Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Diambang perpisahan
Hari-hari setelah pertengkaran besar itu terasa seperti neraka. Alya memilih kembali ke Surabaya lebih awal, sementara Rayhan tetap larut dalam pekerjaannya di Jakarta. Hubungan mereka membeku. Telepon jarang diangkat, pesan sering tidak dibalas, dan ketika mereka berbicara, nada bicaranya selalu dingin.
Suatu malam, Rayhan duduk sendirian di apartemen mereka. Buku diary pernikahan itu masih tergeletak di meja, terbuka di halaman yang kosong. Perlahan, Rayhan membuka halaman sebelumnya dan membaca tulisan Alya yang ditulis beberapa bulan lalu:
"Hari ini Rayhan bilang aku adalah alasan dia pulang ke rumah. Aku bahagia banget, semoga aku bisa selalu jadi tempat dia pulang."
Rayhan menutup buku itu dengan cepat, dadanya terasa sesak. Rasa bersalah mulai merayapi pikirannya.
---
Sementara itu, di Surabaya, Alya juga tidak bisa tidur. Ponselnya berkali-kali menyala dengan pesan dari Rayhan, tapi dia terlalu lelah untuk merespons. Dalam hatinya, ia tahu Rayhan mencoba memperbaiki keadaan, tapi rasa kecewanya masih terlalu besar.
Dia berjalan ke balkon apartemennya, memandangi langit malam yang kelam. Di tangannya, cincin pernikahan mereka berkilauan di bawah cahaya lampu kota.
“Haruskah aku menyerah?” pikir Alya, matanya mulai berkaca-kaca.
Namun, sebelum pikirannya larut lebih jauh, ponselnya berdering. Nama Rayhan muncul di layar. Setelah beberapa detik ragu, Alya akhirnya mengangkatnya.
“Alya,” suara Rayhan terdengar serak. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi aku cuma mau bilang kalau aku nyesel.”
Alya terdiam.
“Aku nyesel udah bikin kamu ngerasa nggak dihargai. Aku tahu aku salah, dan aku mau kita nggak kayak gini terus. Aku mau kita balik kayak dulu,” lanjut Rayhan, suaranya bergetar.
Air mata Alya mulai jatuh. “Aku juga capek, Ray. Aku capek berantem terus sama kamu. Aku capek ngerasa kayak aku nggak cukup baik buat kamu.”
“Kamu nggak pernah kurang, Alya. Aku yang salah. Aku janji bakal berubah. Tapi aku butuh kamu percaya sama aku, sama kita,” pinta Rayhan tulus.
Malam itu, obrolan panjang mereka menjadi langkah pertama untuk memperbaiki hubungan yang retak. Meski masih ada luka, keduanya sepakat untuk mencoba lagi.
---
Namun, seperti kehidupan yang tidak pernah benar-benar tenang, badai baru sudah menunggu di ujung jalan.
Pagi itu, Rayhan menerima surat dari kantor yang mengharuskannya dipindahkan ke Bandung selama enam bulan. Alya, yang baru saja mulai percaya bahwa hubungan mereka akan membaik, kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa jarak sekali lagi akan menjadi musuh terbesar mereka.
“Kita bisa jalani ini, kan?” tanya Rayhan, mencoba menenangkan Alya.
Alya hanya menatapnya, mencoba mencari keyakinan di mata suaminya. Tapi dalam hatinya, dia bertanya-tanya, seberapa kuat cinta mereka mampu menahan semua ini?
---
Kepindahan Rayhan ke Bandung membawa perubahan besar dalam rutinitas mereka. Jarak yang lebih jauh membuat komunikasi mereka semakin sulit. Meski berjanji untuk tetap saling memberi kabar, kesibukan dan kelelahan sering menjadi alasan untuk tidak melakukannya.
Alya terbangun suatu malam, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Ponselnya sepi—tidak ada pesan dari Rayhan. Biasanya, meski sibuk, Rayhan selalu menyempatkan diri untuk sekadar mengirim pesan "selamat malam." Tapi belakangan, pesan-pesan itu semakin jarang datang.
Dia meraih ponsel dan mencoba menelepon Rayhan, tapi tidak ada jawaban. Pikiran buruk mulai menghantui benaknya, tapi dia menepisnya dengan mencoba berpikir positif.
“Dia pasti sibuk,” gumamnya pada diri sendiri, meski hatinya tidak yakin.
---
Di sisi lain, Rayhan juga menghadapi tekanan berat di Bandung. Proyek besar yang ditanganinya membuatnya sering pulang larut malam. Suatu malam, saat selesai meeting, ia duduk di kursi kantornya sambil memegang ponsel.
"Harusnya aku telepon Alya," pikirnya. Tapi kelelahan mengalahkan niat itu, dan akhirnya ia tertidur di sofa kantor tanpa sempat menghubungi istrinya.
Hari-hari seperti ini terus berulang, membuat hubungan mereka terasa semakin jauh.
---
Masalah mulai memuncak ketika Alya menerima pesan dari seorang rekan kerja Rayhan di Bandung.
“Alya, kamu tahu nggak kalau Rayhan sering makan malam bareng Mbak Karin? Mereka keliatan deket banget akhir-akhir ini,” bunyi pesan itu.
Alya terdiam membaca pesan itu. Karin adalah salah satu rekan kerja Rayhan yang pernah dikenalnya secara singkat saat pernikahan mereka. Alya mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus dipenuhi bayangan buruk.
Ketika malam tiba, Alya akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menelepon Rayhan. Setelah beberapa kali dering, Rayhan akhirnya mengangkat.
“Halo, Alya. Ada apa?” suaranya terdengar lelah.
“Ray, aku mau tanya sesuatu. Kamu sering bareng Karin di sana?” Alya langsung to the point.
Rayhan terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Karin? Dia cuma rekan kerja, Alya. Kami memang sering kerja bareng karena dia tim aku di proyek ini.”
“Tapi kenapa aku baru tahu soal ini? Kamu nggak pernah cerita,” suara Alya mulai gemetar.
“Alya, aku sibuk. Nggak mungkin aku cerita semua detail soal kerjaan aku,” balas Rayhan, nadanya mulai meninggi.
“Itu bukan alasan, Ray! Aku cuma mau tahu, aku cuma butuh kamu jujur!”
“Aku udah jujur, Alya. Kalau kamu nggak percaya, itu bukan salah aku.”
Malam itu, telepon mereka berakhir dengan ketegangan yang semakin memperburuk keadaan.
---
Di tengah semua ini, Rayhan mulai merasa lelah dengan kecurigaan Alya. Dia tahu tidak ada yang salah dalam hubungannya dengan Karin, tapi perhatian dan kehadiran Karin di tengah tekanan kerja membuatnya merasa lebih dihargai.
Sementara itu, Alya mulai mempertanyakan apakah keputusan mereka untuk menikah terlalu tergesa-gesa. Dia mencintai Rayhan, tapi dia juga merasa semakin tidak dihargai dalam hubungan ini.
---
Setelah pertengkaran hebat itu, Rayhan dan Alya menyadari bahwa hubungan mereka tidak bisa terus-terusan terombang-ambing oleh keraguan dan ketegangan. Mereka tahu, jika ingin hubungan mereka bertahan, mereka harus berusaha lebih keras.
Satu minggu setelah pertengkaran mereka, Rayhan kembali ke Jakarta untuk liburan akhir pekan. Kali ini, dia benar-benar berniat untuk memperbaiki semuanya.
Alya sedang duduk di ruang tamu ketika Rayhan pulang. Wajahnya lelah, tapi ada tekad yang terlihat di matanya.
“Alya...” Rayhan memulai, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku minta maaf. Aku tahu aku udah banyak bikin kamu ngerasa nggak dihargai, dan itu salah.”
Alya menatapnya, matanya masih terlihat sedikit meredup. “Aku juga minta maaf. Aku terlalu curiga dan nggak percaya sama kamu. Aku takut kehilangan kamu, Ray.”
Rayhan mendekat, duduk di sampingnya. “Kita semua pernah salah. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah berhenti berusaha buat kita. Aku sayang kamu, Alya.”
Alya menunduk, menahan air mata. “Aku juga sayang kamu, Ray. Tapi aku nggak tahu lagi kalau kita terus begini. Kita udah terlalu jauh, nggak sih?”
Rayhan menggenggam tangan Alya, memegangnya erat. “Jangan bilang gitu. Kita bisa mulai lagi. Kita bisa jalani hidup baru, mulai dari awal, tanpa kebohongan dan kecurigaan.”
---
Setelah pembicaraan itu, mereka sepakat untuk mencoba menjalani hidup baru. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi ketegangan yang tak perlu. Mereka mulai memperbaiki komunikasi, berbicara lebih terbuka tentang perasaan dan harapan masing-masing.
Alya mulai lebih sering mengunjungi Rayhan di Bandung, sementara Rayhan berusaha menyisihkan waktu lebih banyak untuknya di Jakarta. Meski mereka tahu bahwa pekerjaan tetap menjadi bagian besar dalam hidup mereka, keduanya berusaha untuk tidak melupakan pentingnya saling mendukung.
Mereka mulai menikmati kebersamaan mereka lagi, meskipun dengan cara yang berbeda. Terkadang, mereka pergi berdua untuk makan malam sederhana, atau sekadar berjalan-jalan santai di taman kota, menikmati momen yang dulu sering terlewatkan karena kesibukan masing-masing.
Pada suatu sore, mereka duduk di tepi pantai, menikmati udara laut yang sejuk.
“Ray, kita bisa bertahan, kan?” tanya Alya, matanya memandang laut yang luas.
Rayhan tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya. “Kita pasti bisa, Alya. Asal kita terus berusaha, nggak ada yang nggak mungkin.”
Alya tersenyum kecil, merasa ada sedikit harapan yang tumbuh kembali dalam hatinya. Mungkin, mereka bisa membangun kembali apa yang pernah retak.
---
Tapi, meski mereka berdua berusaha, hidup tidak pernah semudah itu. Ada kalanya pertengkaran kecil kembali muncul, atau kadang rasa cemas dan ragu datang tanpa diundang. Namun, kali ini mereka tahu bahwa yang terpenting adalah bagaimana mereka menghadapi semuanya bersama.
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁