Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBUKA HATI
Acara pernikahan Nadine berlangsung meriah. Tawa dan obrolan hangat memenuhi ruang acara, yang disulap dengan dekorasi elegan namun sederhana. Para tamu yang hadir adalah keluarga dekat dan teman-teman yang sudah lama tak bertemu, menjadikan hari itu juga sebagai ajang reuni untuk banyak orang, termasuk Annisa.
Annisa tampak anggun mengenakan kebaya pastel yang dipilihnya khusus untuk acara ini. Ia berjalan berkeliling, menyapa teman-teman lama yang sudah jarang ia temui sejak menikah dengan Damian. Sesekali ia berhenti, berbincang dan tertawa mengingat kenangan lama bersama sahabat-sahabatnya.
Damian, yang awalnya hanya berniat menemani Annisa tanpa banyak bersosialisasi, memutuskan untuk berdiri di pojokan ruangan sambil memperhatikan istrinya. Namun, sesuatu menarik perhatiannya ketika ia melihat seorang pria mendekati Annisa dengan senyum yang sangat akrab. Damian langsung mengenali wajah pria itu dari album foto yang dibuka Bunda semalam—Gio, mantan kekasih Annisa, sekaligus teman kecilnya sejak sekolah dasar.
Annisa tersenyum ramah saat Gio menghampiri. Mereka bersalaman dan mulai bercakap-cakap, mengenang masa lalu dengan nada ringan. Gio adalah sosok yang menyenangkan, membuat percakapan mengalir begitu saja.
“Annisa! Sudah lama sekali, ya. Aku bahkan hampir tak mengenalimu tadi,” ujar Gio, mengulas senyum lebar.
Annisa tertawa kecil. “Iya, sudah lama sekali. Rasanya baru kemarin kita main bola di lapangan SD. Gimana kabarmu?”
Gio mengangguk, matanya berbinar seakan tak percaya ia bisa bertemu Annisa lagi. “Baik, baik! Aku dengar kamu sudah menikah. Wah, aku harus mengucapkan selamat. Siapa yang sangka, Annisa kecil yang dulu selalu usil sekarang sudah jadi istri orang.”
Annisa tersenyum, sedikit terkejut dengan komentar Gio yang begitu terang-terangan. “Terima kasih, Gio. Ya, banyak hal yang berubah sejak saat itu. Aku senang kamu bisa hadir.”
Dari kejauhan, Damian mengamati percakapan mereka dengan wajah datar, tetapi di dalam hatinya terasa ada sedikit ketidaknyamanan. Meskipun ia tidak sepenuhnya terbuka dengan perasaannya pada Annisa, melihat istrinya berbicara begitu hangat dengan pria lain membuatnya merasa terganggu.
Tak lama kemudian, Gio melihat Damian yang berdiri agak jauh. Ia mengangguk ramah, dan Annisa menyadari Damian juga tengah memperhatikan mereka.
“Oh, itu suamimu, ya?” tanya Gio dengan nada hormat.
Annisa mengangguk sambil melirik Damian. “Iya, itu Mas Damian. Mungkin kau pernah dengar tentangnya.”
Gio hanya tersenyum simpul. “Iya, sepertinya aku sudah pernah dengar. Kalau begitu, aku tidak akan lama-lama mengganggu. Sekali lagi, selamat ya, Annisa. Semoga kamu bahagia.”
Annisa mengangguk, “Terima kasih, Gio. Senang bisa bertemu lagi.”
Gio pun melangkah pergi, memberikan kesempatan kepada Annisa untuk kembali ke Damian. Ketika Annisa menghampirinya, Damian menyapanya dengan nada biasa, tetapi Annisa bisa merasakan sedikit kekakuan darinya.
“Teman lama, ya?” tanya Damian datar.
Annisa mengangguk sambil tersenyum. “Iya, dia teman lama. Kami kenal sejak SD. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu.”
Damian hanya mengangguk tanpa komentar lebih lanjut, namun tatapan matanya terlihat lebih dalam dari biasanya. Ia tidak berkata banyak, tapi Annisa tahu, ada sesuatu yang ia rasakan dalam diamnya.
Annisa mengamati Damian yang tampak sedikit termenung, mungkin masih terpengaruh oleh percakapan singkatnya dengan Gio. Ia memutuskan untuk sedikit mencairkan suasana.
“Mas, kamu mau makan apa?” tanya Annisa lembut, sambil menatap Damian dengan senyum hangat. “Aku bisa ambilkan untukmu.”
Damian mengangkat kepalanya, memperhatikan Annisa sejenak sebelum menjawab, “Terserah saja.”
Annisa tersenyum tipis, merasa ada sedikit celah untuk membuat suasana menjadi lebih nyaman. Ia lalu melangkah menuju meja prasmanan dan mulai memilih beberapa hidangan yang ia tahu Damian mungkin akan suka. Mulai dari sate ayam, beberapa potong rendang, sayur asam, dan sedikit salad segar untuk mengimbangi rasa berat dari hidangan daging.
Sambil meletakkan piring demi piring di nampan, Annisa bergumam pada dirinya sendiri, “Hmm, aku ambil yang ini, dia pasti suka. Oh, dan ini juga. Dia pernah bilang suka sate, kan?” Ia tersenyum sendiri, menikmati momen kecil ini—memilih makanan untuk suaminya.
Setelah beberapa menit, Annisa kembali membawa nampan dengan piring yang penuh berbagai macam makanan. Ia meletakkannya di depan Damian dengan hati-hati. “Nih, Mas, coba semuanya. Aku ambilkan beberapa macam biar kamu bisa coba-coba,” katanya penuh perhatian.
Damian melihat piring yang berjejer di hadapannya, dan tanpa sadar sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Kamu benar-benar tahu seleraku, ya,” ucapnya pelan, sedikit mengendurkan nada dinginnya.
Annisa hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu duduk di sebelahnya, mempersilakan Damian untuk menikmati makanan itu. Sesekali ia menunggu reaksi Damian pada beberapa makanan yang ia pilihkan. Ketika Damian mencicipi sate ayam, ia mengangguk kecil, seolah mengakui bahwa pilihannya memang enak.
“Gimana? Suka?” tanya Annisa pelan, merasa lega melihat Damian tampak lebih tenang.
Damian mengangguk sambil terus menikmati makanannya. “Enak, Nis. Terima kasih.” Sesaat ia memandang Annisa, sedikit lebih lembut dari biasanya.
Annisa merasa ada kehangatan yang perlahan muncul di antara mereka. Ia senang melihat Damian menikmati hidangannya, dan meskipun tak diucapkan, ada rasa syukur dalam hatinya bahwa suaminya akhirnya mau menikmati momen ini bersama.
Sejak ia jatuh sakit beberapa hari yang lalu, Damian menyadari bahwa perasaannya terhadap Annisa perlahan mulai berubah. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit melunak setiap kali melihat Annisa. Mungkin karena diam-diam ia mulai menghargai kehadiran dan pengorbanan perempuan itu, meski selama ini ia jarang mengakui hal tersebut, bahkan pada dirinya sendiri.
•••
Sorenya, setelah acara pernikahan Nadine, Damian duduk sendirian di beranda rumah, merenung. Ia teringat bagaimana Annisa tanpa lelah selalu ada di sisinya—mulai dari mengurus Clara, menyiapkan keperluannya, hingga sekarang, ketika Annisa bahkan berinisiatif untuk menjaga suasana hati Damian tetap baik di tengah acara keluarga.
Saat itu, Annisa muncul, membawakan secangkir teh hangat untuknya. “Mas, ini tehnya,” katanya lembut sambil menaruh cangkir di meja. Annisa kemudian duduk di sebelahnya, memandangi langit sore yang mulai beranjak senja.
Damian menatap cangkir itu sejenak, lalu menoleh pada Annisa. “Kenapa kamu selalu melakukan ini, Nis?” tanyanya tiba-tiba. Suaranya rendah, namun ada nada serius di dalamnya.
Annisa menoleh, agak terkejut. “Maksud Mas?” tanyanya, bingung.
“Berusaha keras... untuk semuanya. Untuk Clara, untuk aku…” Damian menghela napas. “Bukankah berat buatmu?”
Annisa tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Mungkin memang berat, Mas. Tapi... aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjaga keluarga ini. Mbak Arum sudah menitipkan Clara dan Mas kepada saya. Dan lagipula...” Annisa terdiam sejenak, lalu menunduk. “Mungkin ini caraku menunjukkan rasa sayang.”
Damian terdiam mendengar jawabannya. Jantungnya berdegup tak menentu, tetapi ia berusaha menahan ekspresinya tetap tenang. Entah kenapa kata-kata itu terasa begitu dalam baginya, seolah menyentuh sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.
“Makasih, Nis,” ucapnya lirih, mencoba mengalihkan perhatian.
Annisa tersenyum lembut, merasa sedikit lega dan bahagia mendengar ucapan itu. “Iya, Mas. Selama ini aku hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita.”
Tanpa disadari, Damian mulai melihat Annisa bukan hanya sebagai istri pengganti, tapi sebagai seseorang yang begitu tulus hadir untuknya. Entah kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi di saat itu, ia mulai menyadari bahwa mungkin ia benar-benar membutuhkan Annisa.