sudah berhasil bertemu dengan pamannya?
"Hei, Adelia." sapanya lagi.
"Gimana, sudah ketemu?." tanyaku ragu, entah kenapa. Aku tiba-tiba merasa sedih, seolah aku takut kehilangan Angela. Aku menjadi takut mereka bertemu. Hiks, perasaan apa ini? Kenapa aku tiba-tiba menjadi egois?
"Adelia." ujarnya lagi. Aku melihat ke arah Angela dan kemudian terisak setelahnya. Angela terkejut dan menanyakan apakah terjadi sesuatu yang menyebabkan aku menangis. Aku semakin terisak karenanya. Mengapa takdir mempermainkan hati seseorang seperti ini? Aku tiba-tiba merasa khawatir, bagaimana jika Angela pergi. Apa yang akan terjadi pada Dariel?
"Maaf." ujarku.
"Hei, kamu tidak melakukan kesalahan. Coba katakan, ada apa?." tanyanya. Kebersamaan kami mungkin tidak banyak, tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi aku merasa tidak ingin kehilangan moment kebersamaan yang seperti ini.
"Kurasa kamu akan segera pergi, Angela." sahutku berusaha tegar.
"Apa maksudmu? Aku bahkan belum bertemu dengan Dariel." ujarnya terkekeh seolah itu sesuatu yang lucu. Andai kamu tahu, bahwa lelaki yang ada di dalam sana adalah Dariel. Masih bisakah kamu tersenyum seperti itu, Angela?
"Hei, kenapa kamu diam lagi?." ujarnya seolah tengah kesal.
"Kamu sudah bertemu Dariel, Angela." sahutku kini melihat ke arahnya. Sementara Angela hanya diam saja, mungkin tengah berfikir apa yang sedang aku bicarakan.
"Lelaki yang ingin kamu temui di dalam sana itu Dariel, Angela. Lelaki yang aku ceritakan tadi, seseorang yang bernama Bima, ternyata memiliki nama asli Dariel." ujarku lagi. Aku pun menceritakan semua yang aku ketahui pada Angela. Tentang Dariel yang berusaha menemukan Angela, tentang Dariel dan segala usahanya selama ini.
"Benarkah Adelia? Dia benar-benar pamanku?." tanya Angela dengan ekspresi wajah yang entah. Mungkin Angela merasa terharu sekaligus sedih secara bersamaan. Aku mengangguk membenarkan pertanyaan itu, aku lihat Angela menangis.
"Maaf, Adelia. Terima kasih, kurasa aku akan pergi sekarang!." ujarnya dengan sedikit terisak. Sebagai permintaan terakhirnya, Angela meminta aku membantunya untuk mempertemukan ia dengan Dariel, pun menjelaskan semua yang terjadi pada Dariel. Angela bilang aku harus menjadi mulut untuknya agar Dariel bisa mendengarnya. Bahkan mungkin aku akan dijadikan sebagai perantara agar mereka bisa saling bertemu.
"Maaf, Adelia. Aku merepotkanmu." ujarnya. Aku menggeleng menolak ucapan itu.
"Tidak merepotkan sama sekali." ujarku, setelahnya Angela menghilang. Ya, waktu aku bersama Angela, tidaklah lama. Terkadang ia bisa menghilang secara tiba-tiba. Angela bilang itu karena waktunya semakin lama semakin habis untuk berada di dunia, karena itu ia harus segera menemukan Dariel dan menceritakan segalanya.
Aku masih terisak, sungguh. Tuhan, tidak bisakah hal manis diantara mereka tidak berakhir? Bisakah penantian seseorang yang di dalam sana berakhir indah seperti harapannya sendiri. Kini, aku harus menyelesaikan tugasku membantu Angela untuk yang terakhir kalinya.
Ketika hendak mengetuk pintu, aku dikejutkan dengan Dariel yang hendak keluar dari sana. Sepertinya ia terkejut melihatku, lebih tepatnya mungkin karena aku habis menangis.
"Kamu menangis? Kenapa?." tanyanya menatapku.
"Ada yang ingin aku bicarakan." ucapku. Dariel mengajakku untuk bicara di bawah saja bersama dengan mereka. Tapi aku menolak, aku mengatakan jika aku hanya ingin bicara berdua.
"Kenapa? Kamu akan mengajakku berdebat lagi?." aku menggeleng menolak pertanyaan itu.
"Tenang, aku akan segera pergi dari sini." ungkapnya setelah itu. Kemudian beralih melihat rumah di depan sana.
"Kurasa aku telah bertemu dengan Angela." sahutku. Hal itu membuat ia cukup terkejut dan mengalihkan perhatiannya ke arahku dan menatapku.
"Benar, kan, kubilang kamu pasti tahu sesuatu tentang Angela. Katakan, dimana dia sekarang?." tanyanya antusias dengan mata yang berbinar-binar. Tuhan, aku tidak ingin mengatakannya, kurasa aku tidak akan sanggup. Tapi kemudian aku merasa seseorang menyentuh tanganku menguatkan. Ya, itu Angela, ia hadir di tengah kami berdua. Aku menatap ke arah Dariel. Maaf, kurasa ini akan sangat menyakitkan nantinya.
"Angela, dia ada di rumah sana. Dia juga sedang menunggumu." sahutku kemudian menghapus air mataku. Hal yang sama yang Angela lakukan sekarang. Ia pun merasa sedih dan terisak. Walau aku tahu, ia hanya berusaha terlihat kuat. Dariel terlihat begitu antusiasnya, dan aku harus menghancurkan kebahagiaan itu.
"Lalu kenapa kamu menangis!?." ujarnya, kemudian hendak pergi, mungkin hendak menjemput Angela.
"Tapi Angela sudah pergi." ujarku terisak. Ya, aku tidak mampu berpura-pura kuat, padahal aku ingin menangis.
Dariel terdiam beberapa saat, menatapku bingung.
"Apa maksudmu, mengapa Angela pergi? Kemana dia pergi tanpa menungguku?." sahutnya bingung tak percaya.
"Angela sudah pergi, Dariel." ujarku tak tahan lagi. Aku menumpahkan segala tangisanku. Hal itu berhasil membuat Dariel terdiam mematung, terkejut dengan apa yang aku sampaikan. Aku menjelaskan semua yang terjadi pada Angela. Tentang pertemuanku dengan Angela pertama kali. Juga cerita yang pernah Angela ceritakan.
"Tidak mungkin, itu tidak mungkin." ujarnya menahan Isak tangis.
"Itu benar, Dariel. Angela sudah pergi, tapi dia menunggu saat-saat ini. Saat-saat kita bertemu untuk mengucapkan perpisahan."
"Ang. . Angela."
"Ya, ini aku paman. Maaf, aku masuk ke tubuh Adelia. Karena aku tahu, paman tidak akan bisa melihatku."
"Aku sudah menunggu waktu ini sangat lama paman. Dan, akhirnya penantian itu membawamu padaku. Aku sudah bertemu dengan ibu,"
"Emma,"
"Ya, Ibu Emma. Aku sudah bertemu dengannya sekarang. Sekarang waktuku sudah tidak banyak di dunia, Abigail sudah menungguku untuk pergi bersama. Paman, maaf, aku meninggalkanmu sendirian sekarang. Tapi aku harap kamu tidak menangisi ini semua berlama-lama." memeluk Dariel, Dariel membalas pelukan itu, walau kemudian tubuh yang dirasuki itu melemah kemudian jatuh pingsan.
Angela yang sebenarnya mulai terlihat walau sedikit samar. Ia pergi bersama Abigail. Ia mengenakan gaun putih yang indah, Ia terlihat bahagia dan tersenyum dengan sangat cantik kemudian melambaikan tangan. Bayangan Angela perlahan memudar kemudian menghilang bersama cahaya silau yang menyilaukan mata.