kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
"Tidur! Nanti bunda sama ayah mikir macem-macem lagi."
"Mas Satria yang bikin Diba mikir macem-macem," pekik Adiba.
Satria terkekeh lagi, mencolek hidung istirnya. "Nggak diapa-apain kok. Ayo! Mas juga capek soalnya."
"Beneran?"
"Iya."
Satria menuntun Adiba ke peraduan. Berbaring di sana lebih dulu.
"Sini!"
Adiba masih berdiri saja di pinggir ranjang.
"Kamu takut apa sih? Nggak akan kumakan kok." Satria terkekeh lagi."Sini!" Ia menepuk ruang di sisinya. "oh, mas tau." Ia berganti mengambil guling dan menempatkan di tengah.
"Nanti tengah malam, mas Satria nggak akan perkosa Diba kan?"
Mendengar pertanyaan istrinya, Satria reflek tersenyum. "Enggak sayang, mas akan lakukan kalau Diba udah siap."
"Beneran?"
"Iya."
Adiba bersungut naik ke ranjang, lalu baring dengan membelakangi Satria. Ia hanya bisa percaya pada kata-kata suaminya dan menahan debaran di dada.
Malam berlalu, Adiba tidur dengan sangat nyenyak dan nyaman, dalam rasa hangat yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Ummmm,, apa guling sekarang jadi keras begini?" gumamnya dalam hati.
Adiba terus mengeratkan pelukan, dan rasanya tak sama dengan guling. Adiba membuka salah satu matanya yang tertutup. Ia reflek berteriak melihat seorang lelaki yang tertidur di atas ranjangnya.
"Aaaaaaaa!!!"
Suara teriakannya memenuhi kamar, membuat Satria ikut bangun.
"Ada apa? Ada apa?" Satria juga panik karena sang istri sampai berteriak seperti itu. "Ada apa Diba?" tanyanya dengan raut khawatir.
Adiba terdiam, ia baru sadar jika ia sudah menikah sekarang, dengan pria yang kini ada di hadapan, menatapnya dengan raut muka cemas.
"Kamu mimpi buruk?"
Adiba merasa konyol sudah berteriak sendiri tadi. Padahal ia juga yang memeluk Satria.
"Jangan terkecoh, Adiba, gimana kalau dia sengaja menyingkirkan gulingnya agar aku mengira dia guling dan memeluknya?" batin Adiba menggeleng.
"Apa mas Satria sepicik itu?" gumamnya lagi.
"Kenapa, aku tadi meluk mas Satria?" Tanpa sadar, ia malah melontarkan begitu saja, Diba pikir lagi bicara dalam hati.
"Kamu menjerit gara-gara itu?" tanya Satria dengan alis berkerut.
"Ha?"
"Tadi, kamu memelukku."
Adiba terperangah. "Apa tadi aku nggak membatin?" pikirnya.
Satria mengulas senyum. Karena sudah terlanjur begini, skalian saja.
"Mas ya, yang mindahin gulingnya?"
"Enggak," elak Satria, lalu menggerakkan dagunya."Tuh." Menunjukkan di sisi ranjang yang tadi Adiba tiduri, guling itu teronggok di lantai, tepat di bawahnya.
"Kamu kan yang mindahin?"
Mulut Adiba terbuka.
Cetak!
"Awww!"
Adiba mengusap jidatnya yang kena sentil Satria.
"Mumpung udah bangun jam segini, skalian sholat yuk," ajak Satria.
Adiba melihat jam di dinding, jam tiga lebih tiga puluh menit.
"Ini masih jam setengah empat loh mas," keluhnya."Mau solat apa?"
"Tahajud, ayo!" ajak Satria menarik. "Kalau tidur lagi, pasti nanti subuh kelewat."
Adiba mendesah pelan. Tapi, tidak menampik ucapan Satria. Kalau tidur lagi pasti kesiangan. Subuh itu, Adiba sudah melawan dinginnya air membasuh muka dan pori-pori kulitnya.
Di kamar, Satria sudah menunggu, menjadi imam pertama untuk istrinya.
"Mas Satria kenapa nggak duluan?" tanya Adiba memakai mukenanya.
"Kan kamu. Ada makmumnya kok, ngapain sendiri."
"Iiih, aku nggak tersentuh ya," cetus Adiba merasakan pipinya yang mulai menghangat.
"Emang siapa yang mau nyentuh?"
"Udah, ah, katanya mau mengimami."
Satria terkekeh, senang juga menggoda istrinya. Ia lalu bersiap, setelah memastikan Adiba sudah selesai memakai mukenanya.
"Allahhuakbar."
****
"Loh? Siapa ini?"
Pak Mus tertegun melihat Adiba baru keluar dari kamarnya dengan mukena.
"Adiba, yah." Satria yang menjawab dengan senyuman. Adiba cemberut, sudah jelas ayahnya sedang meledek.
"Oohh, ini Adiba? Sampai pangling ayah, iya kan Bun?" Pak Mus berganti pada bunda Sawitri yang juga baru keluar dari kamar.
"Iya, apa kita lagi mimpi ya, yah?" Bundanya malah ikut menggoda.
Satria tersenyum, sedang Adiba mencebik. "Udah ah, Adiba mau tidur aja."
"Eh, jangan!" Satria menahan dengan merentangkan satu tangan di depan Adiba. "Udah ada niat baik, jangan patah hanya karena dapat godaan di luar."
"Pada mau ke mana?"
"Ke masjid kompleks, Bun."
"Oohh..." Pak Mus menganggukkan kepalanya.
"Heem, udah keramas belum?"
"Keramas buat apa? Rambut udah bersih," cibir Adiba.
"Belum Bun," ujar pak Mus.
"Ya sudah, ayo ke masjid sana," suruh Bunda Sawitri mengayunkan tangan mengusir."Bunda lagi batal, jadi nggak ikut."
"Apa sih, ayah sama bunda? Belum apaan?" gumam Adiba menggerutu.
Seusai sholat subuh bersama, mereka bersiap untuk ke rumah Satria. Melanjutkan salah satu prosesi pernikahan, ngunduh mantu. Kali ini, Adiba hanya dirias tipis saja, dengan memakai baju gamis berwarna toska, yang senada dengan kemeja yang Satria pakai.
Sesampainya di desa Pakis. Mempelai disambut dengan iringan rebana dan sholawatan. Faraz yang memang terpaksa ikut pulang kemarin berlari menghambur pada Satria. Jadilah, mereka duduk bertiga di panggung.
"Nak Satria, ayah, nitip Adiba ya. Tanggung jawab ayah sudah berpindah padamu. Tolong jaga dan sayangi dia, Adiba anak ayah satu-satunya. Ayah akan sangat marah jika kamu sampai menyakiti anak ayah."
Pak Mus berucap saat ia akan pamit pulang usai prosesi ngunduh mantu. Satria mengangguk dan mengulas senyuman.
"Saya akan berusaha terus menjadi imam yang baik untuk Adiba, yah."
"Terima kasih. Kamu memintanya baik-baik, ayah tak berharap kamu mengembalikan nya pada ayah. Tapi, jika memang harus kembali, tolong, kembalikan dengan cara baik juga."
Kali ini Satria menggeleng. "Maaf ayah. Tidak akan saya kembalikan, ayah," jawabnya yakin.
Pak Mus menepuk lengan Satria dan tersenyum. Tangannya yang lain mengusap sudut mata dengan telunjuk dan jempol.
"Ayah mau pulang dulu."
Bunda Sawitri memeluk anaknya. "Di sini jangan bikin malu. Keluarga Satria orang terpandang, jaga sikap, dan keluar pakai jilbab."
"Iya, bunda," jawab Adiba tiba-tiba merasa sedih akan berpisah dengan orangtuanya.
"Kamu pasti tau kalau menolak suami berhubungan itu dosa kan?"
"Iya, bunda."
"Bagus!"
"Mas Satria udah janji nggak akan minta kalau Adiba belum siap."
Mata bunda seketika melebar, lalu menepuk lengan anaknya. "Kamu ini!"
Adiba tersenyum, lalu tiba-tiba menangis memeluk bundanya. Bunda Sawitri pun membalas pelukan, mengusap kepala Adiba dengan lembut.
"Bunda mau ninggalin Diba di sini?"
"Ada Satria, mertuamu juga menyayangi kamu. Jangan merengek," ujar bunda Sawitri mengurai pelukan. Adiba menyusut air matanya.
"Bunda sama ayah pulang ya," pamit bunda Sawitri.
Setelah berpamitan dengan besan, pak Mus dan Bunda Safitri beserta rombongan tetangga dan keluarga pun pulang. Adiba duduk termangu di teras yang sudah sepi, sekarang malah bingung mau apa.
"Mau ikut mas liat toko?" tawar Satria berdiri di samping sang istri.
Adiba menoleh, "Boleh?"
"Boleh dong."
Adiba mengangguk, dari pada di rumah malah gabut.
"Bentar ya, mas panggil Faraaz dulu."
Satria masuk ke dalam rumah, dan muncul lagi bersama Faraaz.
"Ayo calon umi!"
"Bukan calon, sekarang udah umi," ucap satria membenahi. Faraaz nyengir mengaruk kepalanya yang tak gatal. "Hehehe, iya, lupa, Abi. Ayo umi," ajak bocah itu menggandeng Adiba.
"Jalan kaki?" tanya Adiba saat Satria melangkah lebih dulu.
"Iya, biar sehat Adiba. Lagian tokonya nggak jauh."
"Umi, ayo kita lari, biar Abi tinggal aja!" seru Faraaz antusias menarik Adiba sambil berlari.
"Eehh, iya, umi nggak bisa lari kencang nih," aku Adiba asal. Anak kecil memang suka jika bisa lebih cepat dari orang lain kan?
"Tunggu, Faraaz!" pekik Adiba karena Faraaz sudah berlari lebih dulu.
"Umi Novi!"
Tiba-tiba Faraaz memekik memanggil seseorang yang baru saja keluar dari toko.
"Umi?"