Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Jenderal Kan'an
Siti Adawiyah berceloteh. "Ketika Panglima keluar aula, Panglima terus menggandeng tanganku. Ini menyebabkan aku menjadi sorotan publik. Semua wanita yang melihat ini merasa iri dan banyak dugaan dari mereka."
Asrul menggelengkan kepalanya. "Di aula tadi bukankah engkau tahu sendiri betapa rumitnya permasalahan yang dibahas. Tetapi engkau malah hanya memikirkan pendapat para wanita."
Siti Adawiyah menjawab. "Panglima, engkau memiliki jabatan yang tinggi. Semua pejabat di istana ini tidak ada yang berani kepadamu. Sementara aku adalah wanita biasa, tidak mungkin bisa ikut campur urusan pejabat tinggi seperti kalian. Seandainya aku memiliki kemampuan, pastilah mulut wanita tua itu akan aku sobek-sobek."
Asrul tersenyum mendengar perkataan Siti Adawiyah. Siti Adawiyah melihat Asrul tersenyum, sangat bahagia.
"Wow!.. Panglima, engkau tersenyum.. Sudah lama aku tidak melihat Panglima tersenyum."
Asrul menjawab. "Apakah engkau berusaha menghiburku?"
Siti Adawiyah menjawab. "Tidak, tidak. Aku hanya menghibur diriku sendiri. Aku hanya sakit hati ketika Panglima difitnah. Seandainya aku memiliki kemampuan, aku pasti akan memarahi Sa'diyah wanita tua itu."
Siti Adawiyah mulai berkicau. "Memang sebenarnya aku begini orangnya. Cerdas, lincah, banyak bicara, tetapi Panglima terlalu sibuk sehingga tidak menyadarinya."
Setelah diam beberapa saat, Asrul meminta Siti Adawiyah untuk meninggalkannya.
"Sekarang engkau boleh pergi."
Siti Adawiyah terkejut. "Apakah Panglima tidak ingin aku menemani Panglima?"
Asrul tidak menjawab pertanyaan Siti Adawiyah. Lalu Siti Adawiyah pamit.
"Kalau begitu aku pamit, Panglima. Jangan lupa makan obat. Aku telah mempersiapkan handuk untuk Panglima gunakan jika ingin mandi."
Siti Adawiyah kemudian pergi, tidak menoleh kebelakang lagi.
Asrul tidak mengomentari perkataan Siti Adawiyah.
Sesampainya Siti Adawiyah di kamarnya, Surti telah menunggu. Dia sudah tidak sabar untuk bercerita dengan Siti Adawiyah.
"Siti Adawiyah. Akhirnya engkau pulang juga. Bagaimana keadaan Panglima? Aku telah mendengar berita tentang nyonya Sa'diyah dari keluarga Jahal. Dia sangat picik! Seandainya aku ada disana, seandainya aku adalah seorang pria, seandainya aku memiliki keberanian untuk bertindak dihadapan Khalifah Taimiyah, aku akan memaki-maki wanita tua itu! Huh! Sebal sekali aku mendengar ucapannya."
Siti Adawiyah menenangkan hati Surti. "Panglima orangnya sangat cerdas dan berwibawa. Beliau tentu bisa mengatasi permasalahan itu. Sedangkan kita bukanlah siapa-siapa, kita hanya bisa mengutuk wanita tua itu."
Sementara itu di kediaman keluarga Jahal, Jenderal Kan'an menemui ibunya.
"Ibu, aku datang menghadap."
Sa'diyah masih terlihat marah kepada Jenderal Kan'an.
"Kan'an, apakah engkau masih peduli dengan ibu?"
Kan'an menjawab. "Tentu saja ibu."
Sa'diyah menghela nafasnya. "Jika engkau masih peduli dengan ibu, kenapa engkau masih membela Asrul?"
Kan'an membungkukkan badannya. "Ibu tenanglah."
"Jika engkau masih peduli dengan ibu, engkau harus segera meninggalkan Asrul."
Kan'an berusaha menjelaskan. "Bagaimanapun itu adalah peperangan. Semua itu bukan salah Panglima Jenderal Asrul."
Sa'diyah berdiri dengan marah. "Bukan salahnya? Jadi, salah siapa? Kamu juga adalah Jenderal negeri akhirat. Tentu engkau mengerti. Tidak pernah terjadi ketika semua pasukan tewas, tetapi panglimanya selamat. Bahkan jasadnya tidak diketemukan. Nyawa seorang Panglima penting. Apakah berarti nyawa ribuan prajurit tidak penting? Apakah nyawa anak kesayangan ibu tidak penting? Dia fikir dengan bersembunyi di jurang neraka selama puluhan tahun maka masalahnya akan selesai? Dia bisa terus bermimpi. Jarum Penusuk Jantung milik Abu Jahal ternodai oleh pengaruh Iblis. Itu pernyataan yang tidak masuk akal yang telah disampaikan oleh Jenderal Ali.
Lambat laun Khalifah Taimiyah tidak bisa lagi menyelamatkan dia. Nanti akan terlihat sifat buruknya. Ibu beritahu sesuatu. Jangan lagi membela Asrul. Atau jika tidak, jangan pernah kembali untuk menemui ibu."
Setelah Sa'diyah meninggalkan gedung pemakaman Jenderal Abu Jahal, Jenderal Kan'an memperhatikan Jarum Penusuk Jantung dan dilihatnya dibawah Jarum Penusuk Jantung itu ada secarik kertas yang merupakan pesan dari Jenderal Abu Jahal sebelum mati.
Surat itu dibacanya. "Kami berhasil mengalahkan kekuatan Iblis. Kami sangat beruntung telah dipimpin oleh Panglima Jenderal Asrul. Yang saya sesali adalah kami tidak mampu menghindari pengaruh Iblis yang merasuki tubuh kami.
Jika waktu bisa kembali, kami akan menghindari asap hitam itu bagaimanapun caranya."
Beberapa saat kemudian Jenderal Kan'an keluar gedung dan ternyata Abu Lahab, saudara sepupu Jenderal Kan'an sudah lama menunggunya. Lalu dia mendekati Jenderal Kan'an dan berkata.
"Apakah engkau telah memikirkannya? Ketahuilah. Selama ribuan tahun keluarga Jahal telah berjasa terhadap negeri akhirat. Bahkan keluarga Jahal dianggap oleh Khalifah Taimiyah sebagai Pedang negeri akhirat. Apakah engkau ingin menghapus posisi keluarga Jahal di negeri akhirat? Apakah engkau ingin keluarga Jahal seperti keluarga Pulau Es Utara yang tidak diperhatikan? Engkau akan dikucilkan bahkan kesaktian kamu akan disegel. Aku sangat mengenalmu. Sekarang engkau merasa bimbang."
Jenderal Kan'an menyodorkan selembar kertas yang merupakan pesan dari Jenderal Abu Jahal.
"Surat ini akan menjelaskan bahwa Panglima Jenderal Asrul tidak bersalah."
Abu Lahab meyakinkan Jenderal Kan'an. "Engkau mungkin akan tetap membela Panglima Jenderal Asrul. Engkau mungkin bisa menerimanya.Tapi apakah ibumu juga demikian? Apakah keluarga Jahal juga bisa menerimanya? Jika engkau melakukan hal itu, engkau tidak akan pernah bertemu dengan Panglima Jenderal Asrul lagi."
Jenderal Kan'an menatap tajam.
Abu Lahab kembali meyakinkan.
"Engkau tidak perlu menatapku seperti itu. Aku mengetahui isi hatimu. Panglima Jenderal Asrul adalah orang nomor dua di negeri akhirat. Beliau juga adalah murid nomor satu dari guru Gus Mukhlas. Jika beliau ingin menjelaskan sesuatu, beliau tidak memerlukan bukti. Karena beliau bisa menanggung akibatnya demi melindungi keluarga Jahal. Tapi keluarga Jahal tidak bisa menanggung akibatnya jika dia menunjukkan bukti tersebut. Kamulah yang menentukan nasib keluargamu."
Jenderal Kan'an menanggapi.
"Jika aku tidak bisa mengendalikan diri, Panglima Jenderal Asrul akan membantuku. Aku tidak akan memperlakukan hal yang memalukan nama baik keluargaku."
Setelah mengatakan demikian, Jenderal Kan'an membakar surat yang berisi pesan Jenderal Abu Jahal. Padahal kertas itu adalah satu-satunya petunjuk untuk membuktikan bahwa Panglima Jenderal Asrul tidak bersalah."
Setelah membakar surat itu, Jenderal Kan'an meninggalkan Abu Lahab.
Sementara di Pulau Es Utara, penasehat kerajaan sedang berbicara dengan ratu.
"Keluarga Jahal tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka akan tinggal nama saja. Keluarga Jahal adalah bagian dari keluarga di negeri akhirat. Kita tidak bisa membuat keluarga Jahal dihapus. Pulau Es Utara harus menyelesaikan perselisihan dengan negeri akhirat. Walaupun keluarga Jahal akan dihapus, kita tidak bisa membiarkan mereka mati tanpa alasan yang jelas."
Bion kemudian menjawab. "Aku mengerti, ratu. Aku akan segera melaksanakannya."