Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH SAKIT
Jalanan cukup padat hingga mobil yang dikendarai Nathan hanya bisa merayap pelan. Maklumlah weekend, mungkin semua orang ingin menghabiskan waktu diluar, terutama anak muda. Embun menatap deretan toko dan bangunan yang mereka lewati dari jendela mobil. Sejak tadi dia hanya diam, pikirannya melayang kemana-mana memikirkan arti kata Nathan tadi.
Mungkinkah malam ini, Nathan akan meminta hak nya? Astaga, hanya membayangkan saja, jantung Embun sudah berdegup kencang. Bahkan saat Nathan memanggilnya, dia sampai tak dengar saking sibuknya menata hati dan pikiran.
Puk
Tepukan dibahu membuat Embun terjingkat kaget. Wanita itu langsung menoleh kearah Nathan, dan mendapati suaminya itu tengah tersenyum padanya.
"Mikirin apa sih?"
Bukannya menjawab, Embun malah nyengir. Mana mungkin dia akan menjawab lagi mikirin malam pertama. Astaga, memalukan sekali, mau ditaruh mana mukanya.
"Ditanya malah diem aja," Nathan geleng-geleng lalu kembali fokus menatap jalan. "Kamu tadi ngobrol apa aja sama Ibu Bulan, kayaknya kalian klop baget?"
"Cu-cuma ngobrol biasa," sahut Embun terbata.
Nathan menoleh kearah Embun. Dahinya mengernyit mendapati wajah tegang istrinya tersebut. "Kamu kenapa sih? Kok kelihatannya tegang gitu?"
"A, i, i-tu. Aku, aku gak kenapa-napa." Embun merutuki diri sendiri. Ada apa dengan dia, ngomong sama Nathan saja sampai segininya gugup.
"Kamu kenapa sih?" Nathan tersenyum mendapati kegugupan Embun. Bahkan disaat kondisi ac mobil menyala, Embun terlihat berkeringat.
"A, aku haus." Embun tersenyum absurd sambil memegangi tenggorokannya. "Butuh minum."
Nathan tersenyum melihat gelagat aneh Embun. Dia yakin wanita itu seperti ini bukan karena haus. Tapi sudahlah, lebih baik di belikan minum saja, siapa tahu beneran haus.
Nathan menghentikan mobilnya didepan sebuah minimarket. Sebelum turun, dia mengambil selembar tisu lalu menyeka keringat didahi Embun.
Deg deg deg
Jantung Embun berdebar kencang hanya karena perhatian kecil itu. Saat matanya dan Nathan saling beradu, dunia terasa berhenti berputar. Ada apa ini, mau bernafaspun, rasanya dia lupa caranya.
Cup
Kecupan singkat dibibir membuat jangung Embun mau loncat. Bulu kudunya meremang, rasa panas langsung menjalar keseluruh tubuh.
"Ayo."
"Hah," Embun terlihat bingung.
"Ayo."
"A-ayo apa?" pikiran Embun malah melayang kemana-mana sampai nyasar.
Nathan menunjuk dagu kearah mini market 24 jam yang tampak cukup ramai. "Katanya haus."
"Haus, siapa yang haus?"
"Bukannya kamu tadi bilang haus?" Antara heran dan pengen ngakak, itu yang dirasakan Nathan saat ini.
"Aku?" Embun malah mendadak amnesia. Seperti itulah orang kalau bohong, sering lupa apa yang tadi diucapkan. "Oh, iya, a-aku haus." Embun melepas seatbelt. Tapi ada apa ini, hanya melakukan hal semudah itu, kenapa tiba-tiba sulit. Tangannya gemetar, mungkin karena itu dia jadi kesusahan membuka seatbelt.
Nathan tak bisa menahan tawa melihat kegugupan Embun. Dia mendekatkan badan mereka, membuat Embun reflek menutup mata.
Klik
Embun membuka mata mendengar suara itu. Melihat Nathan yang menjauhkan badan, seketika dia bisa bernafas lega.
Keduanya lalu turun, masuk kedalam minimarket dan langsung menuju showcase minuman. Saat Embun masih memilih minuman, ponsel Nathan bergetar. Melihat nama Navia dilayar, dia langsung menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Nav."
Bukannya sahutan, Nathan malah mendengar suara isak tangis. Kalau sudah seperti itu, otomatis Nathan langsung panik. "Nav, ada apa?"
"Mama Kak, Mama," sahut Navia disela sela isakannya.
"Mama kenapa?"
"Mama tak sadarkan diri, jatuh dari kursi roda. Sekarang kami ada dirumah sakit."
Pikiran Nathan seketika kacau, membayangkan sesuatu yang buruk menimpa mamanya. Dia menarik tangan Embun menuju kasir lalu membayar minuman yang ada ditangan Embun.
"Kembaliannya, Pak," teriak kasir saat Nathan pergi begitu saja setelah meletakkan uang 50 ribu.
"Ambil saja," sahut Nathan sembari membuka pintu dan langsung keluar. Embun yang sejak tadi ditarik tarik jadi penasaran apa yang terjadi.
"Ada apa, Kak?"
"Mama masuk rumah sakit."
Nathan terburu-buru masuk kedalam mobil lalu melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Sesampainya disana, dia dan Embun langsung menuju UGD. Tampak Navia yang sedang menangis dalam pelukan Rama didepan UGD.
Melihat kakanya datang, Navia melepaskan pelukan Rama lalu berganti memeluk Nathan. Menangis tersedu-sedu disana sambil berkali kali menyebut kata mama.
Nathan mengusap punggung Navia, mencoba menenangkan adiknya, sebelum akhirnya bertanya tentang kronologi jatuhnya sang mama.
"Mama jatuh dari kursi roda saat ditinggal suster Ida mengambil minum didapur. Kata dokter, kanan darah Mama naik," Rama menjelaskan. "Tapi sudah sadar, dan sekarang sedang menunggu proses dipindahkan keruang rawat."
Nathan mendesahh pelan, sedikit lega mendengar jika mamanya sudah sadar dan terjadi hal buruk padanya. Kemarin malam, dia masih bicara lewat telepon dengan mamanya. Tapi malam ini, kenapa tiba-tiba tekanan darahnya naik?
"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Nathan.
Baik Navia maupun Rama, tak ada yang menjawab. "Sesuatu pasti telah terjadi. Gak mungkin tekanan darah mama tiba-tiba tinggi."
Navia melepaskan pelukannya, menoleh pada Embun dan menatapnya sengit. "Ini gara-gara dia." Didorongnya Embun sampai terhuyung kebelakang.
"Navia!" geram Nathan. Dia langsung menyentuh kedua bahu Embun, menatap dari atas kebawah, memastikan jika wanitanya itu baik-baik saja.
"Kakak jangan belain dia kali ini," Navia menarik kasar lengan Nathan agar melelaskan Embun. "Mama masuk rumah sakit gara-gara dia." Navia menunjuk Embun sambil menatap nyalang. Sementara Rama, dia hanya memperhatikan, tapi wajahnya tampak gelisah.
"Gara-gara dia gimana?" Nathan tak habis pikir, seharian dia bersama Embun, bagaimana caranya mamanya jatuh dari kursi roda gara-gara Embun.
"Tekanan darah mama naik karena tahu kalau Embun selingkuhan Mas Rama."
Mata Embun membola karena terkejut begitupun dengan Nathan.
"Bagaimana bisa tahu?" tanya Nathan.
Navia seketika tertunduk dalam. Ada rasa bersalah pada dirinya, kenapa tak bisa menahan diri, sampai dia keceplosan. "A-aku gak sengaja ngasih tahu mama."
Nathan mengumpat sambil menarik rambutnya kebelakang. Kesal pada Navia yang tak bisa menahan diri dan ceroboh.