Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Sang Penyelamat
Dengan air mata yang terus bercucuran, Anja berjalan terseok-seok tak tentu arah. Entah sudah berapa lama ia berjalan dan ada dimana dirinya saat ini, ia tak tahu. Yang jelas, Anja hanya ingin pergi sejauh-jauhnya, meski ke ujung bumi sekalipun.
Hingga pada suatu waktu, kaki Anja tersandung batu jalanan. Tubuh wanita itu terhuyung ke depan. Anja memejamkan mata, sudah pasrah jika jatuh. Tapi tanpa diduga, sebuah tangan besar dengan sigap menangkapnya.
Anja mendongak, dan saat itu wajah Nathan adalah yang pertama kali ia lihat.
"Hati-hati," ucap Nathan lembut. "Bu Anja bisa terluka."
Anja tak menjawab. Ekspresinya masih kosong. Tapi tak berselang lama, tangisannya kembali pecah. Dengan penuh perhatian, Nathan memeluk Anja dan membiarkan wali kelasnya itu menangis dalam pelukannya.
...----------------...
Anja duduk termenung di sebuah bangku taman. Matanya yang memang sudah sembab kini makin membengkak. Pikirannya kosong dan badannya lemas. Ia hanya terdiam sambil memandangi hamparan rumput pada lapangan sepak bola di depannya.
Nathan muncul beberapa saat kemudian sambil membawa satu kresek besar. Sepertinya dia tadi pergi ke supermarket lebih dulu. Cowok itu lantas duduk di samping Anja dan mulai mengeluarkan barang belanjaannya.
"Minum dulu," Nathan menyerahkan sebotol air mineral dingin. Tak lupa, ia membukakan segel tutupnya agar Anja tak kesusahan. Tetapi, Anja hanya terdiam sambil menatap Nathan. Nathan menghela napas panjang dan meletakkan botol air itu pada tangan Anja.
Anja menerima botol itu masih dengan tatapan kosong. Sementara itu, Nathan sudah beranjak dari duduknya dan berjongkok di tanah. Dengan hati-hati, ia membuka sepatu Anja, memperlihatkan kulit kaki wanita itu yang penuh luka.
"Astaga," Nathan terkejut melihat luka-luka yang menganga di kaki Anja. Sebaliknya, Anja justru tidak merasakan apa-apa. Mungkin rasa sakit hatinya yang terlampau besar membuat luka fisik tidak lagi terasa.
Dengan hati-hati, Nathan membersihkan luka-luka itu menggunakan kapas dan alkohol yang baru ia beli tadi. Anja hanya terdiam, merasakan perih saat kapas menyentuh kulitnya.
"Ini akan sedikit sakit. Bertahanlah sebentar," Nathan berkata lembut, baik ucapan dan perilakunya benar-benar penuh perhatian.
Anja menatap anak muridnya itu lekat-lekat. Tiba-tiba merasakan malu yang amat dalam. Padahal baru beberapa jam yang lalu dia membentak Nathan yang menuduh pacarnya berselingkuh, namun kini ia tertampar kenyataan bahwa ucapan Nathan lah yang benar.
"Maaf," Anja berkata dengan suara lirih. "Maaf karena Ibu tidak mempercayai kamu sebelumnya,"
Nathan menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Anja dalam-dalam. "Tidak usah minta maaf Bu Anja. Ini bukan salah Bu Anja, harusnya cowok brengs3k itulah yang minta maaf."
"Benar," Anja menganggukkan kepalanya. "Seharusnya si brengs3k itu yang meminta maaf padaku."
Nathan tersenyum, lalu melanjutkan aktivitasnya mengobati kaki Anja.
"Tapi Nathan, bagaimana kamu bisa tau Ibu ada di sini?"
Gerakan tangan Nathan terhenti, wajahnya terlihat panik untuk sesaat. "Cu-cuma kebetulan saja Bu. Kebetulan aku lewat dan melihat Bu Anja sedang berjalan sendirian,"
"Oh..." Anja mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia merasa ada yang aneh dengan cara bicara Nathan, tapi ia tidak terlalu ambil pusing. Saat ini isi otaknya sudah terlalu penuh dengan masalah-masalah yang menimpanya.
Nathan diam-diam menghela napas lega. Sudah jelas, ucapannya tadi hanya bualan semata. Padahal, Nathan sebenarnya sudah mengikuti Anja sejak dari sekolah. Bahkan, saat Anja menunggu Raffi di lobi hotel, Nathan juga ada di sana, menjaga jarak agar tak terlihat. Saat melihat Raffi mendorong dan menarik paksa Anja, Nathan sebenarnya sudah ingin menonjok cowok itu. Tapi ia menahan diri karena tidak ingin merusak momen perpisahan mereka. Ya, meskipun bagi Anja perpisahan itu adalah suatu hal yang menyakitkan, bagi Nathan justru adalah suatu kesempatan.
Ketika Anja mulai menangis dan berjalan tanpa tujuan, Nathan tetap mengawasinya dari belakang. Hingga akhirnya, saat Anja hampir tersandung, Nathan segera bergerak untuk menolongnya.
"Sudah," ucap Nathan setelah selesai membalut luka Anja dengan perban dan plester. "Bu Anja bisa jalan?"
Anja mengangguk. Toh, luka di kakinya tidak separah itu sampai ia tidak bisa berjalan sama sekali. Ia bangkit perlahan dari duduknya dan mencoba melangkah seperti biasa. Namun, begitu ia menegakkan tubuh, rasa nyeri tajam menusuk kakinya, membuatnya limbung dan jatuh.
"Hati-hati," beruntung, Nathan dengan cepat menangkap tubuh Anja. "Tidak bisa begini, terpaksa aku harus menggendong Ibu."
"Apa? Eh, Nathan! Tidak perlu, Ibu baik-baik— Kyaaa!" Anja berseru tertahan saat tubuhnya melayang. Reflek, ia melingkarkan tangannya pada leher Nathan.
"Maaf Bu, aku terpaksa melakukan ini. Kaki Bu Anja sudah terlalu lelah setelah diajak berjalan jauh, dia juga butuh istirahat."
Nathan mengangkat Anja dengan mudah, seolah wanita itu tidak seberat yang ia kira. Anja yang masih terkejut hanya bisa diam, rasa malu dan canggung menjadi satu. Ia sedikit memalingkan wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan wajah Nathan.
Di sisi lain, Nathan tak bisa mengabaikan debaran jantungnya yang semakin kencang. Tubuh Anja yang ringan di pelukannya membuatnya sadar betapa rentannya wanita itu saat ini. Meski mencoba bersikap tenang, ada perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Jarak di antara mereka begitu dekat, hingga aroma lembut dari rambut Anja menyapu hidungnya, membuat detak jantung Nathan semakin tidak karuan.
Saat Anja merapatkan pelukannya di leher Nathan demi menjaga keseimbangan, Nathan hampir bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Rasa canggung melintas, tapi ia tak berani menatap Anja langsung, takut kalau ekspresinya terlihat jelas.
Saat langkah Nathan sampai di trotoar dekat jalan utama, perlahan ia menurunkan tubuh mungil Anja. Ada rasa tak rela saat ia melepaskan tangannya dari pinggang wanita itu. Tapi ia berusaha menahan diri.
Nathan lalu mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat memesan taksi online. Sementara tangan kanannya bergerak di atas ponsel, tangan kirinya memegang lengan Anja dengan hati-hati, memastikan wanita itu tidak limbung lagi.
"Eh, biar Ibu saja yang pesan," Anja buru-buru mengambil ponselnya, tapi ternyata baterainya habis.
Nathan tersenyum. "Tidak apa-apa Bu. Biar aku saja,"
Anja hanya bisa terdiam. Astaga, sudah berapa kali ia bersikap memalukan di depan muridnya? Bagaimana ia harus menghadapi Nathan di sekolah besok?
Tak berselang lama, taksi online yang dipesan Nathan tiba. Dengan sigap, Nathan segera membukakan pintu belakang dan membantu Anja masuk ke mobil. Ia bahkan menggunakan tangannya untuk melindungi kepala Anja agar tidak terbentur badan mobil. Setelah itu, ia pun masuk dan duduk di samping Anja.
"Terimakasih Nathan," bisik Anja setelah mobil taksi yang mereka tumpangi melaju ke jalan raya. "Kamu sampai repot-repot begini demi Ibu,"
Nathan tersenyum, menoleh ke arah Anja. "Aku bahkan tidak masalah jika harus direpotkan seumur hidup Bu,"
Anja menoleh ke arah Nathan, menatap muridnya itu dengan wajah bingung. "Maksudnya?"
Namun alih-alih menjawab, Nathan hanya tersenyum penuh arti.
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan