Bayangkan terbangun dan mendapati dirimu dalam tubuh yang bukan milikmu. Itulah yang terjadi padaku setiap kali matahari terbit. Dan kali ini, aku terperangkap dalam tubuh seorang pria asing bernama Arya Pradipta. Tidak ada petunjuk tentang bagaimana aku bisa ada di sini, atau apakah ini hanya sementara. Hanya ada kebingungan, ketakutan, dan kebutuhan untuk berpura-pura menjalani hidup sebagai seseorang yang tak kukenali.
Namun, Arya bukan orang biasa. Setiap hari aku menggali lebih dalam kehidupannya, menemui teka-teki yang membuat kisah ini semakin rumit. Dari panggilan misterius, kenangan yang menghantui, hingga hubungan Arya dengan seorang gadis yang menyimpan rahasia. Di setiap sudut hidup Arya, aku merasakan ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar tubuh yang kumiliki sementara.
Dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa kehadiranku dalam tubuh Arya bukanlah kebetulan. Ada kekuatan yang menyeret
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Kebenaran yang Terpendam
Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama di taman, Arya tampak berbeda. Ada kilatan kecemasan di matanya, seolah ada beban besar yang ia tahan namun belum ia ungkapkan. Aku merasakannya, tapi aku memilih untuk menunggu, memberi ruang bagi Arya untuk berbicara ketika ia siap.
Beberapa hari kemudian, saat hujan deras mengguyur kota, Arya menghubungiku. Suaranya terdengar pelan di telepon, penuh kebimbangan. "Bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang harus aku ceritakan," ujarnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Aku setuju tanpa ragu, segera bergegas ke kafe kecil tempat biasa kami bertemu. Saat aku tiba, Arya sudah duduk di pojok ruangan, menatap kosong ke luar jendela. Aku duduk di depannya tanpa mengucap sepatah kata pun, memberi waktu baginya untuk mengumpulkan keberanian.
"Ada satu hal yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun," Arya memulai, suaranya bergetar. "Dan aku rasa, inilah alasan aku selalu merasa hampa, selalu merasa ada yang salah dalam hidupku."
Aku mendengarkan dengan saksama, perasaan campur aduk antara penasaran dan kecemasan. Arya tampak ragu, tapi setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan.
---
"Dulu, saat aku masih kecil, ibuku sering membawaku ke rumah nenek. Aku selalu merasa hangat dan bahagia saat berada di sana. Tapi suatu hari, saat umurku masih sekitar delapan tahun, aku mendengar percakapan antara ibu dan nenek. Mereka berbicara tentang sesuatu yang membuatku sangat terkejut."
Aku menunggu, menatap Arya yang tampak semakin gelisah.
"Aku... ternyata bukan anak kandung ayah," ucapnya akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik. "Ayahku yang sekarang bukan ayah biologisku."
Perkataannya mengguncangku. Aku tidak pernah membayangkan Arya membawa beban rahasia sebesar ini, sesuatu yang mengubah cara pandangnya tentang dirinya sendiri dan hubungannya dengan keluarganya.
---
"Ayah selalu tahu, tapi dia memilih untuk menerima dan membesarkanku seperti anak kandungnya sendiri," lanjut Arya, suaranya semakin serak. "Namun, ketika ibu meninggal, aku merasa hubungan kami perlahan-lahan berubah. Mungkin karena kehadiranku mengingatkannya pada masa lalu yang tidak ia inginkan. Aku selalu merasa menjadi sosok asing dalam keluargaku sendiri."
Aku hanya bisa meremas tangannya sebagai tanda dukungan. Aku tidak tahu harus berkata apa, hanya berharap kehadiranku cukup untuk memberikan ketenangan di tengah kekacauan yang ia rasakan.
Arya melanjutkan, "Sejak tahu itu, aku merasa kebingungan. Aku merasa seperti hidup dalam kebohongan, menjadi bayangan yang selalu terasing dari diri sendiri. Dan itulah sebabnya aku selalu merasa kosong, selalu mencari sesuatu yang aku bahkan tidak mengerti."
---
Malam itu, kami berbicara tanpa henti, saling berbagi perasaan dan cerita yang selama ini terpendam. Arya membuka dirinya sepenuhnya, mengungkapkan segala kebimbangan yang ia simpan bertahun-tahun. Aku mencoba untuk memberikan dukungan, meskipun aku tahu kata-kata saja tidak cukup untuk menyembuhkan luka yang sedalam ini.
Di tengah percakapan kami, Arya tiba-tiba menatapku dengan mata yang dipenuhi air mata. "Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi kenyataan ini. Aku tidak tahu bagaimana harus menerima diriku sendiri."
Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Arya, kamu tidak sendirian. Semua orang memiliki bagian dari masa lalu yang sulit untuk diterima. Tapi kamu adalah dirimu, terlepas dari apa pun yang terjadi di masa lalu. Dan kamu adalah orang yang istimewa bagiku."
Arya tersenyum kecil, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. Senyuman itu penuh dengan rasa terima kasih, dan aku tahu, meskipun proses ini akan panjang dan sulit, kami akan melewati semuanya bersama.
---
Malam itu menjadi titik balik dalam hubungan kami. Arya mulai belajar untuk menerima dirinya apa adanya, menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Aku menyadari bahwa perjalanan ini akan membawa kami pada banyak tantangan, tapi aku bertekad untuk tetap berada di sisinya, membantu Arya menemukan kembali kepercayaan dirinya dan menerima masa lalunya tanpa rasa takut atau penyesalan.
Bab ini menandai awal baru dalam hidup kami berdua—sebuah perjalanan menuju penerimaan dan harapan yang kami jalani bersama.