Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Adelia
Seperti biasa, tiap pagi kami akan berkumpul dimeja makan untuk sarapan. Biasanya, kami memang tidak berbicara saat sarapan, kecuali setelah kami menyelesaikannya. Tapi kali ini, rasanya aneh, mungkin karena pada dasarnya kami memang saling mendiamkan satu sama lain.
Hana hanya berbicara pada Adelia dan sebaliknya, Adelia hanya mengajak ibunya saja berbicara. Sedang aku, hanya berbicara pada Lilian, karena hanya Lilian yang mau merespon pembicaraanku.
"Ehem," aku mencoba mencairkan suasana yang kurasa hening.
"Kenapa, Om? Om mau minum?." tanya Lilian yang sepertinya tidak peka akan maksud yang aku lakukan.
"Oh, tidak, Nak." sahutku menolak air yang ia berikan. Liliana menarik kembali tangannya dan meletakan kembalinya gelasnya diatas meja.
"Caper." itu suara Adelia, yang sepertinya ditujukan pada Liliana, hal itu berhasil membuat Liliana yang semula menatapku kembali tertunduk. Sedang Hana, ia hanya mengendikkan bahu seolah mengatakan, 'ini yang kamu mau, kan? Kamu sendiri yang membuat mereka tidak akur'.
Aku menelan ludah seolah tercekat. Sungguh, situasi ini benar-benar membuatku frustasi. Aku sadar, jika aku membela Liliana itu hanya akan membuat kemarahan Adelia semakin memuncak. Seperti kemarin, hampir saja aku menuduh Adelia jika tidak segera Liliana tahan, aku tidak tahu akan seperti apa jadinya.
Aku akui, sekarang mereka sedikit lebih hangat dibanding kemarin, meski perbandingannya hanya 50 banding 20%. Tapi tidak masalah, ini adalah resikonya, dan aku, aku hanya cukup mendengarkannya saja seperti saran yang telah diberikan oleh Bima.
"Oh, ya, ada yang ingin Papa bicarakan pada kalian semua." ucapku membuka pembicaraan, hal itu berhasil membuat Adelia dan Hana yang hendak beranjak pergi mengurungkan niatnya dan duduk kembali. Sementara Lilian ia kembali mengangkat kepalanya dan menatapku menunggu kalimat selanjutnya.
"Kita akan pindah sebentar lagi. Kabar baiknya papa sudah mendapatkan tempat tinggal baru." ucapku menatap Hana dan Adelia secara bergantian.
"Oh, baguslah." sahut Hana kemudian kembali terdiam. Sempat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Adelia mengatakan sesuatu.
"Lalu, ayo segera berkemas. Apalagi yang kita tunggu." sahut Adelia datar.
"Kita menunggu teman papa dulu. Bima, dia akan kesini membawa beberapa orang," ucapku dengan jeda, sengaja ingin melihat respon Adelia dan Hana saja. Benar saja, Adelia melirik ke arah ibunya dan sebaliknya, seolah mempertanyakan untuk apa menunggu mereka.
"Tentu saja untuk memindahkan barang-barang kita, semuanya." sahutku sedikit bersemangat.
"Jadi maksud papa, semua perabotan kita akan dibawa pindah juga, tidak disita?." tanya Liana kali ini.
"Tidak, Sayang." ungkapku. Aku melirik ke arahnya dan melihat ia sedikit senang akan hal itu. Oh, ayolah, aku semakin merasa bersalah karenanya.
"Syukurlah kalau begitu. Setidaknya kita masih memiliki apa-apa." tambah Hana. Akhirnya orang yang kami tunggu tiba juga, Bimo datang bersama beberapa orang untuk mengangkut perabotan yang kami punya ke atas truk yang sudah di sewakan.
"Lilian, Adelia, cepatlah berkemas. Jangan sampai ada yang ketinggalan." Iya, itu suara Hana. Akhirnya ia mau juga berbicara pada Liliana setelah ia mengacuhkannya beberapa hari, tapi aku memakluminya, ini semua salahku.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya semua barang kami berhasil dinaikkan ke atas truk. Aku menanyakan pada mereka apakah ada barang yang ketinggalan dan mereka mengatakan tidak ada yang tertinggal.
"Kita akan naik Mobil itu, Ma?." tanya Adelia ragu pada Hana.
"Maaf sayang." ucap Hana merangkul putrinya itu, sedang Liana kulihat ia pasrah saja.
Setelah berbincang pada Bimo dan membayar jasa para petugas akhirnya diputuskan jika Bimo mengikuti kami ke Desa dengan mengendari mobilnya sendiri. Untuk disana nanti, Bimo bilang, ia bisa meminta bantuan pada tukang disana.
Setelah Bimo beranjak, dan anak-anak sepertinya sedang menunggu giliran. Aku menghentikan Mobil di depan mereka dan meminta mereka untuk segera naik, meski awalnya kulihat raut wajah bingung di wajah Liana serta Adelia tapi akhirnya mereka menurut juga.
"Masih punya uang untuk sewa Mobil juga, Pa?" tanya Hana mulai melunak.
"Apa maksudmu?." tanyaku.
"Maksud Tante, apa Om masih punya uang untuk membayar sewa mobil ini?." itu suara Lilian, setelah terdiam cukup lama, akhirnya ia membuka suara. Oh, astaga. Polos sekali ia.
"Ah, tidak. Ini tidak disewakan. Ini memang Mobil kita." ungkapku beralih menatap wanita yang telah kunikahi itu. Awalnya Hana tampak terkejut, tapi setelah itu ia biasa saja.
"Syukurlah jika begitu." ucap Adelia seperti tadi.
"Apa kamu keberatan kita pindah ke Desa, Sayang?." tanyaku pada Adelia.
"Tentu saja," sahutnya dengan suara tegas.
"Awalnya. Aku tidak bisa menerima ini semua, karena aku harus merelakan banyak hal, teman-temanku, sahabatku, dan Sekolahku." tambahnya dengan suara lirih, seperti sedang meredam kekecewaan.
"Apakah termasuk Kenzie juga?." tanyaku menggodanya.
"Papa." sahutnya dengan wajah yang memerah.
"Siapa itu Kenzie?." kali ini Lilian yang bertanya.
"Apa itu sejenis makanan?." tanyanya lagi. Sedang hal itu berhasil membuat ia mendapatkan tatapan tajam dari Adelia sendiri.
"Maaf, kak Adelia." sahutnya sadar dan kembali menunduk.
"Huftt, kenapa kau sering sekali meminta maaf. Padahal aku bahkan tidak memarahimu." jelas Adelia bingung.
"Karena kurasa aku membuatmu kesal." jelasnya pelan hampir tidak terdengar. Karena malas, Adelia akhirnya memilih tidur dan mengenakan penutup mata agar bisa tidur. sementara aku melirik ke arah Hana yang juga tengah menatapku, kemudian mengendalikan bahu cuek.
___
Satu jam sudah kami lewati tanpa hambatan yang berarti dan sebentar lagi sepertinya kami sudah akan sampai. Sungguh menyetir selama hampir satu jam lebih itu melelahkan, mungkin karena selama ini aku tidak pernah menyetir sendiri, biasanya Erick selalu menyetir untukku, mungkin memang sesekali aku harus kelelahan juga.
"Oh, astaga. Maaf, aku ketiduran. Apa kita belum sampai?" tanya Hana mengejutkanku.
"Sebentar lagi." jawabku sambil fokus kedepan.
"Mari biarkan aku mengambil alih, kau istirahatlah." pinta Hana turun dari Mobil dan kami ganti posisi.
Adelia pun sepertinya sudah bangun, dan sekarang Lilianlah yang telah tertidur. Sedang Adelia kini sepertinya tengah asik mendengar lagu sambil mengenakan earphone yang terpasang ditelinganya.
"Apa kamu masih marah?." tanyaku pada Hana.
"Ya, tentu saja. Pertanyaan apa itu."
"Sudahlah, lupakan saja. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Kau mengganggu fokusku, Arsen." bantahnya tegas. Jika Hana mengatakan itu, artinya ia memang masih kesal, hanya saja sedikit lebih baik dibanding kemarin yang sama sekali ia tidak menjawab pembicaraanku.
Ya, tak mengapa. Setidaknya aku tidak berbicara sendiri lagi sekarang, dan Lilian pun kehadirannya sudah dianggap meski sesekali masih terlihat acuh, tapi aku tahu, sebentar lagi mereka akan semakin dekat. Ya, bagaimana pun kami adalah keluarga.
"Bagaimana Diana? Apa ia sudah ada kabar?." tanya Hana membuka pembicaraan. Aku tahu, ia pasti tidak tahan berdiam diri saja sedari tadi.
"Ya, ia masih tidak bisa dihubungi." balasku, aku menjadi cukup khawatir akan keadaannya sekarang.
"Oh, Tuhan. Semoga dia baik-baik saja. Dia memang sangat merepotkan," ucapnya lagi. Aku mengangguk setuju, sebab ia benar sekali. Diana selalu merepotkan, tapi aku tidak pernah mempermasalahkannya, karena setelah orangtua kami meninggal, aku tahu ia hanya punya aku sebagai tempat kembali.
Ia hanya salah jalan, dan aku selalu berharap ia selalu kembali mendapat peluang. Ia gadis yang manja, sebenarnya. Tapi setelah bercerai, Diana berubah. Kurasa ia mengalami trauma karena masa lalunya, aku sempat menyarankan agar ia ke psikiater. Tapi ia lebih keras kepala dibanding aku kakaknya.