Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK BERDAYA
“Dikamar terus, nggak mau keluar?”
Reno sudah berdiri didepan pintu balkon kamar Marsha, sesuai janjinya ia datang begitu kerjaannya selesai. Marsha menghela napas sesaat lalu menggeleng lemah tanpa mengalihkan pandangannya pada kanvas lukisan didepannya.
Reno melirik cheesecake yang ia titipkan pada Nadia tadi pagi telah menjadi objek lukisan Marsha sekarang. “Cheesecake sebesar itu, kok cuma sepotong dimakannya. Kamu udah nggak suka cheesecake lagi?”
Marsha menoleh kearah Reno sekilas sambil melirik jam dinding yang berada di kamarnya, belum terlalu sore. “Kakak benar-benar dari kantor?” tanyanya mengabaikan Reno perkara cheesecake.
“Iya,” jawab Reno ragu, ia bingung dengan pertanyaannya Marsha.
“Kenapa kakak berantakan banget? kusut kaya pakaian belum diseterika. Kayak orang stres seperti bukan dari kantor.” Marsha kembali fokus pada kanvas didepannya setelah bertanya dan berkomentar.
Seketika Reno langsung menunduk mematut dirinya, ia pun menghela napas berat. Penampilannya memang terlihat kacau, kemeja yang keluar dari celananya, kancing kerah yang terbuka dengan dasi yang longgar serta rambutnya yang juga tidak rapi seperti biasanya. Reno mengusap wajahnya berusaha untuk tenang dan mengembalikan kewarasannya.
Selesai dari rapat direksi Reno melampiaskan semua kekesalannya dan ketidakberdayaannya atas masalah yang menimpa Marsha dan dirinya. Ia tidak rela melepaskan Marsha, namun ia juga tidak bisa melakukan apapun untuk mempertahankannya. Reno benar-benar frustrasi. Ia bahkan tidak konsentrasi saat rapat tadi pagi dan selalu saja di tegur oleh Candra.
Marsha mengehentikan kegiatan melukisnya, lalu ia berdiri menatap Reno dengan wajah datar namun menelisik dan Reno pun bingung dengan tatapan itu. Tanpa berkata apa-apa Marsha melewati Reno, berlalu pergi menutup pintu kamar dan menguncinya. Reno hanya mengernyit tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Marsha.
Marsha kembali berjalan kearah Reno lalu menarik Reno untuk duduk diatas sofa yang berada didalam kamarnya. Reno hanya menurut dengan diam, Marsha pun duduk disebelahnya. Reno memiringkan posisi duduknya agar mereka saling berhadapan. Marsha tersenyum tipis, ia kini memperhatikan setiap seluk wajah Reno dengan tatapan sendu. Reno yang selalu rapi, selalu mempesona, selalu tersenyum memberikan aura positif dan bahagia sekarang terlihat bukan seperti dirinya.
“Kakak kenapa tadi malam nggak ada?” Marsha mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Reno dengan jarinya. Reno hanya diam membiarkan tangan Marsha menyentuh rambutnya lembut. Reno yang selalu penuh perhatian padanya, selalu ada untuknya sekarang tidak nampak seperti biasanya.
“Kakak tahu nggak apa yang sudah direncanakan untuk Marsha? Apa yang sudah mereka paksakan untuk Marsha? Mereka mendorong Marsha untuk keuntungan mereka mengabaikan kehidupan Marsha.” kini tangan Marsha mengelus-elus pelan bagian lengan kemeja Reno yang bermaksud merapikan kemejanya yang kusut, Marsha membiarkan dasinya tetap terpasang longgar, ia hanya merapikannya sedikit. Matanya menatap dalam Reno tidak ada semangat ataupun gairah kehidupan dalam sorot matanya selain kesenduan, sama seperti dirinya.
Reno bergeming, kini tangan Marsha sudah kembali ke pangkuannya. Sebenarnya ia sudah menebak Reno sengaja tidak turut hadir tadi malam karena tidak akan bisa melakukan apapun untuknya. Mungkin melihat dirinya tersakiti dan menangis akan membuat Reno semakin tidak sanggup melihatnya.
“Maafkan kakak nggak bisa bantu kamu kali ini,” ucapan Reno semakin membuat Marsha kecewa dan sakit. Marsha menggigit bibirnya kuat menahan tangisnya.
“Kak, Marsha maunya sama kamu bukan orang lain.” Reno hanya diam menatap wajah kecewa Marsha, matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan tangis. “Kakak yang bilang mau nikahi Marsha, kenapa sekarang kakak mau lepaskan Marsha begitu aja!?” Marsha tidak terima Reno langsung menyerah begitu saja. Matanya pun mulai menitikkan airmata, dengan cepat ia menepisnya.
Reno hanya diam bahkan ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia juga sebenarnya tidak ingin tapi keadaan juga membuatnya tak berdaya.
“Kakak sebenarnya cinta aku nggak sih!?” Reno menatap manik mata Marsha yang yang terus mengeluarkan buliran air matanya, tangannya terulur menggenggam tangan Marsha, lalu menciuminya.
“Cinta. Aku cinta kamu Sha.” ucapnya lembut dan tegas, genggamannya semakin erat membuat Marsha sedikit merasa sakit.
“Kamu tahu Sha, kakak benar-benar tidak bisa melakukan apapun sekarang. Mama kamu pasti sudah jelaskan alasannya kan.” Marsha bergeming, “Semua masa depan keluarga kita ada sama kamu, Sha.” Marsha mengernyit, ia tidak suka semua orang mengatakan itu padanya.
“Kak, ayo kita nikah lari.” ajak Marsha asal, walau sebenarnya ia juga ragu dan bingung. Tidak begitu yakin mampu melakukannya.
Reno mengelus lembut dan pelan pada dahi Marsha, seolah-olah agar kewarasan Marsha kembali. “Kamu mau kita dimusuhi keluarga sendiri?”
“Kakak mau ikut jual Marsha demi perusahaan juga?” Reno terdiam, ia semakin menatap lekat Marsha, tangannya menangkup wajah cinta pertamanya ini dengan lembut.
“Enggak.” jawabnya tegas. “Please Sha, jangan kamu berpikir seperti itu. Ini murni demi kamu Sha, kakak nggak mau kamu menjalani hidup susah. Tidak ada lagi cara lain, semua benar-benar diambang batas perusahaan. Kakak sudah cek semuanya, kakak sudah pastikan kita hanya butuh bantuan itu yang hanya ada darinya.” Reno mengecup puncak kepala Marsha dengan lembut. “Kakak juga sakit Sha, sangat.” ucap Reno dengan suara serak,
Marsha bergeming, “Pasti ada cara lain kak,” ia masih berharap. “Marsha nggak apa-apa kalau harus berjuang dari bawah sama-sama, Kak.”
Reno menghela napas berat, ia ingin sekali mengiyakan ajakan Marsha, mengabaikan keluarganya, mencoba tidak peduli. Masalahnya adalah Marsha yang masih harus melanjutkan sekolahnya, meneruskan cita-citanya yang Reno sangat tahu bagaimana ia merancangnya dengan bahagia. Ia ingat sekali setiap Marsha menceritakan masa depan yang ia harapkan. Reno tidak akan membiarkan masa depan Marsha terancam.
“Kakak tidak meragukan itu, kakak percaya sama kamu. Masalahnya bukan hanya disana, kamu masih sekolah Sha, kakak nggak mau kamu putus sekolah, kamu harus tetap melanjutkan cita-cita kamu.”
“Masa depan Marsha itu kamu, Kak!” Marsha meneteskan air matanya lagi, belum hilang sembab diwajahnya menangis semalaman, kini ia kembali menangisi dirinya kembali. Reno tercekat, napasnya terasa sesak. Pelan dan lembut ia menghapus air mata di wajah Marsha, sakit, sangat sakit ia melihatnya.
Reno memeluk Marsha erat, “Jangan nangis Sha, please.” pintanya memohon dengan suara serak, namun Marsha semakin menangis dalam pelukan Reno. Mereka yang tidak pernah merasakan sakit hati, kini sama-sama merasakannya. Begini ya rasanya, sesak, sangat sakit tapi tidak bisa disentuh untuk di obati.
“Kita pasti bisa melewatinya, Sha.” bisik Reno
Marsha melepaskan pelukannya, “Dengan mengorbankan perasaan kita?” Marsha tidak percaya Reno merelakannya begitu saja. “Kalau Maya bisa pergi kenapa kita enggak?” Marsha masih saja berusaha, tidak ada lagi embel-embel ‘Kak’ untuk Maya, itu membuktikan betapa bencinya Marsha pada kakaknya itu.
“Dan kamu lihat hasil dari perbuatan Maya? Kamu jadi korbannya.” Reno kembali menghapus air mata Marsha, membelai wajahnya lembut namun terlihat tatapan benci dan kecewa saat Reno mengucapkannya. Marsha sadar mungkin Reno sama bencinya dengan dirinya terhadap Maya, mereka sama-sama terluka karena ulah kakaknya itu.
“Jangan menambahkan orang untuk disakiti Sha, cukup kita aja.” Reno menatap sayu kearah Marsha, tangannya masih setia menggenggam tangan Marsha. “Kita juga nggak boleh egois, Sha. Keluarga kita benar-benar berharap dengan kesediaan kamu. Walau berlandaskan bisnis tapi kakak tahu Papa dan Mama kamu tidak akan sembarangan memilihkan calon suami untuk anak-anaknya, terutama kamu.”
***