Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22: New Dawn
Pagi hari di Camp Arcadia terasa berbeda. Cahaya matahari menembus celah-celah dinding kayu, memantulkan sinar ke wajah-wajah penduduk yang kini tampak penuh harapan. Setelah malam penuh kemenangan, suasana camp yang sebelumnya suram berubah menjadi lebih hidup. Tawa anak-anak terdengar samar di kejauhan, dan aroma sisa api unggun masih terasa di udara.
Di depan gerbang kayu besar yang menghadap ke hutan, Wira dan teman-temannya berdiri, siap untuk melanjutkan perjalanan. Di hadapan mereka, Pak Ronald, Silvana, dan beberapa orang dari camp berdiri, tampak enggan melepas tamu-tamu mereka.
Pak Ronald, dengan tongkat kayunya, membuka pembicaraan. “Tuan-tuan dan nona-nona… saya, kami semua, berutang budi pada kalian. Camp ini… bukan lagi tempat penuh keputusasaan. Kalian membawa cahaya ke dalam gelap kami, dan untuk itu, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.”
Semua orang di camp menunduk hormat secara serentak, sebuah pemandangan yang membuat Nora tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Pak. Itu hal yang wajar. Kami hanya melakukan apa yang bisa kami lakukan.”
Wira mengangguk ringan. “Terima kasih atas tumpangannya, Pak Ronald. Kami senang bisa membantu. Tapi kami harus melanjutkan perjalanan.”
Ronald memandang mereka dengan raut wajah serius namun bersahabat. “Semoga Tuhan memberkati kalian, melindungi langkah kalian, dan memberikan kekuatan untuk melewati apa yang ada di depan.”
Silvana, yang berdiri di samping Ronald, menatap Wira dengan senyuman samar. “Dan kau, Tuan Alain Delon, jangan lupa janji kita.”
Wira tertawa kecil. “Tentu. Jangan sampai kau lupa, Sil.”
Flora, yang berdiri di samping Wira, tampak bingung. “Janji apa?” tanyanya.
Silvana menjawab ringan, “Itu rahasia kami. Cuma aku dan Tuan Alain yang tahu.”
Flora hanya mendengus, sementara Wira melambaikan tangan, mencoba mengakhiri percakapan itu.
Pak Ronald beralih menatap Farah. “Hei, Nona Farah… kalau kau mau, kau dan ayahmu bisa tinggal di sini. Camp ini mungkin di tengah hutan, tetapi aman, terutama sekarang. Kami akan melindungi kalian.”
Farah menunduk sejenak, tampak berpikir, lalu menarik baju ayahnya. “Ayah… sepertinya tempat ini aman. Aku ingin kita tinggal di sini.”
Pak Rama tersenyum lembut, mengusap kepala Farah. “Kalau begitu, aku akan mengantar mereka dulu, Sayang. Setelah itu, kita akan kembali ke sini.”
Nora memandang Pak Rama. “Apakah jembatan itu masih jauh?”
Pak Rama mengangguk. “Tidak jauh. Kita hanya perlu berjalan sekitar tiga jam. Jembatan itu akan langsung mengantar kalian ke pinggiran Kota Cakra.”
Wira mengangkat tasnya dan berkata dengan suara tegas, “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga kalian semua sehat dan sejahtera di sini.”
Semua orang di camp melambaikan tangan, mengiringi langkah Wira dan timnya keluar dari gerbang kayu besar itu. Anak-anak camp terlihat berlari kecil di belakang orang tua mereka, melambaikan tangan sambil berteriak, “Terima kasih! Hati-hati!”
Silvana, yang masih berdiri di samping Ronald, berteriak ke arah Wira. “Hei, Tuan Alain, ingat: jika kau gagal, aku akan mengambil alih tugasmu!”
Wira berhenti sejenak, menoleh dengan senyum tipis. “Aku tidak akan gagal, Sil. Pastikan kau menjaga camp ini dengan baik.”
Dengan langkah mantap, Wira dan teman-temannya menghilang di antara pepohonan, meninggalkan Camp Arcadia yang kini dipenuhi semangat baru.
Camp Arcadia tidak lagi sekadar tempat perlindungan. Itu telah menjadi simbol harapan, dan Wira adalah nyala api yang telah menyalakannya.
Setelah berjalan selama beberapa jam, akhirnya mereka tiba di jembatan setapak yang menggantung di atas Sungai Serayu. Air sungai di bawahnya mengalir deras, memantulkan cahaya matahari yang mulai meninggi. Jembatan itu terlihat tua tetapi kokoh, dengan papan-papan kayu yang sudah mulai aus di beberapa tempat. Pak Rama berhenti, memandang sekeliling sebelum berkata, “Baiklah, saya hanya bisa mengantar kalian sampai sini. Di seberang sana, kalian akan mencapai pinggiran Kota Cakra.”
Rizki yang sudah pernah memeriksa jalur menoleh ke arah Rama. “Jadi kita tidak perlu melewati Kota Mandala?” tanyanya, memastikan informasi yang ia peroleh sebelumnya.
Pak Rama mengangguk sambil tersenyum tipis. “Ya, itu benar. Dengan menyeberangi jembatan ini, kalian langsung menuju pinggiran Kota Cakra tanpa harus melalui Mandala.”
Nora melangkah maju, menatap Rama dan Farah dengan wajah tenang tetapi penuh kehangatan. “Semoga kalian baik-baik saja di sana. Terima kasih atas semua bantuan kalian.”
Flora, dengan senyum cerah yang khas, menambahkan, “Pak Rama, Farah, berbahagialah di Camp Arcadia, ya. Kalian pantas mendapatkan kedamaian.”
Meyrin, yang berdiri sedikit di belakang, tampak ragu untuk berbicara. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri, suaranya pelan dan sedikit gemetar. “A-anu… Farah, Pak Rama, sehat-sehat selalu, ya. Aku... aku akan merindukan kalian.”
Farah yang berdiri di samping ayahnya tersenyum lembut. “Aku juga akan merindukanmu, Meyrin. Semoga perjalanan kalian lancar.”
Rizki dan Bima tidak berkata banyak, tetapi mereka tersenyum, memberikan anggukan hormat kepada Rama dan Farah. Bima bahkan menepuk pundak Pak Rama ringan, sementara Rizki mengangkat tangan, memberikan salam.
Kini giliran Wira melangkah maju. Wajahnya setengah tersenyum, tetapi pandangan matanya tajam dan serius. “Pak Rama, jagalah Camp Arcadia baik-baik. Pastikan tempat itu tetap menjadi tempat perlindungan yang aman untuk semua orang di sana. Dan…” Wira menambahkan dengan nada yang lebih pelan, “...jagalah mereka dari ‘monster’.”
Pak Rama menatap Wira, memahami arti di balik kata-katanya. Dengan nada yang dalam, ia menjawab, “Tentu saja, Tuan Wira. Saya akan mengusahakannya sebaik mungkin.”
Wira mengangguk singkat. Ia berbalik menghadap ke jembatan, tetapi sebelum melangkah, ia berkata, “Baiklah... sampai sini saja. Selamat tinggal.”
Rama menundukkan kepala sebagai tanda hormat, diikuti oleh Farah yang melambaikan tangan kecilnya ke arah mereka semua. Wira dan timnya pun mulai menyeberangi jembatan setapak itu, meninggalkan Rama dan Farah berdiri di tepi hutan.
Di tengah jembatan, Nora sempat berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Ia melihat Farah berdiri sambil menggenggam tangan ayahnya erat. Meyrin yang berada di samping Nora melambai kecil dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Flora memecah keheningan dengan suara cerianya. “Ayo, kita harus terus berjalan! Masih banyak petualangan di depan!”
Wira melirik Flora dan tersenyum tipis. “Ya, benar. Kita punya misi yang harus diselesaikan.”
Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan, menyeberangi jembatan yang menjadi batas antara hutan dan kota. Di belakang mereka, Farah dan Pak Rama terus memandangi sampai bayangan mereka menghilang di kejauhan. Di sana, di tepi hutan, harapan baru untuk Camp Arcadia tetap menyala.
Jembatan itu tidak hanya menjadi penghubung antara dua kota, tetapi juga simbol dari perpisahan yang penuh makna, meninggalkan kenangan, harapan, dan janji untuk masa depan yang lebih baik.
Setelah berjalan selama beberapa jam, akhirnya mereka tiba di tepian Kota Cakra. Kota itu tampak sunyi, hampir seperti kota mati, dengan gedung-gedung yang runtuh dan jalan-jalan yang dipenuhi puing-puing. Mereka terus berjalan lurus, mengikuti jalan raya utama, tanpa petunjuk pasti arah mana yang harus mereka tuju.
“Ini lebih lama dari yang kita kira,” keluh Rizki, menatap jalanan yang tampak tak berujung.
Flora mencoba menceriakan suasana dengan senyumannya. “Tidak apa-apa, kan? Kita nikmati saja perjalanan ini.”
Nora, yang berjalan di belakang Flora, memeriksa tas perbekalan mereka. “Flora, apakah kita punya cukup makanan untuk perjalanan ini?”
“Tentu,” jawab Flora ceria. “Cukup untuk hari ini, jadi jangan khawatir.”
Nora lalu menoleh ke Rizki. “Rizki, ke mana arah Camp Raflesia menurutmu?”
Rizki mengangkat bahu, tampak bingung. “Aku... aku tidak tahu. Kita hanya berjalan lurus karena tidak ada petunjuk lain.”
Wira, yang berjalan paling depan, berhenti sejenak dan menghela napas panjang. “Yah, tentu saja. Kita berada di jalur yang belum pernah kita lewati sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain terus maju.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang sedikit berat. Flora memperhatikan reruntuhan gedung di kiri dan kanan jalan, matanya memandang kosong ke arah sisa-sisa kehancuran. Tapi kemudian, Wira melihat sesuatu di kejauhan, sebuah plang kayu kecil yang tergantung miring di sebuah tiang besi.
Ia berhenti dan menunjuk. “Di sana... sepertinya ada sebuah camp. Ayo kita periksa.”
Mereka mendekati camp yang tampak mencurigakan. Gerbang kayunya terbuka lebar tanpa penjagaan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi jejak kaki di tanah menunjukkan bahwa tempat ini belum lama digunakan.
Begitu mereka memasuki camp, pemandangan yang menyambut mereka membuat langkah mereka terhenti.
“Ini... neraka...” gumam Wira, matanya membelalak.
Flora terkejut hingga menutup mulutnya dengan kedua tangan, sementara Meyrin segera bersembunyi di belakang Bima, gemetar ketakutan.
Camp itu penuh dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Darah mengering di mana-mana, dan bau busuk menyengat hidung mereka.
Wira berjalan perlahan, mengamati sekitar dengan mata yang tajam. “Ini pembantaian,” ujarnya pelan. “Tapi... apakah ini serangan Ruo?”
Bima memeriksa salah satu mayat yang tergeletak tak jauh darinya. “Jika ini serangan Ruo, kenapa mereka tidak diubah menjadi Ruo?” tanyanya dengan alis berkerut.
Nora mendekati salah satu tubuh, memeriksa luka-lukanya dengan hati-hati. “Tidak ada luka tembak di sini,” katanya. “Hanya ada bekas hantaman keras dan... tusukan aneh.”
Wira berjalan mendekat. “Tusukan aneh?”
Nora menunjuk salah satu luka. “Lihat ini. Tusukannya terlalu besar untuk pisau, bahkan pedang. Ini seperti bukan luka yang dihasilkan benda tajam.”
Pikiran Wira melayang ke masa lalu, mengingat pertemuannya pertama kali dengan monster di kapal evakuasi. Bayangan itu terasa begitu nyata di benaknya.
“Gougorr…?” gumamnya pelan.
Flora yang mendengar itu langsung menoleh. “Kenapa kau berpikir ini ulah Gougorr?”
Wira menghela napas panjang. “Karena saat pertama kali aku diserang, aku melihat sesuatu... sesuatu yang bukan Ruo biasa. Itu adalah monster yang menusuk manusia dengan cara brutal. Darah muncrat ke mana-mana, dan wujudnya... lebih seperti binatang buas daripada makhluk logam seperti Ruo.”
Flora tampak bingung. “Apakah itu benar-benar Gougorr?”
“Aku tidak tahu,” jawab Wira jujur. “Tapi ini jelas berbeda. Kita perlu mencari tahu lebih banyak.”
Mereka memutuskan untuk memeriksa lebih dalam. Dengan hati-hati, mereka membagi diri menjadi dua kelompok: Wira bersama Rizki dan Nora, sementara Bima bersama Flora dan Meyrin.
Kelompok Wira memasuki sebuah bangunan besar yang tampaknya dulunya digunakan sebagai gudang penyimpanan. Tempat itu gelap, dingin, dan hampir kosong. Wira melangkah menjauh dari Rizki dan Nora, memasuki lorong sempit di ujung gudang.
Di sana, ia menemukan sosok seorang wanita yang telah mati, bersandar di dinding dengan posisi memeluk sesuatu. Wira mendekat, penasaran, dan saat ia melihat lebih dekat, matanya membelalak.
“Bayi..?” gumamnya.
Wanita itu ternyata memeluk seorang bayi yang masih hidup, meskipun lemah dan hampir tak bersuara. Bayi itu bahkan tidak menangis, hanya menatap Wira dengan mata polosnya.
Tatapan Wira menjadi dingin. Ia mengangkat bayi itu perlahan, menatapnya dalam diam. “Apakah kau manusia?” bisiknya pelan.
Tangannya perlahan meraih pistol di pinggangnya. Ia mengarahkannya ke kepala bayi itu, rahangnya mengatup erat. “Maafkan aku adik kecil...”
Tiba-tiba, suara Nora memanggil dari kejauhan. “Wira! Apa yang kau temukan?”
Wira segera memasukkan kembali pistolnya ke saku. Ia berbalik dengan bayi itu di tangannya. “Aku menemukan bayi ini. Tapi dia... dia tidak menangis.”
Nora segera mendekat dengan cemas, mengambil bayi itu dari tangan Wira. “Syukurlah dia masih hidup,” katanya sambil memeriksa tubuh kecil itu.
“Benar,” ujar Wira, tetapi ekspresinya tetap tegang. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya, menyebabkan Nora terkejut.
“Wira! Apa yang kau lakukan?” serunya.
“Aku harus memastikan sesuatu,” jawab Wira dengan nada serius. Ia membuat sayatan kecil di lengan bayi itu. Luka itu berdarah, tetapi tidak sembuh dengan sendirinya. Beberapa saat kemudian, bayi itu mulai menangis.
Nora menghela napas lega. “Dia manusia. Syukurlah...”
Wira mengangguk, menyerahkan bayi itu kembali kepada Nora. “Kita bawa dia. Jika dia selamat sejauh ini, dia pasti kuat.”
Nora memeluk bayi itu erat. “Jangan khawatir, nak. Kami akan melindungimu.”
Wira menatap sekeliling camp yang penuh dengan kehancuran. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya seberapa besar ancaman yang sedang mereka hadapi, dan berapa lama lagi mereka bisa bertahan.
Wira, Nora, dan Rizki keluar dari bangunan tempat mereka menyelidiki, berjalan menuju titik kumpul. Dari kejauhan, Rizki memperhatikan sesuatu yang tidak biasa.
“Wira, lihat itu!” katanya sambil menunjuk ke arah kelompok mereka.
Jarak beberapa meter dari mereka, terlihat Bima, Flora, dan Meyrin dikelilingi oleh lima orang berseragam lengkap, masing-masing menodongkan senjata.
Wira langsung mempercepat langkahnya, wajahnya menunjukkan rasa waspada. “Kalian! Kenapa kalian menangkap mereka?” serunya lantang.
Salah satu tentara, pria bertubuh kekar dengan wajah serius, menatap Wira tajam. “Kami sedang memeriksa camp ini. Kalian ditemukan di lokasi, maka kalian juga harus diperiksa.”
Wira menghela napas panjang. “Sialan, ini merepotkan,” gumamnya pelan.
Tentara itu melanjutkan, suaranya tegas tetapi tidak memusuhi. “Mohon kerjasamanya. Situasi saat ini sedang kacau. Kami hanya melaksanakan tugas kami untuk memastikan keamanan.”
Wira memandang tentara itu dengan tajam, tetapi ia tahu perlawanan bukan pilihan bijak. “Baiklah,” katanya singkat.
Satu per satu, mereka semua diperiksa. Para tentara menggunakan jarum kecil untuk membuat tusukan di kulit mereka, memastikan tidak ada regenerasi. Wira, meskipun mencoba tetap tenang, merasa lega dalam hati.
“Untunglah Farah tidak ikut. Jika dia ada di sini, kita pasti sudah celaka,” pikirnya sambil melirik teman-temannya.
Setelah pemeriksaan selesai, seorang tentara memberikan perintah kepada rekannya. “Baik, bawa mereka ke kendaraan. Kita akan membawanya ke camp.”
“Ke camp mana, pak?” tanya Rizki saat mereka diangkut ke dalam kendaraan lapis baja yang besar dan kokoh.
Tentara yang duduk di dekat mereka menjawab dengan nada datar. “Kalian akan diungsikan ke Camp Raflesia.”
Mendengar itu, Rizki langsung tampak antusias. “Kebetulan sekali! Kami memang sedang menuju ke sana.”
Tentara itu memandang mereka sejenak, matanya menyipit penuh evaluasi. “Benarkah? Lalu apa rencana kalian menuju ke sana?”
Nora, dengan tenang, menjawab, “Kami hanya mencari tempat yang lebih aman untuk bertahan, Pak.”
Namun, salah satu tentara di depan tiba-tiba mengangkat sesuatu dari tas mereka. Itu adalah granat kriogenik. Ia memegangnya dengan tatapan heran. “Lalu kenapa kalian punya granat ini? Dan... kenapa granat ini dingin sekali?”
Nora membuka mulut hendak menjawab, tetapi Wira segera menyela dengan nada santai tetapi tegas. “Kami menemukannya di camp yang tadi kami periksa. Situasi saat ini terlalu berbahaya, jadi kupikir semakin banyak senjata, semakin besar peluang kami untuk bertahan.”
Tentara itu memandang Wira, tampak mempertimbangkan jawabannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengangguk dan memasukkan kembali granat itu ke dalam tas.
Wira menghela napas lega dalam hati. “Kelemahan Ruo tidak boleh bocor, belum saatnya,” pikirnya.
“Baiklah,” kata tentara itu. “Tapi kalian tetap akan diperiksa lebih lanjut di Camp Raflesia.”
Tidak ada yang menjawab. Wira dan teman-temannya hanya bertukar pandang singkat. Dengan sedikit keberuntungan, mereka akhirnya akan tiba di tempat tujuan mereka, meskipun di bawah pengawasan ketat para tentara.
Di dalam kendaraan, perjalanan terasa panjang dan penuh ketegangan. Wira duduk bersandar, matanya menatap jauh ke luar jendela. Ia tidak menunjukkan rasa panik, tetapi pikirannya terus berpacu.
“Camp Raflesia... apa yang menunggu kita di sana?” gumamnya dalam hati.