Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21.
Setiap ada waktu luang dia pasti berjalan-jalan di taman belakang rumahnya ini.
Awalnya dia hanya sanggup berjalan 5 menit, lalu naik menjadi 10 menit.
Hingga kini dia sudah berhasil berjalan 20 menit tanpa merasa lelah dan sakit.
Seperti yang dikatakan oleh Mumu, bahwa secara perlahan-lahan tulangnya sehat kembali. Walau pun semuanya butuh proses.
Seharusnya Mala merasa gembira dengan kesembuhannya. Tapi entah mengapa hari ini seperti ada mendung di wajahnya yang putih. Walaupun kadang kala bibirnya masih menyunggingkan secercah senyum manisnya tapi tak dapat dipungkiri senyumnya tidak dapat menutupi kegalauan hatinya yang terpancar melalui wajahnya yang jelita.
Mala menyeka keringat di dahinya.
Jika dilihat dengan seksama, selain penyakit tulang rapuhnya sudah mulai sembuh sedikit demi sedikit, ternyata Mala sudah tidak menggunakan alat bantu dengar yang biasanya tercantel di kupingnya.
Sungguh luar biasa!
Hal ini tidak lepas dari usaha yang telah dilakukan oleh penolongnya, Mumu.
Sesuai janji ayahnya, bahwa siapa saja yang mampu menyembuhkan penyakit yang dideritanya, maka orang tersebut akan mendapatkan hadiah yang berlimpah.
Mungkin sebagian orang menyangka Mumu telah mendapatkan hadiah tersebut. Bahkan awalnya Mala pun berfikiran seperti itu juga.
Kenyataannya Mumu tidak mendapatkan hadiah apa-apa dari ayahnya.
Bukan karena ayahnya ingkar janji tapi Mumu yang menolak hadiah tersebut.
"Mala, kamu kenapa, Nak?" Sebuah suara dengan nada yang penuh kekhawatiran telah mengejutkan Mala."
Mala memandang ke samping, entah sejak kapan ibunya sudah berdiri di sana dengan wajah cemas.
"Ibu.....kenapa mengejutkan Mala. Sejak kapan ibu datang?" Ucap Mala dengan suara manjanya.
"Ibu sudah dari tadi di sini. Ibu panggil-panggil kamu malah bengong." Buk Maya duduk di samping anaknya, "Yang membuat ibu khawatir ekspresi kamu itu lho, cemberut sambil *******-***** tangan gitu. Kamu sedang ada masalah apa, Nak? Lalu siapa orang yang telah membuat mu marah sampai segitunya?"
"Mana ada Mala marah sama seseorang, Bu. Mala tak merasa ada masalah apa-apa, Bu." Malu lah jika ibunya sampai tahu isi hatinya.
Itu lah wanita!
Bagi sebagian pria, wanita itu adalah makluk yang susah dimengerti. Bagaimana tidak, jika dia bilang A tapi yang dilakukannya malah B atau C.
Tapi walau bagaimana pun pendapat sebagian pria tersebut, yang jelas wanita adalah makhluk yang istimewa.
Hanya orang-orang yang berkulitas saja yang mampu memahami mereka.
Buk Maya tahu jika anaknya tak jujur tapi dia tak memaksanya. Sebaliknya ia malah bertanya, "Sakit kamu memang sudah benar-benar sembuh, Nak? Memang tidak terasa sakit lagi dalam tubuhmu?"
Mala tersenyum penuh syukur, "Alhamdulillah Mala merasa sudah benar-benar sehat, Bu. Ini semua berkat Bang Mumu. Tapi Bang Mumu jahat, semenjak Mala sehat, dia malah tak pernah datang menjenguk Mala lagi."
Dada Buk Maya tiba-tiba berdebar. Sebagai seorang Ibu, nalurinya mengatakan bahwa bahwa anaknya mempunyai perasaan terhadap Mumu. Ini tak bisa dibiarkan!
"Mala, kamu tak boleh berfikiran seperti itu. Wajar kan jika Mumu tidak datang ke sini lagi.
Karena antara kita dan dia tidak ada ikatan apa-apa, hanya sebatas tabib dan pasiennya. Malah akan aneh jika dia tiba-tiba datang ke sini tanpa ada keperluan apa-apa kan, Nak."
"Tapi, Bu..."
"Tak ada tapi tapi lagi, Mala. Kamu jangan berfikir macam-macam ya. Semenjak proses pengobatannya sudah selesai, kita tak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia, jadi kamu jangan memikirkan apa-apa lagi tentang dia, faham."
"Tapi, Bu, kita terutang budi kepadanya."
"Terutang budi apanya?" Sengit Buk Maya. "Kita sudah menawarkan imbalan kepadanya, uang, kendaraan, rumah bahkan kebun, tapi dia saja yang sok suci tak mau menerima imbalan apa-apa. Jadi kita tidak punya hutang apa-apa terhadapnya. Titik."
Mala sangat sedih. Dia mulai menangis.
Dia tak tahu apakah dia telah jatuh cinta kepada Mumu atau sebatas kagum saja.
Usia Mala sudah 14 tahun. Masa-masa pubertas. Di mana dalam usia ini seorang wanita akan mulai menyukai dan merasa tertarik terhadap lawan jenisnya begitu juga dengan kaum pria.
Setiap kali bertemu Mumu, Mala hanya merasakan perasaan nyaman dan serasa dilindungi. Hanya itu! Apakah itu yang diartikan sebagai cinta, Mala tak tahu.
"Ibu tahu perasaan kamu. Tapi mulai sekarang kamu harus menghilangkan perasaan itu, Nak. Yakinlah kamu hanya merasa kagum saja tidak lebih dari pada itu. Lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya." Buk Maya mengusap rambut putri semata wayangnya dengan penuh cinta.
"Dunia kita berbeda. Jika sudah tamat SMP nanti kamu akan melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sedangkan Mumu hanya tamatan SMA yang kebetulan mempunyai sedikit kelebihan dalam ilmu pengobatan. Itu saja.
Sedangkan kamu dipersiapkan untuk mengganti posisi ayahmu untuk melanjutkan usaha keluarga kita. Jadi kamu harus tetap belajar dengan sungguh-sungguh." Ujar Buk Maya panjang lebar.
"Ayo kita masuk ke dalam." Buk Maya memegang tangan Mala dan berjalan ke rumah. Dengan berat hati Mala mengikuti langkah ibunya.
Sebenarnya Buk Maya dan suaminya Pak Samsur terlalu menyepelekan sesuatu.
Mereka menilai segala sesuatu itu hanya diukur dengan uang dan harta kekayaan.
Sewaktu anak mereka sakit tanpa harapan untuk sembuh, sifat mereka tampak mengendap seolah-olah mereka sudah menyadari kesalahan dan kesilapan mereka.
Semenjak Mala sehat kembali, sikap yang awalnya mereka tahan kembali lagi ke permukaan.
Mereka menghargai Mumu disaat mereka menaruh harapan kesembuhan putri mereka ada pada sosok Mumu.
Tapi setelah Mala sembuh, mereka kembali menilai Mumu dari status pendidikan dan status sosial. Sehingga mereka berdua tidak menghargai Mumu lagi.
Sebenarnya tindak-tanduk mereka sudah Mumu rasakakan sewaktu Mumu melakukan kunjungan pengobatan yang kedua.
Kala itu sudah ada tanda-tanda kesembuhan pada diri Mala, sehingga sedikit demi sedikit sikap Pak Samsur dan Buk Maya sudah mulai berubah.
Mumu tak terlalu peduli karena niatnya memang ingin membantu orang yang sakit.
Mumu sudah tak heran lagi dengan kebanyakan sifat orang kaya memang seperti itu.
Hingga saat ini, orang kaya yang Mumu sangat sangat hargai adalah keluarga Pak Surya Atmaja. Sikap mereka sekeluarga sangat luar biasa yang patut diacungi jempol dengan kedua belah tangannya.
Melihat sikap Pak Samsur dan istrinya yang meremehkan orang kebanyakan sehingga Mumu sama sekali tidak ingin menerima pemberian mereka walau pun sebenarnya itu adalah hak Mumu karena telah berhasil mengobati Mala.
...****************...
Saat ini Mumu mengendarai motornya dengan pelan. Ia ingin pulang kampung. Karena besok adalah hari raya Qurban.
Pada awalnya Mumu memang sakit hati dan tersinggung karena telah diberhentikan secara sepihak oleh Bos Akiong itu.
Tapi jika difikir-fikir hal tersebut hanya akan menguras energinya tanpa makna.
Tak ada manfaatnya. Sakit hati itu hanya akan mempercepat proses penuaan saja, apalagi jika terjadi dalam waktu yang lama bahkan akan mengakibatkan terjadinya resistensi insulin yang akan mengakibatkan sakit diabetes.
Tentu saja Mumu tidak ingin seperti itu!
Lagi pula rezeki sudah ada yang mengatur. Sehabis raya nanti Mumu akan kembali mengatur strategi.
Saat memasuki desa Insit, Mumu melihat orang-orang berkerumunan di sebuah lapangan sepak bola.
Awalnya Mumu menyangka ada orang yang sedang jualan atau semacamnya.
Ketika melihat wajah panik mereka, Mumu segera memarkirkan motornya untuk melihat apa yang sedang terjadi.