Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas - Saya Asyifa, Pak.
Tidak peduli Asyifa yang merintih kesakitan, Adrian tetap fokus pada penyatuannya malam ini. Asyifa benar-benar masih tersegel rapat. Ada rasa sesak di dalam dada Adrian, karena ia sudah merenggut kesucian Asyifa, yang mempertaruhkannya demi adik-adiknya supaya bisa bersekolah.
Adrian masih dalam penyatuannya dengan Asyifa. Sesekali ia kecup kening Asyifa dengan rasa yang aneh. Rasa yang begitu dalam, hingga timbul rasa aneh di hatinya. Ia usap air mata Asyifa yang mulai merembes di sudut matanya.
“Pak ...,” Rintih Asyifa.
“Maafkan saya, sudah membuatmu seperti ini. Saya janji tidak akan meninggalkanmu,” ucap Adrian.
“Apa masih sakit?” tanya Adrian.
“Iya, sudah cukup, Pak. Rasanya aku mau pipis,” ucap Asyifa dengan terengah.
Adrian tersenyum dengan gemas melihat Asyifa yang ingin meluapkan hasratnya. Mungkin pertama kalinya Asyifa mengalami puncak pencapaian kenikmatan.
“Pipis saja, gak apa-apa,” bisik Adrian dengan terus menggerakkan tubuhnya semakin kencang.
Mereka bermandi peluh kenikmatan malam ini. Tubuh mereka sama-sama bergetar saat mencapai puncak bersama.
Dipeluknya Asyifa setelah selesai permainan panasnya. Adrian menciumi wajah Asyifa dengan lembut.
“Terima kasih,” bisik Adrian.
“Sama-sama, Pak,” jawab Asyifa.
Asyifa dan Adrian membersihkan diri di kamar mandi. Karena kaki Asyifa sakit, Adrian menggendongnya ke dalam kamar mandi. Selesai membersihkan diri, mereka tidur, karena Asyifa merasakan capek. Badannya terasa pegal setelah melakukan malam pertama dengan suaminya.
**
Pagi harinya, Asyifa merasakan tubuhnya berat. Ia terbangun dari tidurnya, dan melihat ada tangan kekar melingkar di perutnya. Adrian tidur dengan memeluk Asyifa. Perlahan Asyifa menyingkirkan tangan yang melingkar di perutnya supaya Adrian tidak terbangun.
“Sebentar, Sayang ... aku masih ingin memelukmu. Tubuhmu wangi sekali, apa parfum kamu ganti?” ucap Adrian tanpa membuka matanya.
Hati Asyifa terasa tercubit mendengar ucapan Adrian. Asyifa tahu yang Adrian ucapkan itu bukan untuk dirinya melainkan untuk Naura. Tidak mungkin Adrian memanggil dirinya dengan panggilan sayang.
“Naura Sayang ... jangan bangun dulu, ini masih pagi sekali, kamu mau apa sih? Sebentar lagi aku masih ingin memelukmu, Sayang?” ucap Adrian lagi.
“Ma—maaf, Pak. Saya Asyifa, bukan Mbak Naura. Saya mau bangun, sudah waktunya salat subuh,” ucap Asyifa berusaha sopan dan lembut, ia menyembunyikan rasa sakit di hatinya.
“Aa—Asyifa? Ma—maaf aku kira ...,”
“Iya, saya tahu kok Pak. Tidak masalah. Ya sudah saya mau mandi, mau salat subuh, apa bapak mau mandi juga?” tanya Asyifa.
“I—iya nanti, gantian, kamu duluan Fa,” ucapnya tergagap.
Adrian merasa bersalah karena tadi berkata seperti itu. Ia mungkin terlalu merindukan Naura, jadi sampai mengira Asyifa adalah Naura.
Asyifa mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Sepintas Asyifa mengingat kegiatan semalam, betapa ganasnya Adrian sampai baju yang ia pakai robek, juga dalaman yang dipakai pun ikut dirobek Adrian.
“Pak, boleh saya minta tolong?” pinta Asyifa.
“Minta tolong apa, Asyifa?” tanya Adrian.
“Ehm ... i—itu, Pak, ba—baju saya, Pak.” Asyifa menunduk malu sambil menjawab pertanyaan Adrian.
“Kenapa baju kamu, Asyifa?”
“Ini robek semua, Pak. Masa saya mau ke kamar mandi telanjang begini, ini robek semua baju saya,” jawab Asyifa dengan malu dan menundukkan kepalanya.
“Astaga ... maaf semalam saya sudah merobek paksa bajumu. Sebentar saya ambilkan.”
Adrian buru-buru memakai kaos dan celana pendeknya. Asyifa memunggunginya, ia malu melihat suaminya polos tanpa sehelai benang pun sedang memakai bajunya.
“Ini, pakai bathrobe saja, sekalian kamu ke kamar mandi,” ucapnya sambil memberikan bathrobe pada Asyifa.
“Terima kasih, Pak,” ucap Asyifa.
“Iya, pakailah ini dulu, lalu bersihkan badanmu,” ucap Adrian yang masih berdiri di depan Asyifa.
“Pak, saya mau pakai ini, bisa bapak ke sana sebentar? Masa saya pakai di depan bapak?” pinta Asyifa.
“Oh iya, Fa. Lagian kenapa sih? Semalam saja saya sudah melihat semuanya,” ucap Adrian.
“Beda, Pak. Semalam setengah sadar setengah enggak gara-gara bapak,” jawab Asyifa kesal.
“Nanti aku bikin kamu sadar dan menikmati, saya jamin kamu mau lagi dan lagi,” ucap Adrian gemas.
Melihat wajah Asyifa yang polos, dan malu-malu begitu, membuat Adrian semakin gemas. Rasanya ingin sekali ia menerkam tubuh mungil istrinya saat melihat wajahnya yang menggemaskan, apalagi sedang kesal dan malu-malu kucing. Mungkin kalau tadi dia tidak salah menyebut nama, Asyifa bakalan mau diajak bermandi peluh di pagi hari.
“Ahhkk!” pekik Asyifa.
“Kenapa, Asyifa?!” tanya Adrian dan langsung merengkuh tubuh Asyifa. “Apa kakimu masih sakit?” tanya Adrian.
“Sedikit, Pak. Mungkin karena tadi masih kaku, ini sudah lumayan tidak sakit. Saya ke kamar mandi dulu, Pak,” jawab Asyifa menunduk.
“Saya gendong, ya?”
“Enggak usah, saya bisa sendiri,” jawab Asyifa.
“Jangan membantah, saya tidak suka dibantah. Biar saya gendong kamu!”
Dengan segera Adrian membopong tubuh Asyifa dan membawanya ke kamar mandi. Ia menurunkan Asyifa, lalu menyiapkan air hangat untuk mandi Asyifa.
“Kita mandi bareng, ya? Seperti semalam,” bisik Adrian menggoda.
“Pak!” pekik Asyifa.
“Kenapa? Gak salah dong mandi bareng? Semalam juga kita mandi bareng?” ucap Adrian.
“Sudah bapak keluar, saya mau mandi dulu,” usir Asyifa.
“Saya mau mandi sama kamu, aku tidak suka ditolak, Asyifa!” tekan Adrian.
Asyifa pasrah, membiarkan Adrian yang maunya mandi bersama. Semalam memang mandi bersama, tapi Asyifa masih belum sesadar ini, apalagi Adrian minta nambah lagi saat mandi bersama semalam.
“Jangan nambah lagi ya, Pak?” ucap Asyifa.
“Kalau saya masih pengin ya nambah, Fa,” ucap Adrian.
“Pak, nanti gak kebagian waktu subuh,” ucap Asyifa.
“Oh ya sudah, ayo buruan mandi, lalu setelah itu salat, dan kita lanjut lagi,” ucap Adrian.
“Lanjut apa, Pak?” tanya Asyifa.
“Bikin bayi!” jawabnya.
Blush ....
Pipi Asyifa merona, apalagi mengingat sentuhan Adrian semalam yang membuatnya dimabuk kepayang. Geli mengingat semuanya yang semalam terjadi, apalagi saat mengingat desahannya yang terus meracau memanggil Adrian, dan memintanya untuk melakukannya dengan cepat. Malu sekali rasanya saat mengingat apa yang semalam terjadi.
“Kenapa pipimu seperti tomat, hmmm?” tanya Adrian sambil mengusap pipi Asyifa. “Jangan pancing aku melakukan lagi, Asyifa. Kamu terlalu menggemaskan!” Adrian dengan lembut mencium pipi Asyifa.
Bulu romanya berdiri tegak mendapat perlakuan Adrian seperti tadi. Namun, sebisa mungkin Asyifa menahan gejolaknya yang kembali membuncah, apalagi Adrian dengan rakus melumat bibir Asyifa.
“Pak ... uhmmp ... stop!” ucap Asyifa.
“Sorry, aku benar-benar tidak terkendali. Mari kita mandi, lalu setelah salat saya mau lagi, Asyifa,” ucap Adrian.
Asyifa mengangguk pasrah. Dirinya juga sudah terbawa suasana, dan hasratnya naik lagi. Namun, Asyifa sadar, ia belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Yaitu Salat Subuh.
**
“Lho kok keluar, Pak? Ayo salat dulu?” ajak Asyifa.
“Saya sholat sendiri saja di kamar sebelah,” jawab Adrian.
“Kenapa?” tanya Asyifa. Namun, Adrian hanya tersenyum pada Asyifa, ia malu untuk mengatakan pada Asyifa kalau dia tidak hafal doa qunut, tidak mungkin dia jadi imam tanpa baca qunut.
“Ayo Pak, Bapak jadi imam dong?” pinta Asyifa.
“Fa, tapi ini kan subuh?”
“Apa bedanya, Pak? Bukannya tadi malam saat Salat Isya bapak jadi imam? Kok ini mau salat sendiri-sendiri?” protes Asyifa.
“Sa—saya gak hafal Do’a Qunut, Ris,” jawabnya.
“Bapak kan pintar, cerdas, mumpung masih ada waktu, bapak searching Doa Qunut saja di google, lalu hafalin, saya yakin bisa kok, Pak. Ayo buruan!”
Adrian ikuti kata istrinya itu, ia duduk di kursi sambil menghafalnya berkali-kali. Seketika ia terbayang saat dulu waktu kecil. Dia paling pintar di TPQ. Sering dapat juara hafalan Surat Pendek, dan semua bacaan Salat dia hafal. Akan tetapi saat usianya menginjak remaja, Adrian semakin fokus pada dunia bisnis. Sejak SMP dia sudah diajari bisnis oleh Papanya. Sebagai anak tunggal, ia dituntut untuk bisa mengurus perusahaan milik Papanya. Hingga Adrian perlahan melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
“Sudah, yuk!” ajak Adrian.
“Ke mana, Pak?” tanya Asyifa.
“Bikin anak!”
“Hah?!”
dr ibu pertma anaknya 4 perempuan smua
dr ibu kedua anaknya 2 laki2 smua.
SMP skrang smua anak2 sudah berkeluarga dan mereka tampak akuuur bgt.. sering liburan bareng.
salut si sma yg bisa kaya bgtu,
jdi laki ko serakah ga ada tuh perempuan yg bnr" ikhlas d madu toh rasa nya kaya racun pergi ja lh Asyifa dari pada makin sakit mana ga berdarah itu lebih berbahaya