Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Suara ikan asin digoreng
Dewi mengetahui semua harga-harga bahan baku restoran berbintang. Dengan diskon 50% saja, penikmat kuliner sudah sangat beruntung dapat merasakan masakan chef Michelin yang kaya akan nutrisi.
Apalagi dapat reward gratis. Dewi mengelus perutnya yang kekenyangan. Setiap menu porsi jumbo, meskipun hampir tidak sanggup rasa mubazir kalau tidak dihabiskan.
Ada rasa malas mau kembali ke hotelnya karena harus bertemu dengan pasangan Arman Dita. Yang paling tidak masuk akalnya bukanlah pengkhianatan Arman, karena laki-laki kebanyakan memang otaknya selingkuh. Bisa jadi jenuh karena hubungan yang terlalu lama jadi terbit rasa bosan.
Tapi si Dita?
Seandainya saja dia orang lain bukan adik kandung Dewi yang lemah jantung, memang harus dibantai dulu barulah hati puas.
"Apakah reward gratis dapat fasilitas menginap juga?" Dewi menatap Alan.
Pupil Alan melebar. "Kamu mau menginap?"
Dia sudah terlanjur jatuh cinta dengan kamar ini. "Bolehlah kalau gratis, hehe." Dewi tersenyum canggung.
Alan meneguk mineral water di gelasnya sebelum berkata, "Kalau pelayan datang kita tanya saja."
"E eh, bercanda. Apaan sih, kamu! Serius amat!" Dewi tiba-tiba malu menyadari sesuatu. Dia cemberut untuk menutupi gengsi. Masa orang terkaya 50 besar ibu kota norak kayak dirinya, dikasi hati minta jantung.
Tentu saja Alan tidak berharap Dewi bercanda. Meskipun dia belum mempersiapkan diri dengan hal intim, harus ada langkah awal. Kalau jual mahal, bagaimana bisa maju suatu hubungan yang kaku. "Kalau memang gratis bukankah akan rugi kalau tidak diambil. Kesempatan baik tidak akan datang dua kali," ujar Alan.
Kalau harus bayar, entah kapan dia rela menggelontorkan uang untuk bersenang-senang. Apalagi dia akan menganggur tidak lama lagi. "Baiklah, ya dah kamu tanya deh!" Dewi senang Alan mendukungnya.
"Habiskan makannya baru kita panggil waitress."
Dewi deg degan membayangkan tidur sekamar berdua dengan Alan, padahal belum resmi menikah. Semoga dia tidak salah paham. Hanya berbaring, masing-masing di satu sisi, tidak melewati batas antara Utara dan Selatan.
Malam ini benar-benar anugerah bagi Dewi. Setelah tadi siang dia seperti disambar petir saat Arman memutuskan hubungan demi menikahi Dita, syukurlah masih ada hal baik.
Selesai makan, Alan ke sudut ruangan dimana ada satu meja belajar diletakkan disana. Dia meraih gagang telepon pura-pura memangil layanan kamar, padahal menekan ear peace di telinganya menghubungi Willie.
.
Dewi dan Alan sedang duduk di sofa menonton acara di televisi, melihat kedatangan Willie keluar dari lift.
Waitress itu menghitung waktu, belum satu jam dia menunggu di depan lift lantai basement, makanan di meja telah bersih disantap.
"Bapak dan ibu sudah selesai makan maka saya akan bereskan agar tidak menggangu pemandangan," kata Willie.
Dewi menyenggol Alan, "Cepat tanya," bisiknya.
"Sabar," jawab Alan.
Dengan cekatan Willie membenahi peralatan makan, meja antik itu pun telah dilap bersih pakai disinfektan yang wanginya seperti aroma parfum Gucci.
Nah, ini bau Alan hari ini. Dewi menoleh ke pria di sampingnya. Kenapa bau Alan seperti aroma pembersih meja makan? Dia mengerut kening, tapi tidak berani bertanya. Khawatir pria itu minder jatuh air muka merasa terhina.
"Willie," panggil Dewi pada waitress yang sibuk sendiri itu. Dia benar-benar penasaran, "Apakah parfum di buffet itu semuanya original?"
"Tentu saja," jawab Willie.
"Ah!"
"Satu botol parfum harga milliaran dipajang di kamar tamu! Ada berapa botol kamu pernah hitung?" Dewi tak percaya tatapan meremehkan.
Karena dia ditugaskan khusus mengurus kamar Big bos, tentu saja dia tau setiap inci sudut ruangan ini. Tapi apa yang harus dijawab, ini tidak ada dalam pembahasan. Baiklah, sebagai anggota Two D, dia dituntut bersikap profesional dalam segala situasi. Reward gratis satu malam, artinya semua fasilitas juga gratis satu malam. "Semuanya 120 botol, gratis digunakan sudah termasuk dalam reward. Tapi kalau dibawa pulang akan ditagih seharga berapa botol dia mau ambil," jawab Willie.
"Oh! Ruangan ini berapa kali pernah dibooking? Kalau sudah berkali-kali, apakah kamu sadar kalau parfum telah berkurang jumlahnya?"
Ini kamar si bos. Siapa yang berani masuk tanpa ijinnya. Kalau ada barang yang hilang artinya aku yang curi, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Willie menatap Alan yang acuh seolah mereka tidak saling mengenal. "Belum ada yang booking sama sekali, Bu. Ibu adalah orang pertama yang beruntung," jawabnya.
"Ah." Dewi menyenggol Alan, tersenyum malu-malu.
"Hm, umur berapa kamu masih bertingkah imut." Alan memandang Dewi dengan tanda tanya diwajahnya.
Hehe. "Tanyakan yang tadi," bisik Dewi.
Sebelum datang, dia telah di WA terlebih dahulu untuk menyampaikan pesan sebelum ditanya. Willie pikir inilah saatnya, maka sebelum Alan membuka mulutnya dia berkata. "Oh iya, malam sudah hampir larut. Jika bapak dan ibu mau menginap untuk satu malam ini masih tidak akan dipungut biaya. Tapi malam seterusnya akan ditagih dengan harga normal," kata Willie dengan mulut mencibir memandang Alan. Belum nikah si bos udah gak sabaran.
Mendengar kata pelayan, tentu saja Alan jadi tidak perlu bertanya. Dewi yang tidak percaya dengan pendengarnya hampir melompat kegirangan. "Kebetulan saya ngantuk habis makan kenyang. Baiklah, saya akan tidur dulu." Dia berdiri dari sofa, dengan cepat berjalan masuk ke kamar. Jangan sampai waitress berubah pikiran.
Ah!
Willie memandang Alan, menyeringai. "Selamat malam, Bos. Have a night sleep." Dia hendak bergegas pergi.
"Tunggu!" Alan
"Ada apa lagi?" Willie.
Hm, Alan menggeram mengeluarkan suara seperti seekor binatang buas.
Willie ketakutan, "Hehe, ada lagi yang harus saya kerjakan bos?" Dia menciut seperti seekor monyet yang takut dimangsa Anakonda.
"Minta Hiro membawa pakaian saya dan Ibu Dewi serta semua peralatan untuk kebutuhan harian!" titah Alan.
"Ada spesifikasinya, Pak?" tanya Willie.
"Katakan pada Hiro, Dewi menginap di kamar saya malam ini. Dia akan tau apa yang harus dilakukan."
"Baik, siap! Laksanakan." Willie melirik sekilas Dewi yang berguling-guling di kasur, seolah dia bukan orang yang biasa dengan kemewahan. 'Bukankah dia juga orang kaya tapi kok norak.'
.
.
Dewi bangun dari kasur karena ingin buang air kecil, seketika dia menyesal kenapa harus menginap. Bukankah Alan akan melihatnya menurunkan celana dalam? Betapa segan nya dia datang menghampiri Alan. "Alan, aku mau buang air."
Seketika Alan merasa ambigu, apakah buang air juga harus melapor padanya. Kan jadi mikir kesana. Alan yang sedang mengikuti berita internasional di televisi menjawab acuh tak acuh meski jantungnya berdebar lebih kencang tiba-tiba. "Itu kan ada toilet."
Dewi tak tau harus menangis atau tertawa atas kecerobohannya. "Dengan kaca tembus pandang kamu akan melihatnya dari sini dan itu tidak sopan," katanya.
Alan sudah tau akan terjadi hal seperti ini. Tapi karena Dewi mau sendiri, apakah dia tidak boleh senang? Maka Alan menggodanya dengan tatapan genit, "Besok kita akan menikah apanya yang tidak sopan. Lagipula toilet jauh dipojok belakang, tidak akan terlihat kalau tidak menoleh?"
Ck, benar juga tapi tetap saja. Kenapa kaca-kaca ini tidak dipasang gorden, sih! Dewi menggerutu. Bukannya belum pernah dia buang air dilihat oleh pria dewasa. "Baiklah, jangan menoleh ngerti!"
"Ngerti," jawab Alan cepat. Bukankah bisa terlihat dari pantulan cermin, pria itu menarik ujung bibirnya.
"Tutup telinga pakai headset!" ketus Dewi di belakangnya. Alan terkejut, "kirain sudah pergi." Dia takut Dewi menyadari ekspresinya yang cabul. "Kenapa?"
Dewi bertemu tatapan dengan Alan yang mendongak padanya dengan raut keberatan. "Apa kamu ingin mendengar bagaimana bunyi ikan asin digoreng?"
Apa hubungannya, "Kenapa jadi nanya ikan asin goreng. Kamu masih lapar?"
Ck, gak peka banget sih! Dewi tentu saja tidak mau suara kencingnya terdengar oleh Alan. "Pokoknya tutup telinga!" Memang ada headset gaming bluetooth yang tersedia disitu, Dewi mengambilnya kemudian memberinya pada Alan.
Dengan berat hati Alan memakainya.
__________