Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Pencarian Jawaban
Pagi itu, kantin sekolah dipenuhi suara obrolan riuh para siswa yang baru selesai jam pelajaran pertama. Aroma gorengan dan bakso yang menggoda memenuhi udara, menarik para siswa untuk mengantre. Suasana kantin memang selalu ramai, menjadi tempat berkumpul sekaligus mengobrol bagi siswa-siswa seperti Rina dan teman-temannya.
Di salah satu sudut kantin yang agak sepi, Rina duduk sendiri, memegang gelas es teh manis sambil menatap ke arah kerumunan. Pikirannya melayang, tak bisa terlepas dari sosok Danu yang telah berhari-hari membuat hatinya campur aduk. Ia memainkan sendok di dalam gelas, menatap kosong, mencoba merangkai kata-kata yang ingin diutarakan jika nanti akhirnya bisa bicara dengan Danu. Selama ini, mereka memang sering bersama—mengobrol, tukar kaset, atau sekadar bercanda di sela-sela jam pelajaran. Tapi kini, Rina merasa ada sesuatu yang mulai berubah.
“Haruskah aku bicara terus terang?” gumamnya dalam hati. Setelah beberapa hari menahan diri, akhirnya Rina merasa tak bisa lagi terus-terusan menebak atau mengira-ngira perasaan Danu. Kali ini, ia bertekad untuk bicara langsung dan jujur. Tapi... apa yang akan ia katakan jika ternyata Danu tak memiliki perasaan yang sama? Bayangan-bayangan itu membuat perutnya terasa mual, namun ia mencoba menepisnya. Mereka sudah berteman lama; apa pun yang terjadi, Rina yakin ia bisa menghadapi hasilnya.
Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Rina melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. Danu baru saja memasuki kantin dengan langkah santai. Kemeja kotak-kotak biru yang biasa ia pakai memberikan kesan santai dan khas, seperti dirinya. Melihat Danu, dada Rina langsung berdegup kencang, tapi ia berusaha menahan diri dan melambaikan tangan dengan santai. Danu pun tersenyum dan melangkah ke arah Rina, lalu duduk di bangku di depannya.
"Hai, Rin! Udah lama nunggu?" sapa Danu sambil tersenyum, sembari membuka bungkus gorengan yang baru dibelinya.
“Nggak kok, baru aja. Eh, makasih gorengannya,” ujar Rina sambil mengambil satu gorengan dari bungkusan Danu. Mereka tertawa ringan, berbicara seperti biasa. Topik obrolan mereka beralih dari tugas sekolah, teman-teman, hingga rencana konser band lokal yang akan datang.
Namun, seiring waktu, Rina sadar bahwa ia tak bisa terus-terusan mengulur percakapan ini. Ia harus memberanikan diri untuk membahas perasaannya, bahkan jika itu berarti menghadapi ketidakpastian. Dalam hati ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari momen yang tepat.
“Danu,” panggil Rina akhirnya, nada suaranya sedikit serius, jauh dari nada riang yang biasanya.
Danu menoleh, menatap Rina dengan alis terangkat sedikit, tanda bahwa ia penasaran. “Iya? Ada apa?”
Rina menelan ludah, gugup. “Aku... ada sesuatu yang mau aku tanyain. Tapi kamu jangan nge-judge, ya?”
Danu tertawa kecil, meskipun tampak ada sedikit kecanggungan di raut wajahnya. “Nge-judge? Nggak akan lah, tenang aja. Tanya aja, Rin. Apa, sih?”
Rina merasakan degup jantungnya semakin keras. Ia menghirup napas dalam-dalam sekali lagi sebelum melanjutkan. “Kita kan... sering banget ketemu, ngobrol, tukeran kaset, saling cerita. Aku cuma penasaran, buat kamu, ini semua... cuma sekadar temenan biasa, atau mungkin... ada sesuatu yang lain?”
Perasaan gugupnya semakin menjadi-jadi, tapi ia berusaha tampak tenang. Matanya menatap Danu, mencoba mencari petunjuk dari ekspresi wajahnya.
Danu, yang awalnya tersenyum, mendadak tampak gugup. Ia mengalihkan pandangan, tatapannya jatuh ke arah lantai seolah sedang mencari jawaban. Setelah beberapa saat hening, Danu akhirnya menghela napas, lalu berkata, “Eh... maksudnya gimana, sih, Rin?” Nada suaranya lebih lembut dari biasanya, dan terdengar sedikit ragu.
Rina berusaha mengumpulkan keberanian. “Ya… aku cuma pengin tahu, apa kamu pernah mikir hubungan kita bisa lebih dari sekadar teman? Atau... mungkin kamu ngerasa, kita emang cuma sebatas teman aja?”
Danu menggaruk kepalanya, jelas sekali bahwa ia merasa tak nyaman. Tatapannya masih menghindar dari Rina. “Rin... aku... nggak tahu, Rin. Mungkin... aku takut kalau aku ngomong yang sebenarnya, semuanya bakal berubah. Kita udah temenan lama, dan... ya, aku nggak mau kita jadi aneh.”
Mendengar itu, Rina merasa ada sesuatu yang remuk di hatinya, meski ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tersenyum kecil, mencoba memahami. “Iya, aku ngerti kok. Kadang hal kayak gini memang bikin takut. Aku juga... ngerasain hal yang sama.”
Obrolan mereka perlahan berubah menjadi canggung. Mereka berdua terdiam sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Danu menggaruk kepala lagi, lalu berkata, “Rin, maaf ya... aku nggak pengin bikin kamu sakit hati atau gimana. Cuma… aku takut kalau kita jujur, semuanya malah jadi rumit.”
Rina tersenyum tipis, meski hatinya terasa sedikit pedih. Mungkin Danu memang belum siap, dan mungkin juga Rina harus lebih bersabar. Ia tahu, kadang perasaan itu memang rumit dan sulit dijelaskan, terutama jika harus dihadapkan pada ketakutan akan perubahan. Rina hanya berharap waktu akan membantu mereka untuk lebih mengerti apa yang mereka inginkan.
Akhirnya, obrolan mereka berakhir dengan tawa canggung. Mereka kembali ke kelas masing-masing, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, Rina tahu, percakapan tadi meninggalkan sesuatu yang sulit diabaikan. Dalam hati, ia berusaha menerima bahwa mungkin hubungan mereka akan tetap seperti ini—tanpa kepastian, tapi penuh harapan.
Di dalam kelas, selama pelajaran berlangsung, pikiran Rina tetap melayang-layang pada percakapan di kantin. Ia menghibur dirinya sendiri, meyakinkan bahwa apa pun yang terjadi, ia tetap beruntung memiliki Danu sebagai teman dekat. Meskipun ada perasaan tak terucap, persahabatan mereka tetaplah berharga.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Danu datang menghampiri Rina yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dengan senyum ragu, Danu berkata, “Eh, nanti sore kamu mau ke toko kaset, nggak? Aku dengar ada koleksi baru yang baru dateng.”
Rina menatap Danu, mencoba membaca maksud ajakan itu. “Hmm, boleh deh. Jam berapa?”
“Setelah jam lima, gimana? Sekalian ngobrol-ngobrol lagi, siapa tahu... ada yang perlu kita bahas,” ujar Danu sambil mengangkat bahu, mencoba terlihat santai.
Rina mengangguk. “Oke, nanti ketemu di depan toko.”
Sore itu, mereka bertemu lagi di depan toko kaset, seperti biasanya. Sembari memilih-milih kaset, mereka berbincang ringan tentang musik-musik favorit dan album yang baru rilis, seolah-olah percakapan di kantin tadi tak pernah terjadi. Namun, di balik tawa mereka, ada perasaan yang tak terungkap—sebuah pemahaman diam-diam bahwa mereka sama-sama berada di ambang perasaan yang mungkin akan mengubah segalanya, entah menjadi lebih baik atau lebih rumit.
Malam itu, saat Rina mendengarkan salah satu kaset yang dibeli dari toko, ia merenungkan semua yang telah terjadi. Ia menyadari satu hal: meskipun Danu mungkin belum bisa sepenuhnya jujur tentang perasaannya, Rina tetap merasa bersyukur. Persahabatan mereka adalah sesuatu yang berharga, dan ia tak akan pernah ingin kehilangan itu. Bagaimanapun, kaset-kaset yang mereka tukarkan selama ini bukan hanya sekadar musik, tapi kenangan manis yang akan selalu ia simpan.