Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Flashback On
Di dalam ruang kelas kampus setelah jam kuliah berakhir, Zidan, Zahra, dan Alfian masih duduk-duduk sambil mengobrol. Mereka bertiga memang sudah bersahabat sejak semester awal kuliah, saling mengenal dengan baik, hingga merasa lebih seperti saudara daripada teman biasa.
“Ugh! Dasar dosen sialan, aku dapat nilai F!” gerutu Alfian sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Haha, berarti kamu harus ngulang, dong?” sahut Zidan sambil tertawa kecil, mencoba menghibur temannya yang terlihat muram.
“Walaupun kamu ikut ujian ulang, dosen itu pasti bakal kasih kamu nilai F lagi. Makanya dia dijuluki ‘Triple F,’ soalnya nilai kita cuma ‘F’ semua! Mending kamu ambil kelas lain aja,” saran Zahra dengan nada setengah bercanda.
Alfian menghela napas panjang dan memandang mereka berdua. Wajahnya masih tampak masam. “Iya, ya. Kayaknya benar juga. Habis ini aku mau ke perpus, deh, buat cari referensi buku-buku lainnya biar lebih paham.”
“Hah? Apa?!” Zahra langsung menoleh dengan ekspresi kaget, “Ngomong apa kamu?! Hari ini kan kita udah janji mau main! Kok malah mau ke perpus?”
Zidan ikut menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. “Dasar! Kalau udah dapat nilai jelek gitu, langsung kabur ke perpus, ya. Kamu kayak anak-anak aja, Al,” seru Zidan sambil menahan tawa.
Namun, Zahra hanya bisa mendengus kesal setelah menyadari bahwa bangku Alfian sudah kosong. Rupanya dia sudah beranjak keluar ruangan begitu saja tanpa pamit lebih dulu.
Zidan mengenakan tasnya dan berdiri, memandang Zahra yang masih tampak kecewa. “Ya udah, Ra, kita pergi berdua aja, yuk. Nggak usah tunggu si tukang drama itu.”
Zahra tersipu, merasa sedikit aneh dengan ajakan Zidan. Berdua?! batinnya. Meski mereka sering bertemu bertiga, ia tak bisa menahan rasa berdebar yang muncul. Ia akhirnya menjawab, “Oke… Kalau gitu, kita ke kafe yang biasa aja, ya?”
Zidan mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan keluar dari gedung kampus, di bawah sinar matahari sore yang hangat. Dalam perjalanan, tiba-tiba langkah Zahra terhenti saat ia melihat sesuatu di dekat semak-semak pinggir jalan. Mata Zahra langsung tertuju pada sosok kecil yang meringkuk di sana.
“Zidan, sini deh!” panggil Zahra sambil mendekati semak itu.
Zidan mendekat, menatap penasaran ke arah yang Zahra tunjuk. Ternyata ada seekor anak kucing kecil berwarna hitam legam sedang meringkuk, tampak kotor dan lemah.
Zahra berjongkok, menatap kucing kecil itu dengan penuh iba. “Aduh, kasihan banget… Dia pasti kesakitan. Masih kecil, tapi lukanya parah banget. Ini nggak bisa dibiarkan. Kita harus bawa dia ke klinik,” katanya penuh empati, hatinya terasa perih melihat kucing kecil yang tampak terluka itu.
Zidan menatap kucing itu sekilas, lalu mencoba membujuk Zahra. “Kayaknya kucing ini punya pemilik, deh. Bisa jadi dia cuma nyasar. Yuk, kita pergi aja. Pasti nanti ketemu lagi sama yang punya.”
Zahra menoleh cepat ke arah Zidan, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak biasa. “Kalau kita biarin gitu aja, gimana kalau dia kenapa-napa? Dia kan kesakitan! Masa kamu tega ninggalin dia di sini begitu aja?” bantah Zahra.
Zidan menghela napas, tahu betul kalau Zahra sudah memutuskan sesuatu, akan sulit mengubah pikirannya. “Kalau kamu bawa ke klinik, terus gimana? Kamu mau tanggung jawab?”
Zahra menatap Zidan, matanya menunjukkan keteguhan yang jarang Zidan lihat sebelumnya. “Tentu aja! Kalau nggak ada yang mau pelihara dia, aku sendiri yang bakal merawatnya.”
Zidan hanya bisa tersenyum kecil, merasa terkesan sekaligus takjub dengan kepedulian Zahra. “Oke deh, kalau kamu yakin. Tapi nanti kalau dia benar-benar nggak punya pemilik, ya.”
Zahra mengangguk mantap. Ia membungkus anak kucing itu dengan hati-hati menggunakan sweaternya, lalu menatap Zidan. “Ayo, kita bawa dia ke klinik hewan sekarang. Semoga masih ada dokter yang bisa bantu.”
Zidan hanya mengangguk, tahu tak ada gunanya lagi berdebat. Ia mengikuti Zahra yang melangkah dengan penuh semangat dan kepedulian.
----------------
Di Klinik Hewan
Zahra mengelus lembut kepala kucing kecil yang terbaring lemah di pangkuannya. "Ziza, kamu pasti sakit banget ya… Tahan sebentar, ya? Ibu dan Ayah akan segera menjemputmu," katanya, penuh kasih sayang.
Zidan yang mendengar itu bertanya, “Ziza?”
“Iya, nama yang baru aja aku buat untuk dia. Zidan dan Zahra, terus Ziza. Lucu, kan?” jawab Zahra sambil tersenyum senang, menatap gemas ke arah kucing kecil itu.
Zidan menatap dari belakang dan tersenyum hangat.
Keesokan Harinya
Matahari pagi bersinar lembut di taman kampus. Zahra dan Zidan duduk di gazebo, Zidan sibuk dengan laptopnya, sementara Zahra memangku Ziza, kucing yang mereka temukan kemarin. Ziza terlihat tenang, bulu halusnya tampak bersih setelah perawatan di klinik.
“Terima kasih sudah bertahan dengan baik, Ziza. Jangan sakit lagi, ya,” kata Zahra lembut, mengelus bulu kucing itu.
Zidan menoleh, memperhatikan Ziza yang tampak nyaman di pangkuan Zahra. “Kayaknya dia suka banget sama kamu,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
“Iya, kan?” Zahra tertawa kecil. “Kamu mau coba gendong? Dia lucu banget, loh.” Zahra mengulurkan Ziza ke arah Zidan.
Zidan tersentak dan buru-buru menggeleng. “Nggak usah deh,” tolaknya cepat.
Zahra tersenyum kecil dan kembali memangku Ziza. “Mungkin, ada orang yang sedih karena aku bawa Ziza. Tapi aku nggak bisa biarin dia begitu saja,” gumamnya, suaranya terdengar sedikit sendu. Zidan hanya diam, menyimak kata-katanya.
“Mulai sekarang, aku akan merawat dia supaya dia nggak kesepian.” Zahra menatap Ziza dan tersenyum getir. “Sama kayak kamu, Zidan.”
Zidan menautkan alis, bingung dengan maksud ucapan Zahra.
Zahra menatapnya dalam-dalam, bibirnya tersenyum tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Aku cuma pengen terus ada di sisimu… supaya kamu nggak merasa kesepian,” ucapnya lirih.
Zidan langsung terdiam. Ia menatap laptopnya, tapi jari-jarinya berhenti mengetik. Ada perasaan yang tiba-tiba menyeruak di dadanya, tapi ia tak tahu bagaimana menanggapinya.
Dengan suara pelan, ia hanya bisa berkata, “Maafkan aku, Ra…”
Zahra tertegun, lalu mencoba tersenyum. “Haha… nggak apa-apa, kok. Kita kan nggak harus punya perasaan yang sama,” katanya, berusaha terdengar ceria meski senyum di wajahnya menyimpan sedikit kesedihan.
Zidan merasa canggung, merasakan betapa sulitnya momen itu bagi Zahra. Ia tahu Zahra pasti sangat malu dan sedih saat ini.
Ia menghela napasnya pelan, lalu berdiri. “Aku pergi duluan ya, Ra.”
Zahra mengangguk, tatapan lembutnya mengikuti Zidan yang perlahan berjalan menjauh.
“Zidan… kalau suatu hari kamu ingat Ziza, temui aku, ya?”
Zidan menoleh sebentar, mengangguk dengan senyum tipis. Namun begitu ia berbalik, ekspresinya berubah menjadi dingin, seolah berusaha menutup perasaannya.
Aku takut… kehidupanku yang sudah lama tertutup akan dimasuki oleh orang lain, batinnya.
................
Flashback off
Setelah menerima titipan kucing dari Zahra, Zidan termenung memandangi kucing itu.
Walaupun aku sudah menolaknya, dia masih berputar di sekitarku. Batin Zidan berbisik. Seolah yang dia pikirkan bukan hanya soal kucing ini, tapi juga Zahra.
................
Di sisi lain, Zahra sedang duduk bersama Alfian di sebuah kafe.
“Kamu akan pindah Minggu ini?” tanya Alfian sambil menyeruput minumannya.
“Bukan pindah, sih. Cuma untuk sementara waktu aku tinggal di rumah adikku. Aku sibuk banget, jadi nggak ada yang memperhatikan makanku…” jawab Zahra.
“Terus, gimana dengan kucingmu?” Alfian bertanya lagi, penasaran.
“Adikku alergi kucing, jadi sementara aku titipin ke Zidan,” balas Zahra.
“Apa?! Harusnya kamu titipin ke aku! Kenapa malah kamu titipkan ke manusia berdarah dingin itu?” ucap Alfian, terlihat lesu.
Zahra tertawa kecil. “Kamu kan punya roommate, jadi pasti ribet,” sahutnya.
Sejenak, Zahra tampak merenung. “Dia akan baik-baik saja kok, biar cuek begitu tapi dia peduli,” gumamnya pelan, meski pikirannya tampak melayang jauh.
Flashback on
Klinik hewan
“Zahra melambai ke arah Ziza, kucing kecil yang kini duduk tenang di balik pintu kaca klinik. "Ziza, ibu datang. Gimana kabarmu?" tanyanya dengan senyum hangat, seolah berbicara pada anaknya sendiri.
Namun, senyumnya memudar ketika ia berbisik pelan, “Ayahmu sok sibuk sendiri. Dia sama sekali nggak menjengukmu,” ucapnya dengan nada sedih saat melangkah menuju meja kasir.
Setibanya di sana, Zahra menghela napas sebelum berkata, "Saya mau bayar biaya perawatannya. Berapa totalnya, ya?"
Kasir tersenyum ramah dan menjawab, "Eh? Biayanya sudah dibayar, Kak."
Zahra terdiam sejenak, kaget. "Sudah dibayar?" ulangnya, merasa bingung.
"Iya, laki-laki yang waktu itu datang bersama Kakak, tadi siang sudah membayar lunas biaya perawatannya," jelas kasir tersebut.
Zahra tertegun. Bayangan Zidan muncul di pikirannya. Tanpa ia sadari, lelaki itu diam-diam telah membantu, bahkan setelah semua yang terjadi di antara mereka.
Flashback off
Ada yang bilang kalau waktu adalah obat. Tapi bagiku, waktu hanya berlalu begitu saja, seolah menjadi pengingat luka yang tak kunjung sembuh, pikir Zahra sambil tersenyum getir, mengenang masa-masa itu.
Ia menatap kosong ke arah keramaian kafe, tapi pikirannya tertinggal pada kenangan itu. Sesuatu di dalam dirinya terasa hilang, seperti harapan yang ia gantungkan pada hubungan yang tak pernah mencapai akhir bahagia.