Menunggu adalah cinta yang paling tulus, tapi apakah yang ditunggu juga mencintai dengan tulus? Sudah tiga tahun lamanya Anaya Feroza Mardani menunggu sang kekasih pulang dari Indonesia. Kabar kematian sang kekasih tak akan membuat Naya begitu saja percaya sebelum dirinya bertemu dengan jasad sang kekasih.
Penantian tiga tahun itu, membuat kedua orang tua Naya harus menjodohkan Naya dengan seorang Dokter tampan bernama Naufal Putra Abikara anak dari Abikara Grup, yang tak lain adalah musuhnya saat SMA dulu.
Apakah kekasih yang Naya tunggu akan datang? Dan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal? Bagaimanakah hubungan Naya dengan Naufal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aniec.NM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 18 Cemburu
Suara motor sport itu mengalihkan fokus mereka berlima, pasalnya mereka tidak tau siapa yang memparkir motor sport di depan rumah Abikara Grup.
“Motor siapa sih?” tanya Angga.
“Nggak tau, coba deh Lo liat!” pinta Satya.
Angga beranjak keluar, namun belum sempat ia berdiri seseorang masuk kedalam dengan tas yang di gendong di samping pundaknya. Semua mata tertuju pada dia, Alvero.
Alvero beradu tatap pada mereka, keduanya sama-sama bingung. Satya dan teman-temannya bingung, begitu juga dengan Vero.
“Kalian siapa?” tanya Vero.
“Kita itu-.” Belum sempat menjawab, Naufal dan Naya turu dari tangga, fokus mereka tertuju pada sepasang sejoli itu.
Kelima orang itu lebih terkejut lagi dengan wanita yang digandeng Naufal saat ini.
“Naya!” sentak mereka bersamaan.
Naya juga ikut terkejut. Orang spesial yang di katakan Naufal barusan ternyata Arosya, geng motor terkenal pada masanya.
“Jadi istri lo Naya?” tanya Angga tak percaya.
“Iya.”
“Bener ya, lo jilat ludah sendiri,” celetuk Dirga.
Dulu Naufal sangat membenci Naya, Naya pun begitu. Setiap bertemu mereka tidak pernah akur, bahkan selalu ribut di kelas ketika jam pelajaran tiba.
“Gue nggak aka pernah suka sama cewek cerewet itu,” katanya.
“Beneran, awas Lo benci jadi cinta.” Dirga mengingat.
“Ogah, banget.”
Dan perkataan itu membuktikan bahwa sekarang mereka saling mencintai. Omongan hanya sebuah sampa yah keluar dari mulut, namun hati adalah perkataan jujur yang tak pernah berdusta sama sekali.
“Bang, mereka siapa?” tanya Vero.
“Abang? Fal, ini Vero bukan?” tanya Riadi.
“Iya, dia Vero adik gue.”
“Waah, lo Vero toh, inget gue nggak Riadi? Yang suka numpang makan di rumah Lo.”
Riadi merangkul Vero, mengingatkan padanya masa kala itu. Vero yang tak ingat hanya menyengir, ia benar-benar tidak ingat, pada saat itu dia masih kelas enam SD, ingatannya masih tipis.
Kemudian mereka semua mengobrol, bernostalgia bersama, suara canda tawa itu memenuhi seisi rumah. Vero tak ikut mengobrol, baginya itu bukan masanya, mengobrol dengan orang dewasa bukanlah hal yang menyenangkan. Dia memilih berdiam diri di kamar, bermain game adalah favoritnya.
“Kok bisa sih kalian nikah, perasaan kalian musuh pas SMA?” tanya Riadi dengan mulut penuh makanan..
“Panjang ceritanya, ya sebenarnya sih awal-awal gue nggak mau nikah sama Naufal, setelah berjalannya waktu takdir menyatukan kita,” jelas Naya.
“Benar ya apa yang dikatakan orang, jodoh itu dekat. Kita aja yang nggak peka,” ucap Dirga.
Mereka mengangguk paham, sepakat dengan perkataan Dirga barusan.
**
Tok tok!
Suara ketukan pintu dari dari seorang wanita, membuat penghuni rumah itu cukup lama membukanya.
Wanita itu sudah cukup lama berdiri di depan pintu menunggu sang pemilik membukakan pintu. Wanita itu sibuk dengan tangan kanannya membawa rangtang makanan.
Clek!
Pintu itu terbuka oleh wanita cantik ia adalah Naya, keduanya wanita itu saling terkejut.
“Dokter Diva!”
Dokter Diva, ya dia wanita yang sendari tadi mengetuk pintu rumah Abikara Grup. Dokter Diva tersenyum ramah kepada Naya.
“Permisi, Naufal ya ada?” tanya Dokter Diva.
“Ada, kenapa ya?” tanya Naya.
“Saya mau ngasih, makanan buat Naufal,” jawabnya.
Dokter Diva tidak atau kalau wanita yang di depannya saat ini adalah istri Naufal lelaki yang dia cari.
Tak lama dari itu, Naufal muncul dari dalam. Dia juga terkejut atas kedatangan Dokter Diva, pasalnya ketika Dokter Diva ingin pergi ke rumahnya pasti dia akan mengabarinya.
“Dokter Diva!”
“Dokter Naufal, wah kebetulan sekali. Ini saya bawakan nasi kerak buat Dokter, ini masakan saya lo,” terang Diva..
Naya menatap datar Dokter Diva, cemburu sudah menghantuinya. Dokter Diva belum tau saja kalau Naya itu istrinya Naufal.
“Wah, sayang kebetulan banget dong. Kita kan belum makan, ini Dokter Diva bawain makanan buat kita.” Naya mengambil rantang itu dari tangan Diva.
“Sayang?” tanya Diva, terheran.
“Oh ya, sayang kamu nggak ngasih tau Dokter Diva kalau kamu itu punya aku. Jadi Dok, kita itu udah nikah, malah saya lagi hamil,” Naya menggandeng lengan tangan lelaki itu, ucapannya bohong, ia sudah terlanjur cemburu.
Naufal terheran dengan sikap Naya, menggemaskan bila istrinya sedang cemburu. Ia tau Naya tengah cemburu pada Diva, sampai berbohong bahwa dia sedang hamil.
“Oh jadi Naufal sudah menikah,” ucapnya dalam hati, sakit hati itu kini menyelimuti Diva.
“Oh ya, selamat ya atas kehamilannya,” kata Diva tersenyum paksa.
“Makasih lo Dok, tapi maaf banget ya, kayaknya Dokter nggak sih ikut makan bareng kita, kan kursi makan kita itu cuma ada empat, dua buat kita dan dua lagi buat papa sama Vero,” ucap Naya. Ia sengaja tak memberi ruang untuk Diva.
“Iya, nggak papa kok. Kalau gitu saya pamit dulu ya, ada urusan.”
“Iya, Dok, hati-hati awas ya Dok matanya dijaga takut jatuh salah ke lubang,” sindir Naya halus.
Naufal hanya menggelengkan kepalanya, dia begitu gemas dengan tingkah istrinya itu. Diva sudah pergi menjauh, hanya terlihat punggung yang mulai jauh.
“Bau-bau pelakor,” celetuk Naya.
“Tadi kamu cemburu ya?” goda Naufal.
“Iyalah, gue tuh tau dia tuh lagi ngincer lo, makannya sebagai istri yang baik, gue harus jagain lo,” terang Naya.
Omongan Naya barusan membuat ekspresi Naufal berubah menjadi kesal, ia memanyunkan bibirnya, kesal.
“Kenapa?” tanya Naya.
“Tadi kamu bilang lo-gue, itu maksudnya apa?” tanya Naufal dengan tatapan serius.
“Ya emang biasanya gitu kan, Fal? Udah ah, mau lo-gue atau aku-kamu yang penting sama.”
Naufal mencium bau makanan pemberian Diva, baunya cukup membuatnya lapar. Nasi kerak salah satu makanan kesukaannya, dulu saat Naufal dan Diva menjadi anak Maba di kampus, Diva sering memasaki Naufal nasi kerak dan rasanya sangat enak.
“Makan yuk! Enak kayaknya!” ajak Naufal, dia tak sabar melahap semuanya.
“Nggak, ini itu dari dokter Diva, kamu nggak boleh makan. Ini buat bi Ning aja. Kalau kamu mau, nanti aku buatin.” Naya merebut rantang itu dari tangan Naufal.
**
Diva pulang dengan perasaan marah, dia melempar tas di sembarang arah.
“Arrggg, kesel-kesel. Ternyata dia udah nikah, mana ceweknya manas-manasin gue lagi,” kesal Diva.
Dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Memang cintanya terlambat kepada Naufal, mungkin jika dia sejak dulu menerima Naufal saat ini dia pasti bahagia.
“Gue nggak mau tau, gue harus bisa dapetin Naufal, bagaimanapun caranya,” katanya menatap tajam pantulan wajahnya di cermin.
**
Naya tengah menyapu halaman belakang, banyak sekali daun-daun kering berjatuhan karena memang banyak sekali pohon mangga disana, lagi pula halaman rumah jarang sekali dibersihkan.
“Duh, banyak juga ya sampahnya.” Naya mengumpulkan sampah-sampah itu.
Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Aroma parfum itu tercium jelas siapa yang memeluknya saat ini. Naufal meletakan kepalanya di tengkuk leher perempuannya.
“Lo bisa diam nggak sih, gue lagi nyapu,” kesal Naya.
Naufal melepas pelukannya, wajahnya berubah cemberut, dia tau Naya masih marah karena kejadian barusan.
“Lo masih marah?” tanya Naufal, mengambil sapu itu dari tangan Naya.
“Menurut lo?” tanya Naya balik.
Sebenarnya Naya tidak marah dengan Naufal, hanya saja dia masih kesal dengan Diva. Moodnya saat ini sedang kurang baik, semua yang dilakukan Naufal salah di matanya.
Lelaki itu menghela nafas panjang, sebelum kemudian berbicara dengan kata yang sudah ia susun.
”Jalan-jalan, yuk!”
Wajah yang tadinya kesal itu, seketika berubah menjadi berseri-seri. Naufal sangat pandai berubah mood Naya menjadi baik lagi, ia begitu peka dengan istrinya.