Vino Bimantara bertemu dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan orang yang ia cintai dulu. Wanita itu adalah tetangganya di apartemennya yang baru.
Renata Geraldine, nama wanita itu. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang cukup mapan dan seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah bagaimana Vino begitu menarik perhatian Renata. Di tengah-tengah kehidupannya yang monoton sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak, tanpa sadar Renata membiarkan Vino masuk ke dalam ke sehariannya hingga hidupnya kini lebih berwarna.
Renata kini mengerti dengan ucapan sahabatnya, selingkuh itu indah. Namun akankah keindahannya bertahan lama? Atau justru berubah menjadi petaka suatu hari nanti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Menggantikan Peran
"Sorry, Om. Gua telat. Ada yang harus gua urusin dulu tadi," maaf Vino saat ia tiba di kantor dan melihat Haris sedang berada di ruangan para karyawannya.
"Harusnya lu kasih kabar. Emang lu darimana sih?" tegur Haris.
"Ada masalah dikit tadi sama cewek gua, Om. Gua janji entar pasti ngabarin kalau ada apa-apa."
Seketika para karyawan wanita di ruangan itu saling berbisik saat mendengar rekan kerja baru mereka yang tampan ini sudah memiliki kekasih.
"Baru juga bentar lu di Bali. Udah punya cewek aja. Siapa emangnya?" tanya Haris yang memang memiliki kepribadian yang selalu ingin tahu urusan orang lain.
"Ada deh, Om." Vino menolak memberitahukan siapa wanita yang ia sebut sebagai kekasihnya itu. Selain status mereka yang memang belum jelas, tentu saja gawat jika Haris mengetahui Vino memiliki hubungan spesial dengan sahabat dari istrinya itu.
"Dasar main rahasia-rahasiaan segala sama gua. Ya udah, siapin buat meeting bentar lagi sama klien." Haris pun berlalu masuk ke dalam ruangannya.
"Siap, Om."
Vino pun segera mempersiapkan semua hal yang Haris minta. Saat sedang begitu seriusnya menatap layar komputernya, teleponnya berdering. Vino tak langsung menerima panggilan, malah menimang-nimang apakah ia akan menerimanya atau tidak. Namun akhirnya ia angkat telepon itu. Ia tak ingin mendapat masalah karena sudah terlalu lama juga ia mengabaikannya.
"Halo," sapa Vino seraya menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Akhirnya diangkat juga telepon Opa. Dasar cucu yang bisanya bikin Opa kesel," gerutu pria tua bertubuh tambun di seberang sana.
"Ada apa Opa nelpon? Aku lagi kerja. Bentar lagi mau meeting ini."
"Ya udah Opa bakal bilang dengan cepat. Akhir pekan ini Opa minta kamu pulang. Opa mau ngomongin sesuatu sama kamu."
"Aku gak bisa, Opa. Akhir pekan ini aku ke Vietnam anter wisatawan ke sana," tolak Vino.
"Opa gak menerima alasan apapun. Opa mau kamu ada di rumah. Ada yang harus kamu temuin."
"Siapa?"
"Nanti kamu juga tahu. Pokoknya kamu harus datang. Opa tunggu. Atau Opa akan lakukan sesuatu."
Kemudian telepon terputus. Vino kesal sekali. Sebetulnya ia ingin untuk tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan sang kakek. Ia ingin bebas makanya ia memutuskan pindah ke Bali. Namun sang Kakek tidak membiarkan itu terjadi.
Tapi bukan Vino namanya jika ia tunduk begitu saja. Vino pun menelepon lagi, saat suara sang kakek kembali terdengar ia berkata, "besok aku ke Jakarta. Kalau akhir pekan aku gak bisa. Jadi kalau Opa mau ketemu aku, besok waktunya."
Vino langsung mematikan telepon tanpa mendengar sahutan dari sang kakek. Ia kembali bekerja. Hingga tiba waktunya ia untuk pulang.
Sore hari Vino tiba di apartemennya. Ia berpapasan dengan Renata di basement. Renata baru saja pulang menjemput Nathan les.
"Sore, Mbak," sapa Vino sumringah. "Sore, Nathan." Vino menyapa putra dari kekasih gelapnya itu.
Renata yang baru keluar dari mobilnya pun menyambut sapaan itu. "Sore," sahutnya sedikit salah tingkah."
"Sore juga, Om." Nathan pun menyahuti.
"Baru pulang les ya?" tanya Vino.
"Iya, Om. Om Vino juga baru pulang kerja?"
"Iya. Bisa barengan gini ya kita," ucap Vino seraya mengusak rambut Nathan. "Ayahnya Nathan belum pulang?" Tatapan Vino tertuju ke arah tempat biasa mobil Gavin terparkir.
"Belum Om. Ayah biasanya pulang kalau aku udah tidur. Ayah sibuk banget sekarang."
"Oh ya?" sahut Vino seraya menatap penuh arti pada Renata. Renata tahu maksud tatapan Vino itu. Ia pun memalingkan wajahnya. "Berarti sekarang Nathan jarang ketemu sama ayahnya dong?"
Nathan mengangguk sedih. Mereka pun mulai memasuki lift dan mengobrol hingga tiba di depan apartemen mereka.
Tiba-tiba Nathan memekik, "ya udah Om Vino makan di rumah kita aja! Boleh 'kan, Bun?"
Renata dan Vino saling tatap tak menyangka.
"Emang gak apa-apa Om makan bareng sama Nathan dan Bundanya?" tanya Vino. Ia hanya menggoda Nathan saja berkata bahwa dia sedih karena setiap hari makan sendiri dan hanya makan mie instan atau makanan instan lainnya.
"Gak apa-apa, Om. Kasihan Om nanti kekurangan gizi kalau makannya yang instan terus. Lagian Bunda suka ngomel makanannya banyak nyisa karena ayah biasanya udah makan kalau nyampe rumah, iya kan, Bun?"
"Tapi nanti ayah pulang gimana, Nak?" Renata khawatir.
"Boleh ya, Bun. Kasihan Om Vino," pinta Nathan.
"Makasih ya, Nathan. Om dengan senang hati loh makan masakannya Bundanya Nathan. Tiap hari dimasakin juga Om mau," ujarnya tengil.
"Vino!" tegur Renata. Ia menatap galak pada Vino.
"Boleh Om kalau mau tiap hari makan di rumah Nathan! Boleh ya, Bun? Please! Om Vino 'kan tetangga kita. Lagian daripada masakan Bunda suka nyisa, lebih baik dimakan sama Om Vino," mohon Nathan seraya memegang tangan sang ibu.
Renata tak punya pilihan. "Ya udah. Tapi gak tiap hari ya. Cuma hari ini aja."
"Yes! Bunda baik banget. Ayo Om kita masuk," ajak Nathan. Vino pun ikut tersenyum senang dan masuk ke apartemen Renata dengan tangannya ditarik oleh Nathan. Renata hanya kembali menghela nafas khawatir.
Di dalam apartemen Nathan sibuk berceloteh bersama Vino. Ia senang karena Vino begitu merespon apapun perkataannya. Vino yang berkepribadian humoris juga membuat Nathan terus tertawa terbahak.
Di dapur Renata menyiapkan makan malam sambil menyimak obrolan sang putra dengan Vino. Terkadang Renata ikut tertawa karena guyonan Vino yang memang sekocak itu. Seketika apartemennya menjadi begitu ramai seakan ada banyak orang di sana, padahal hanya ada dua orang yang sibuk bercanda.
Makan malam pun siap. Mereka makan bertiga di meja makan. Obrolan Vino dan Nathan pun tidak berhenti. Malah semakin seru bahkan Renata ikut serta dengan tawa canda mereka.
Hingga setelah makan Vino berinisiatif membantu Nathan membereskan buku untuk dibawa ke sekolah esok hari.
"Nah sekarang Om pulang dulu ya," pamit Vino saat Nathan selesai menyikat giginya dan berbaring di tempat tidurnya.
"Om boleh pulang kalau aku udah tidur. Please ya Om, temenin Nathan tidur. Please," mohonnya.
Vino menatap ke arah Renata. Wajah Renata seakan mengatakan Vino untuk menolak namun Vino tidak tega pada Nathan yang sampai memohon seperti itu.
"Ya udah, Om ceritain dongeng ya." Ia pun duduk di sisi tempat tidur sambil bercerita pada Nathan. Lagi-lagi cerita Vino terdengar konyol untuk dongeng pengantar tidur yang seharusnya membuat pendengarnya mengantuk.
Namun lama-lama Nathan pun menguap dan perlahan terlelap. Vino pun meninggalkan Nathan, mematikan, lampu, dan menutup pintu kamar Nathan perlahan.
"Udah tidur?" tanya Renata yang duduk di sofa ruang tengah.
"Udah." Vino pun duduk di samping Renata dan langsung saja mencium bibirnya.
semoga endingnya membahagiakan semuanya sich 🤭😁🤪
move on vino dari Rania 💪
lanjutin jaa Renata ma vino 🤭🤭🤭 situ merasa bersalah sdngkn suami mu sendiri dh selingkuh duluan 🙈😬😞😞