Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Aku kuat
Setelah kejadian yang penuh drama itu, mereka kembali ke markas dengan langkah yang lebih berat daripada ketika mereka berangkat. Arga dan Rahmat berjalan beriringan, saling melirik dengan mata yang menunjukkan kelelahan dan ketegangan. Mereka tahu, hukuman sudah menunggu.
Rosa dan korban diantar oleh Rini menuju rumah sakit untuk menjalani visum, sementara mereka berdua, seperti anak sekolah yang baru saja dihukum, harus menerima kenyataan pahit bahwa aksi heroik mereka tidak dihargai dengan cara yang mereka bayangkan.
Sesampainya di markas, suasana menjadi sedikit lebih serius. Para senior mereka, yang tadinya tampak sibuk dengan urusan masing-masing, kini melirik dengan tatapan yang lebih berat. Arga dan Rahmat yang sudah tahu apa yang akan terjadi, merasa seperti dua anak kecil yang baru saja ditangkap mencuri permen.
“Arga, Rahmat!” suara Komandan Gunawan bergema di ruang depan. Suaranya bagaikan guntur yang siap menggulung mereka berdua ke jurang hukuman. Mereka berdua menegakkan badan, seperti prajurit yang siap menerima perintah, meskipun hati sudah tidak bisa lebih cemas lagi.
“Kalian sudah melanggar aturan dengan meninggalkan pos kalian tanpa ijin!” Gunawan berkata dengan nada yang hampir mirip seperti kepala sekolah yang baru saja menemukan dua murid yang melanggar disiplin. "Ada prosedur yang harus diikuti! Kalau tidak, jangan harap bisa jadi polisi sejati!"
Arga dan Rahmat hanya bisa mengangguk patuh, tidak berani membuka mulut.
Dengan ekspresi yang tak kalah serius, Gunawan menginstruksikan mereka berdua untuk lari keliling lapangan markas, membersihkan kamar mandi, dan yang paling menakutkan: push-up 200 kali. Sepertinya hukuman kali ini bukan hanya untuk tubuh mereka, tapi juga untuk mental mereka yang sudah terlanjur berani bertindak tanpa pertimbangan.
"Ini bukan tempat untuk bermain-main!" teriak Gunawan, membuat Arga dan Rahmat tercekat. Rasanya seperti mendengar suara seorang ibu yang baru saja menemukan anaknya merusak barang kesayangan.
Tanpa banyak basa-basi, mereka berdua segera berlari keliling lapangan. Kaki mereka terasa seperti besi, dan nafas mereka sudah habis setelah dua putaran. "Kenapa sih, Pak Gunawan? Kami kan cuma coba bantu..." Arga berusaha menjelaskan sambil hampir jatuh tersungkur. Namun, Gunawan hanya menatap mereka tanpa ampun. "Kalian bantu diri sendiri dulu, baru bisa bantu orang lain!"
Setelah lari keliling lapangan, mereka segera diarahkan ke kamar mandi, di mana mereka harus menyikat lantai dengan sikat toilet—yang, jujur saja, lebih banyak menyentuh tangan daripada lantai itu sendiri. Sambil membersihkan, mereka juga harus berbicara, berteriak lebih tepatnya, "Kami tidak akan mengulangi lagi, Komandan!" Dengan suara lelah, Arga berteriak hampir seperti orang yang kehilangan semangat hidup. Rahmat yang di sampingnya hanya bisa mengangguk dengan wajah penuh rasa penyesalan yang mendalam.
Tapi hukuman belum selesai. Mereka berdua harus melakukan push-up, dan bukan hanya satu atau dua, tetapi 200 kali. Dengan setiap kali turun dan naik, rasanya seperti seluruh dunia berteriak pada mereka, "Tahu rasa kan, sekarang?"
"Masih kurang seratus lima puluh!" teriak Gunawan dari samping, sementara Arga dan Rahmat hampir kehabisan napas. Mereka tidak hanya lelah, tapi juga merasa seperti sedang menjalani ujian fisik tingkat dewa. "Ayo, cepat, satu! Dua! Jangan malas!"
Saat akhirnya mereka menyelesaikan push-up terakhir, tubuh mereka gemetar, wajah merah padam, dan napas tersengal-sengal. "Oke, kalian sudah cukup... untuk hari ini," ujar Gunawan, sedikit lebih tenang. Namun, Arga dan Rahmat sudah hampir roboh karena kelelahan.
"Next time," Gunawan melanjutkan dengan nada lebih datar, "ikuti aturan. Kalau kalian mau jadi polisi yang baik, latih dulu otak dan tubuh kalian, jangan cuma nyali."
Dengan lutut masih gemetar, Arga dan Rahmat berdiri, merasa bangga—meskipun rasa bangga itu lebih mirip rasa sakit tubuh yang baru saja mereka derita. “Iya, Komandan, kami ngerti… dan tidak akan mengulanginya lagi.” jawab mereka serempak, suara mereka hampir tak terdengar karena terlalu lelah.
Seperti dua orang yang baru saja menjalani uji ketahanan mental dan fisik, mereka berjalan kembali ke ruang kantor, berjanji pada diri sendiri—bahwa menjadi pahlawan bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal mengikuti prosedur dan menjaga tubuh tetap sehat.
...****************...
Hari pertama Arga sebagai seorang polisi benar-benar bisa dibilang... nano-nano. Begitu keluar dari markas, tubuhnya rasanya seperti baru saja dipakai untuk bermain tinju selama tiga jam penuh, dan tangannya masih berbekas sayatan pisau yang belum sempat dia obati. Di satu sisi, dia merasa bangga—akhirnya bisa jadi bagian dari kepolisian. Tapi di sisi lain, dia juga merasa seperti baru saja di-mental dan fisik oleh pelatihan militer yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Setibanya di rumah, Arga disambut dengan tepuk tangan meriah dari keluarga besarnya, yang sudah seperti tim investigasi yang tak sabar ingin tahu. Ibunya, Bu Ratmi, dengan senyum lebar yang penuh harapan, langsung mendekat dan bertanya, “Gimana, Ga? Seru nggak kerja jadi polisi?”
Arga terpaksa tersenyum canggung, tapi dia bisa merasakan otot-ototnya menjerit protes. "Iya, Ma, seru banget. Seru banget… kalau kalian suka lari keliling lapangan, bersihin kamar mandi, dan push-up sambil teriak nggak akan mengulangi nge-langgar aturan lagi," jawabnya dengan nada yang sudah lebih mirip keluhan daripada antusiasme.
Belum sempat dia duduk, kakaknya, Sinta, yang terkenal galak dan selalu punya pertanyaan-pertanyaan mematikan, sudah meluncur datang, membawa anak kembarnya yang berlarian seperti anak ayam lepas dari kandang. “Tadi apa aja yang kamu lakuin, Ga? Kok bisa ada luka di tangan gitu?” tanya Sinta, sambil menatap Arga dengan mata penuh kecurigaan. Arga yang sudah lelah hanya bisa mengusap wajahnya dengan tangan yang rasanya masih terasa terbakar akibat latihan fisik barusan.
“Luka ini... cuma... kecelakaan kecil, kok, Sis," jawab Arga sambil berusaha menahan tawa, karena kalau dijelaskan lebih lanjut tentang betapa dramatisnya hari itu, dia bisa langsung dikira lebay oleh keluarga. Sementara itu, anak kembar Sinta malah ikut-ikutan berlarian keliling ruang tamu dan sesekali berteriak, "Polisi, polisi!" seperti mereka sedang bermain peran, meniru sang pahlawan yang baru saja pulang.
Ayahnya, Pak Komar, yang duduk di pojok ruangan sambil menyeruput kopi, hanya bisa menatap Arga dengan tatapan penuh makna, seperti yang sering dilakukannya saat memberikan wejangan. “Jadi polisi itu bukan cuma soal seragam, Ga. Kalau kamu nggak kuat, jangan salahkan siapa-siapa.” Peringatan itu selalu keluar dari mulut Pak Komar setiap kali ada sesuatu yang ‘mencurigakan’ terjadi.
Arga mengangguk lemas. "Tenang, Pak, aku kuat kok…," jawabnya, meski hati kecilnya berkata, Ya, kuatlah, kalau nggak kayaknya saya udah tumbang dari tadi.
Ibu Arga, yang sudah menyiapkan makan malam, memanggilnya dengan suara manis, “Ayo makan, Ga! Makanan ibu udah siap, biar kamu cepat sembuh.”
Arga pun dengan penuh rasa terima kasih, meskipun tangannya sedikit kesakitan, menuju meja makan. Saat duduk, dia melihat wajah-wajah keluarga yang penuh harapan, menunggu cerita heroik dari anak pertama mereka yang baru saja lulus menjadi polisi. Arga hanya bisa tersenyum kecut. "Hari ini… nggak ada cerita heroik, Ma. Hari ini lebih kayak cerita horror," ujarnya pelan, lalu menyantap makan malam dengan cepat agar bisa tidur dan melupakan semua kelelahan itu—setidaknya sampai hari berikutnya.
Arga hanya bisa berpikir, Kalau sampai cerita ini keluar di rumah, sepertinya saya bakal terkenal, tapi bukan sebagai polisi berprestasi, melainkan sebagai polisi yang bodoh.
...****************...