Mawar Ni Utami gadis yatim piatu yang dua kali dipecat sebagai buruh. Dia yang hidup dalam kekurangan bersama Nenek nya yang sakit sakitan membuat semakin terpuruk keadaannya.
Namun suatu hari dia mendapatkan sebuah buku kuno dan dari buku itu dia mendapat petunjuk untuk bisa mengubah nasibnya..
Bagaimana kisah Mawar Ni? yukkk guys kita ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3.
“Ayo Nek , Yu... kita ngasak di tempat lain bukan di lahan Juragan Handoko. “ ucap Mawar Ni lagi menghibur sang Nenek dan Ayu yang masih terus menangis..
“Cepat sana pergi!” bentak Irawan dengan kasar.
Para pengasak yang sebagian besar membawa sepeda itu segera mengayuh sepeda mereka mencari cari lahan sawah yang sedang dipanen, selain lahan milik Pak Handoko. Mereka memakai sepeda dan jika selesai ngasak, apabila mendapatkan banyak padi hasil ngasak, mereka taruh karung di sepeda lalu sepeda mereka tuntun di saat pulang. Namun jika hasil sedikit ya hanya dibonceng saja dan sepeda mereka kayuh.
“Ni, cepat agar kita masih dapat bagian!” suara Nenek sambil memegang erat pinggang Mawar Ni .
“Iya Nek, kita ke sawah Pak Dukuh, yang tidak terlalu jauh.” Ucap Mawar Ni sambil terus mengayuh sepeda lebih kencang.
Karena lahan milik Pak Handoko sangat luas meskipun Mawar Ni sudah mengayuh sepeda dengan cepat, tetap saja membutuhkan waktu agak lama. Para pengasak itu banyak yang berpisah jalan menyebar untuk mencari tempat baru. Jumilah, Mawar Ni dan beberapa orang menuju ke tempat yang sama.
Sesaat kemudian mereka sudah sampai di lahan milik Pak Dukuh, di lahan itu pun sudah ada pengasak orang orang yang biasa ngasak di tempat itu.
“Apa kami boleh ikut ngasak di sini?” teriak Mawar Ni di pinggir jalan di dekat lahan Pak Dukuh.
“Sudah siang begini kenapa kalian baru datang? Bukannya biasanya kalian ngasak di lahan Juragan Handoko? Ini sudah mau habis.” Teriak salah seorang dari pengasak yang masih di lahan. Beberapa orang pun sudah berjalan sambil menggendong karung berisi padi.
Nenek Marmi pun menjelaskan pada para pengasak di lahan Pak Dukuh itu. Dan mereka tampak kaget dan khawatir, sebab dengan dilarangnya ngasak di lahan Pak Handoko. Sudah pasti para pengasak akan berpindah dan membuat hasil ngasak mereka berkurang. Bahkan mungkin akan saling berebutan.
“Cari di tempat lain saja, ini sudah mau habis.” Ucap mereka yang tidak mau ada pengasak baru di situ.
Dengan lesu Mawar Ni dan teman teman itu pun pergi dari lokasi itu dan mencari lahan yang lain yang masih ada sisa sisa padi habis dipanen.
Hingga sore hari, Mawar Ni dan Nenek hanya mendapatkan sedikit padi hasil ngasak. Mereka pun pulang dengan rasa sedih. Mawar Ni mengayuh sepeda pelan pelan Sang Nenek duduk di boncengan sambil memangku karung yang berisi sedikit padi.
Hari hari berikutnya mereka pun kembali ngasak mencari cari di semua lahan sawah di desa itu bahkan ke tetangga desa, sampai habis waktu panen. Sawah sawah sudah bersih tidak ada lagi padi tersisa. Hasil dari ngasak musim ini hasilnya sangat jauh lebih sedikit dari musim musim sebelumnya, sebelum ada larangan ngasak di lahan Juragan Handoko.
“Jangan sedih Ni, rejeki yang sudah kita dapat kita syukuri. Tidak lama lagi kan masa tanam, kita bisa bekerja dan dapat upah...” ucap Sang Nenek sebab wajah Mawar Ni sangat kusut dan terus merayu Sang Nenek untuk bisa kerja di pabrik bulu mata. Namun nenek belum juga mengizinkan.
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari. Waktu musim tanam yang dinanti nanti pun telah tiba..
Seperti pada musim musim tanam sebelumnya. Mawar Ni dan para buruh tani wanita pagi pagi hari sudah berangkat ke sawah. Nenek Marmi pun ikut serta, dia akan ikut kerja jika kondisi badan memungkinkan, jika dia merasa kurang enak badan dia hanya duduk di bawah pohon.
Saat para buruh tani wanita itu sudah sampai di lahan sawah milik Pak Handoko, betapa kagetnya mereka karena tampak pemandangan yang berbeda dengan kebiasaan di desa itu. Para pekerja laki laki sudah turun di sawah dan mereka sudah mulai bekerja menanam padi dengan menggunakan mesin mesin penanam padi.
Jantung Mawar Ni berdebar debar, keringat di telapak tangannya pun mulai keluar. Dia merasa ada hal yang tidak beres. Nenek Marmi pun langsung kepalanya terasa pusing, dia pun merasa ada hal buruk yang akan terjadi.
Seorang laki laki setengah baya yang biasa menjadi mandor jika mereka bekerja di lahan Juragan Handoko melangkah mendekat ke pada perempuan perempuan yang baru datang itu.
“Kalian semua sebaiknya cari pekerjaan di tempat lain. Juragan Handoko sudah tidak menerima pekerja perempuan untuk menanam padi, kata Mas Irawan pekerja perempuan terlalu lama dalam bekerja dan dengan mesin mesin penanaman padi akan lebih cepat.” Ucap Pak Mandor sawah
“Pak tolong beri kami pekerjaan.” Ucap Mawar Ni dengan suara mengiba, lehernya terasa sakit bagai ada sebongkah batu yang mengganjal. Kedua mata Mawar Ni pun berkaca kaca
“Sudah tidak ada pekerjaan buat kalian!” suara Pak Mandor sawah.
Tidak terasa air mata Mawar Ni meleleh begitu saja.
“Musim tanam adalah harapan kami untuk mendapatkan rejeki, kalau diganti mesin kami harus bekerja apa?” ucap Mawar Ni memberanikan diri.
“Coba saja cari ke tempat lain yang belum memakai mesin.” Ucap Pak Mandor
“Tetapi lahan di desa ini sebagian besar milik Juragan Handoko, dan lahan lain pasti juga sudah ada buruh tani yang biasa bekerja di sana.” Ucap Mawar Ni lagi.
“Iya Pak Mandor tolong kami...” ucap perempuan perempuan buruh tani itu.
“Aku tidak tahu masalah itu. Dan tidak bisa menolong kalian. Maaf ini perintah juragan. Coba cari saja pekerjaan lainnya.” Ucap Pak Mandor sawah Juragan Handoko. Lalu dia membalikkan tubuhnya kembali melangkah untuk mengawasi pekerja yang mengoperasikan mesin tanam padi. Sebab dia takut jika juragan tiba tiba datang meninjau, dia akan kena marah kalau terlalu banyak bicara melayani perempuan perempuan itu.
“Ni, kepalaku pusing sekali, dunia serasa berputar putar...” suara lirih Nenek Marmi sambil menyandarkan tubuhnya dan memegang erat tubuh Mawar Ni .
“Nek..... Nenek jangan sakit...” teriak Mawar Ni sambil memapah Nenek Marmi berjalan ke tempat sepeda nya. Para perempuan buruh tani itu pun membantu Mawar Ni untuk membawa Nenek ke puskesmas. Nenek didudukkan di boncengan sepeda sambil dipegangi oleh dua buruh tani wanita, sedangkan Mawar Ni menuntun sepeda itu menuju ke puskesmas.
Di dalam perjalanan mereka berpapasan dengan mobil bagus yang dikemudikan oleh Irawan. Mobil itu terus melaju tidak menawarkan bantuan bahkan malah menyiratkan air genangan di jalan akibat ban mobil yang melaju cepat menggilas genangan air itu.
BYUUURRR....
Air genangan di jalan membasahi baju Mawar Ni , Nenek dan perempuan perempuan yang membantu Mawar Ni .
Irawan yang mengemudikan mobil tersenyum miring melihat para perempuan berjalan menuntun sepeda.
“Papa lihat dengan mata dan kepala sendiri kan, betapa bodohnya mereka. Sepeda tidak dinaiki tetapi malah dituntun. Buat apa coba? Kalau tidak biar berlama lama sambil ngobrol ngobrol.” Ucap Irawan menilai berdasar persepsinya sendiri tidak tahu masalah yang sedang mereka hadapi.