Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Ya, ini aku," ucap orang yang berada tepat di hadapan Almira. "Boleh aku duduk di sini?"
"Eh," belum juga Almira mengiyakan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan orang tersebut, orang itu sudah duduk saja di kursi kosong tepat disebelah Almira.
"Kau sedang apa di sini?" Tanya keduanya bersamaan.
"Hehe, lucu ya?! Kenapa bisa pas samaan gitu ya, pertanyaannya?!" Ujar orang tersebut.
Almira yang mendengar ungkapan orang tersebut pun hanya tersenyum.
"Boleh jika Kau yang ingin lebih dulu menjawab," ucap orang tersebut.
"Heh?? Aku?"
"Iya, Kau! Siapa lagi? Memang di sini ada orang lain lagi?" Pertanyaan orang tersebut hanya mendapat jawaban gelengan kepala dari Almira. "Jadi??"
"Hem?? Aku... Aku di sini untuk... Aku..."
"Biar aku saja yang lebih dulu menjawab," sela orang tersebut, sedang Almira tak lagi berkata apa-apa, karena dirinya pun bingung untuk akan berkata dan menjelaskan seperti apa.
"Aku di sini sebagai relawan," ungkap orang tersebut.
"Relawan??" Ulang Almira.
"Iya, relawan. Sebenarnya aku bertugas di lapangan, tempat terjadinya kecelakaan pesawat itu. Dikarenakan di sini kekurangan orang dan juga.. di sana sudah ada beberapa relawan lainnya yang bertugas, alhasil saya dipindahkan kesini, dan saya tak menyangka akan bertemu denganmu di sini setelah sekian lama," jelas orang tersebut.
Almira tersenyum mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan orang tersebut, sebelum akhirnya berucap, "Oh iya ya, mengapa aku bodoh sekali! Tentu saja Kau akan berada di sini untuk merawat pasien daruratmu, benar bukan, Dokter Ditto?!"
Ya, orang tersebut adalah Ditto, Ditto yang sama yang pernah menyatakan perasaannya pada Almira lewat surat yang dititipkan pada Sebastian.
"Ya.. Kau benar sekali. Omong-omong... Bagaimana kabarmu?" Ucap Ditto dengan pertanyaan lain, dan sepertinya telah melupakan pertanyaan sebelumnya. Sebenarnya bukan melupakan, melainkan tak ingin memaksa Almira untuk menjawab, karena terlihat Almira yang merasa tak nyaman akan pertanyaannya itu. "Sudah lumayan lama juga kita tak saling bertemu," sambungnya. "Oh ya, aku ada pernah menitipkan sebuah surat pada__"
"Ya, Kau benar akan hal itu, sudah lama kita tak bertemu. Dan ya, kabarku baik. Bahkan sangat baik. Seperti yang Kau lihat!" Sela Almira dengan cepat. Karena dirinya tak ingin membahas hal yang tak ingin dirinya bahas.
Dan penyelaan Almira itu membuat Ditto reflek menoleh ke arahnya sehingga mata Ditto tak sengaja menangkap suatu pemandangan yang membuat matanya seketika membola.
"Almira," panggil Ditto dengan raut muka cemas.
"Hem?? Kenapa?" Ucap Almira yang tak mengerti akan perubahan raut muka yang ditunjukkan Ditto saat ini.
"Itu," tunjuk Ditto.
"Apa?"
"Maaf, ini Kau... Mengapa lehermu..."
"Kau mau apa?!" Seru Almira.
Ditto menghentikan niatnya untuk menyentuh leher Almira yang terlihat seperti bekas... Cekikan!
Ditto hanya menatap Almira dengan penuh tanda tanya, karena Almira menjauhkan diri sebelum dirinya memastikan benar tidaknya dugaannya itu.
"Almira, itu, lehermu, sepertinya lehermu ada bekas__"
"Almira."
Ucapan Ditto kembali tertelan kala terdengar suara lain tengah memanggil Almira, membuat dirinya begitupun Almira menoleh ke asal suara.
"Ikutlah denganku," ucap orang tersebut dan langsung pergi begitu saja.
"Siapa dia?" Tanya Ditto.
"Ditto, aku harus pergi," Almira berucap lain tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaan dari Ditto.
Ditto tak berkata apa-apa lagi dan hanya memperhatikan pergerakan Almira saja. Karena pandangannya saat ini dibuat terpaku akan keadaan Almira yang baru dirinya sadari, Almira hamil???
"Pantas saja dia tak membalas suratku waktu itu.." Ucapnya dengan tatapan sendu yang terus mengikuti kepergian Almira yang kian menjauh. "Apa tadi itu suaminya?? Tapi mengapa harus dengan pria yang seumuran ayahnya??" Lanjutnya dengan segala asumsinya. "Ah, terserahlah! Satu hal yang pasti, aku tak memiliki harapan," ucapnya dengan lesu seraya berdiri dan beranjak dari sana.
Disisi Almira.
"Ada apa, Pa? Mengapa Papa mengajakku kemari?" Tanya Almira pada papa Steven, kerena papa Steven lah yang meminta untuk mengikutinya saat tengah berbincang dengan Ditto.
"Sebaiknya Kau minumlah lebih dulu," ucap papa Steven sembari menyodorkan sebotol air mineral pada Almira.
Dengan patuh Almira menerima botol tersebut dan menegak isinya hingga habis setengah. Karena jujur, tenggorokan Almira memang terasa sangat kering, apalagi tadi hampir saja dirinya kehilangan nafas satu-satunya di tangan mertua tercintanya.
"Almira," setelah beberapa saat keduanya hanya duduk terdiam, barulah papa Steven memanggil Almira, yang seketika membuat Almira jadi mendongak untuk menatap ayah mertuanya. Almira hanya diam menunggu, apa sekiranya kelanjutan yang akan papa Steven sampaikan. Sebelum kembali berucap, papa Steven terlebih dahulu menghembuskan nafas, membuat otak Almira timbul tanda tanya. "Sebaiknya Kau pergi dari sini, pergilah sejauh mungkin."
Deg!
"Apa maksud, Papa? Papa mengusirku?" ucap Almira dengan mata menatap papa Steven dengan tatapan tak percaya.
"Tidak, bukan seperti itu maksud, Papa. Papa hanya tak ingin Kau mengalami insiden seperti yang Kau alami beberapa waktu lalu jika Kau terus berada disekitar mama mertuamu, itu saja," jelas papa Steven. "Lagipula tidak ada alasan Kau terus berada di sekitar keluarga Alvaro. Yang harus Kau lakukan adalah menyelamatkan keturunan dan penerus keluarga Alvaro. Kau harus menjaga dengan baik janin yang Kau kandung, Almira. Jagalah kenangan terakhir Sebastian untuk kami," lanjutnya.
"Apa maksud, Papa? Kenangan apa? Kak Tian masih hidup, Pa..., Kak Tian masih hidup! Itu sebabnya kita ada di sini, bukan..?!" seru Almira dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Ikuti Papa," ajak papa Steven dengan berjalan lebih dulu.
Almira tak menyahuti, hanya berbuat dengan tindakan, yaitu mengikuti langkah papa Steven dari belakang seraya menyeka air mata yang sempat menggenang di pelupuk matanya.
Terlihat dari kejauhan papa Steven tengah berbicara dengan salah satu petugas rumah sakit, dan terlihat juga petugas tersebut menyerahkan sesuatu yang seperti familiar di penglihatan Almira pada papa Steven. Setelahnya papa Steven terlihat berjalan kearahnya.
"Ini," ucap papa Steven saat telah sampai di hadapan Almira seraya menyodorkan sesuatu yang diberikan petugas rumah sakit tadi. "Kau berkata mengenal barang ini, bukan?"
Almira hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan dari papa Steven.
"Kalau begitu, ikut Papa," ajak papa Steven lagi.
"Kemana?" tanya Almira penasaran.
"Nanti Kau juga akan mengetahuinya," jawab papa Steven tanpa menghentikan langkahnya.
Sesampainya didepan pintu suatu ruangan, papa Steven disusul Almira dibelakangnya pun masuk, yang ternyata di dalamnya sudah ada salah seorang petugas medis.
"Kau mengenal barang ini, bukan?" tanya papa Steven sekali lagi sembari mengangkat barang tersebut untuk ditunjukkannya pada Almira.
"Iya."
"Kau juga mengenali tempat ini, bukan?" tanya papa Steven lagi.
Tentu saja Almira sangat mengenali ruangan tersebut, ruangan dimana dirinya yang nyaris hanya tinggal nama saja beberapa waktu lalu.
"Iya," jawab Almira yang masih tak mengerti akan kemana arah pembicaraan mertuanya itu.
"Apa Kau juga tahu, ruangan apa ini?"
Pertanyaan papa Steven kali ini seketika membuat Almira tersadar dimana saat ini dirinya berada, membuat Almira reflek menutup mulutnya dan tubuhnya sedikit terhuyung kebelakang akibat terkejut karena penglihatannya saat ini menangkap beberapa brangkar yang diatasnya ditutupi kain berwarna putih, yang almira yakini dibalik kain putih tersebut tersimpan sosok manusia sudah tak bernyawa. Membuat perasaannya kali ini menjadi ketar-ketir, namun Almira tetap saja berpositif thingking.