Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pernikahan
Vincent menyuruh Pak Wahyu yang baru saja jadi saksi pernikahannya dengan Egi untuk menjemput Brie di rumah. Meski tidak ada pesta, tapi Vincent ingin merayakan pernikahannya dengan makan malam. Awalnya hanya berdua saja tetapi Brie menelpon dan ingin ke rumahnya.
Egi setuju-setuju saja, sebab ia merasa ini agak tidak benar. Rasanya aneh mendadak menikah dengan Vincent. Adanya Brie akan membuat rasa canggung di antara mereka sedikit berkurang.
"Beli baju dulu!" Vincent menarik Egi dan membawanya ke sebuah mal.
"Dokter!" Egi bersuara setelah sejak tadi dia diam. Vincent menoleh.
"Lain kali, tanyakan dulu apa aku bersedia atau tidak, jangan asal main ajak saja!"
Vincent mengerutkan bibirnya. "Oke, tapi kali ini aku maksa!"
Vincent menarik tangan Egi dalam gerakan normal, agar Egi merasakan bahwa dia tidak sekeras ucapannya dalam bertindak.
"Jangan disini belinya, Dokter!" Egi menahan tangan Vincent, saat melihat toko apa yang akan dia masuki. "Yang biasa-biasa saja, Dokter!"
"Yang lain bukan seleraku," jawa Vincent datar. "Seleraku selalu yang kelasnya tinggi," sambungnya dengan tatapan penuh makna ke arah Egi.
Seakan merasa Vincent sedang memuji, Egi menunduk. "Saya nggak kaya gitu, Dokter! Saya—"
Vincent memutus ucapan Egi dengan memeluk gadis itu. "Setelah jadi istriku, kamu akan jadi seperti apa yang wanita lain inginkan! Aku ingin semua wanita iri padamu!"
Di kepala Vincent jelas hanya ada Lana, wanita yang harus menangis darah melihat betapa Egi menjadi luar biasa ditangannya. Ia benci disia-siakan! Ia benci di duakan, bahkan bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Hanya setelah Oma pergi, Vincent bisa menceraikan Lana secara sah. Sebelumnya, dia hanya pria bodoh yang terlalu mencintai neneknya, sampai selalu patuh apa katanya.
Meski kehidupan percintaan pertamanya buruk, kini dia ingin menata cinta keduanya dengan baik dan benar.
"Katakan apa saja yang bikin kamu nggak nyaman, tapi jangan pernah larang aku buat manjain kamu! Anggap saja aku wujud doa orang tuamu yang sudah pergi, kita berdua sama-sama mengurus El sampai benar-benar sembuh!"
Kalimat Vincent untuk pertama kalinya mampu membuat Egi menangis dan memeluk pria itu erat.
"Kamu boleh nangis sekarang, nggak perlu sok kuat lagi, ada pelukanku, dan nggak perlu izin lagi buat lakuin itu!"
Egi tidak begitu mendengar apa yang Vincent katakan. Dia selalu begitu ketika orang tuanya disebut. Kadang Egi berpikir apa Tuhan begitu yakin dengan kekuatannya sehingga harus menghidupi adiknya yang masih bayi. Dia yang begitu muda saat ayah ibunya meninggal, dipaksa kuat oleh keadaan. Hinaan dan cacian adalah makanannya sehari-hari. Tidak ada saudara, kerabat, bahkan keluarga jauh pun satupun tidak ada yang mencari mereka.
Egi dan El hidup sendirian di kota besar, saling memberikan sandaran saat kesusahan.
"Udah, malu dilihat orang!" Vincent menepuk kepala Egi. "Dikira aku ngapa-ngapain kamu!"
Egi menjauh, lalu mengusap matanya yang sudah basah. "Makasih Dokter," ujarnya terbata.
Vincent mengusap kepala Egi, lalu membawa gadis itu ke official store merk tertentu yang menurut Vincent cocok untuk Egi.
...
Disisi lain, Lana menelan kekecewaan sebab Pak Wahyu yang datang ke rumah, bukan Vincent.
"Papanya mana, Pak?" tanya Nungki dengan muka kesal. "Udah berapa hari nggak ketemu anaknya kok malah nyuruh orang!"
"Mas Vincent ada urusan penting, Bu, tadi kata Brie nggak apa-apa dijemput sama saya." Pak Wahyu berkata sangat lugu dan sopan. "Ayo, Brie!" ajak Pak Wahyu kemudian. Ia jelas enggan berlama-lama di sini.
"Ada emang yang lebih penting dari anak?" Nungki mendumal, lalu menyuruh Lana ikut dengan sopir Vincent dengan gerakan mulut.
Lana mengerti, jadi ia ikut masuk ke mobil. "Saya antar saja, Pak, takutnya Brie kelamaan nanti nunggu Papanya selesai kerja. Pasti sepi di rumah Papanya, kan?"
Pak Wahyu tersenyum meski hatinya kalang kabut. "Duh, gimana nih ngabarin Mas Vincent-nya?"
Pak Wahyu sejenak memikirkan bagaimana memberitahu Vincent soal Lana yang ikut menemani Brie, menolak juga susah apalagi Lana sudah masuk dan duduk di mobil.
...
Egi sedang membeli es krim saat ponsel Vincent berbunyi. Sebuah pesan dari Pak Wahyu masuk, membuat Vincent mengerutkan kening.
Sejenak ia berpikir, lalu membalas pesan Pak Wahyu dengan ketikan cepat.
"Ajak Brie jalan-jalan dulu, Pak! Saya kirim uangnya lewat Bapak. Bilang saya ada operasi dadakan dan baru selesai nanti malam. Bawa Brie ke rumah sakit jam 7 malam, nanti kita ketemu disana."
Vincent terpaksa. Jangan sampai Lana tahu dimana ia tinggal.
Vincent melihat jam, tepat saat Egi selesai membeli es krim.
"Maaf kalau lama, Dok." Egi masih sopan kepada Vincent. Lagi pula, dia tidak bisa bersikap semaunya kepada pria berumur.
"Kita pulang dulu, ya!" Vincent memikirkan sesuatu. "Brie akan menyusul kita jam 7 malam."
Egi mengangguk sebagai jawaban. Pulang adalah ke apartemen yang Egi tempati selama beberapa bulan ini. Vincent sudah bilang sejak ia setuju menikah kemarin.
Lebih tepatnya ditodong untuk mau menikah dengan Vincent.
Satu jam itu Egi hanya mampu berkata; saya takut bernasib seperti Bu Lana.
Namun, Vincent segera menekannya dengan hutang yang pasti tidak bisa Egi bayar. Vincent sendiri tidak menjanjikan hidup yang sempurna. Selama Egi tidak melakukan apa yang Lana lakukan, semua akan baik-baik saja.
Egi tentu mengerti kenapa Vincent benci Lana setengah mati.
"Kamu tidak bertanya kenapa kita pulang dulu, sementara kita makan malam di sekitar sini?"
Egi menoleh lalu menggeleng. Dia sibuk menikmati es krim.
"Kamu nggak berpikir macam-macam?"
Lagi Egi menggeleng, tapi bibirnya berkata dengan begitu ringan. "Setelah menikah, pasti Dokter menginginkan malam pernikahan, kan?"
Vincent nyengir seraya menepuk kepalanya. Egi bisa menebaknya.
Tangan Vincent segera memutar kemudi ke arah hotel dimana dia akan makan malam nanti. Ke rumah itu terlalu lama.