Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Malam itu, udara terasa berat dan lembab di dalam bangunan tua yang mereka temukan. Dindingnya kusam dan berlumut, sementara kaca-kaca jendela yang pecah membiarkan angin dingin masuk, membawa serta aroma kematian yang menyelimuti kota. Cahaya bulan remang-remang masuk melalui celah-celah jendela, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di lantai berdebu. Langit hitam di luar penuh dengan keheningan mencekam, hanya diselingi oleh geraman zombie di kejauhan.
Aisyah dan Delisha menyelinap masuk ke dalam gedung, napas mereka terengah-engah, dada mereka naik turun karena kelelahan. Mata Aisyah liar, mencari-cari ancaman di setiap sudut, sementara Delisha dengan cepat menutup pintu di belakang mereka, seolah berharap pintu itu bisa melindungi mereka dari kengerian di luar.
“Delisha, kita... kita berhasil masuk," Aisyah berbisik, tangannya masih gemetar. "Tapi... apakah tempat ini benar-benar aman?” Matanya berkeliaran, melihat ke ruangan-ruangan gelap yang seolah bersembunyi di balik kegelapan.
Delisha, yang selalu terlihat lebih tegar, mengusap peluh di dahinya. "Aku tak tahu, Aisyah... tapi ini lebih baik daripada di luar sana," jawabnya dengan suara rendah namun mantap. Namun dalam hatinya, ia merasakan kepanikan kecil. "Seberapa lama kita bisa bertahan di sini?" pikirnya. “Kita harus memeriksa seluruh ruangan,” tambah Delisha sambil melangkah lebih dalam, langkahnya mantap meskipun ada ketegangan yang terasa di udara.
Mereka memeriksa satu ruangan demi ruangan, menemukan reruntuhan dan benda-benda yang hancur di mana-mana. Bangunan ini terasa seperti kuburan, ditinggalkan oleh pemiliknya sejak lama, hanya menyisakan kesunyian yang mencekam.
Tiba-tiba, Aisyah menendang sesuatu yang keras. Sebuah radio tua yang tergeletak di bawah meja kayu yang hampir roboh. Dia memungutnya dengan tangan gemetar, lalu menatap Delisha. "Delisha, lihat! Mungkin ini masih berfungsi!"
Delisha mendekat, tatapannya penuh harapan yang terpendam. "Coba hidupkan. Kita butuh tahu apa yang terjadi di luar sana." Napasnya terdengar lebih cepat, namun dia menahan kegugupan itu dengan kuat.
Suara statis memenuhi udara ketika Aisyah memutar tombol radio tersebut. Sejenak tidak ada yang terdengar selain suara berdesis, namun tiba-tiba sebuah suara pria yang serak dan lelah mulai terdengar, sangat samar.
“Kota... infeksi... menyebar... laboratorium rahasia..." suara itu bergetar, membuat bulu kuduk Aisyah dan Delisha merinding. "Beberapa laporan menunjukkan infeksi ini berasal dari sebuah eksperimen yang gagal... atau mungkin sesuatu yang lebih gelap." Suaranya putus-putus, teredam oleh statis, namun tetap menghantui.
Aisyah menatap Delisha, matanya melebar penuh ketakutan. "Eksperimen? Maksudnya... ini semua direncanakan?"
"Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Aisyah bergolak. Tangan Aisyah mulai berkeringat, jari-jarinya yang menggenggam radio mulai bergetar. “Jika ini benar... berarti ada yang sengaja menciptakan semua ini,” gumamnya dengan suara pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri. Hatinya semakin tenggelam dalam ketakutan.
Delisha, meskipun tampak lebih tenang, jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang bisa melakukan ini?" pikirnya. Matanya menyipit, menatap radio dengan intensitas yang tidak biasa. "Kita tidak bisa hanya duduk di sini, menunggu jawaban," ucapnya tegas, meski pundaknya tegang.
Tepat ketika mereka mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba suara penyiar terputus, meninggalkan suara statis yang memekakkan telinga. Delisha mencoba memutar-mutar tombol, mencari kembali sinyal, tapi tak ada yang kembali, hanya sunyi yang membingungkan.
“Delisha, kenapa terputus?" Aisyah mulai panik, mencoba mengambil alih tombol radio. "Kita harus tahu lebih banyak!”
Namun, sebelum mereka bisa melakukan apa-apa, suara langkah kaki berat terdengar dari luar. Aisyah terdiam, tubuhnya membeku, dan dia menyadari suara itu semakin dekat. Geraman aneh mengikuti langkah-langkah itu, menyayat keheningan di dalam gedung.
Delisha menggenggam erat pisau kecil di pinggangnya, tubuhnya tegang. "Zombie..." bisiknya. Matanya liar, mencari tempat berlindung.
Aisyah menggigit bibir bawahnya, kaki-kakinya gemetar, hatinya berpacu. "Mereka menemukan kita," bisik Aisyah, tangannya tak bisa berhenti gemetar. "Ini tidak mungkin terjadi. Kami baru saja selamat... kami tidak mungkin terjebak lagi!"
Mereka saling menatap, kedua perempuan itu tahu bahwa keputusan harus diambil sekarang. Di luar, suara itu semakin dekat, seolah-olah dinding tipis yang memisahkan mereka dan makhluk itu bisa runtuh kapan saja.
******
Di dalam toko kecil yang gelap, Gathan dan Jasmine terengah-engah, merasakan ketegangan yang tak tertahankan. Rak-rak kayu yang berdebu dipenuhi kaleng makanan yang sudah kadaluarsa, dan bau apek mengisi udara. Lampu neon yang berkedip-kedip sesekali menerangi ruang di antara bayangan, memperlihatkan sekilas keadaan toko yang pernah menjadi ramai itu, namun sekarang terasa seperti perangkap sunyi.
Gathan bersandar pada dinding yang dingin, menahan nafasnya, berusaha mengendalikan kepanikan yang membanjiri pikirannya. Jasmine, di sebelahnya, berusaha meredam debaran jantungnya yang semakin keras, merapatkan jaket tipis yang tak cukup menghalangi dingin dan kengerian malam itu. Hujan rintik-rintik di luar menyumbang pada suasana tegang yang mereka rasakan.
"Ini nggak mungkin tempat aman," bisik Gathan sambil melirik ke arah pintu, matanya waspada terhadap setiap gerakan kecil di luar sana. "Mereka bisa saja melihat kita masuk ke sini..."
Jasmine menghela napas panjang, raut wajahnya menegang. "Kita nggak punya pilihan lain, Gathan. Di luar jauh lebih berbahaya. Setidaknya di sini kita bisa mengatur langkah berikutnya." Nada suaranya bergetar, meskipun ia mencoba terdengar yakin.
Mereka berdua saling berpandangan sejenak, sebelum tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki yang berat, menggema di antara rak-rak toko. Jantung Gathan berdetak lebih kencang, tubuhnya menegang, tangannya dengan cepat meraih pisau lipat di sakunya.
Tiba-tiba, dari balik rak yang remang-remang, muncul sosok seorang pria tua. Bajunya lusuh, kotor, dan tubuhnya terlihat kurus kering. Rambutnya beruban, terurai acak, sementara matanya cekung menandakan kelelahan yang luar biasa.
“T-tenang, aku bukan salah satu dari mereka,” kata pria tua itu dengan suara serak, meninggikan tangannya sebagai tanda ia tidak berniat melukai mereka. "Aku sudah bersembunyi di sini... sejak hari pertama infeksi menyebar."
Gathan mengendurkan genggamannya pada pisau, tapi tetap waspada. Jasmine mengerutkan kening, melangkah maju dengan hati-hati. "Siapa kamu? Dan kenapa masih di sini?"
Pria tua itu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar, seolah mencoba menghapus sisa-sisa kengerian yang telah lama menemaninya. "Namaku... Pak Ilham," katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara gemuruh hujan di luar. Kerutan di wajahnya tampak semakin dalam setiap kali dia berbicara, menandakan trauma yang menghantuinya selama ini.
“Aku tidak punya tempat lain. Ini... satu-satunya tempat yang terasa sedikit aman,” lanjutnya. Bahunya yang bungkuk terlihat semakin menekuk saat dia berbicara, seperti sedang memikul beban yang tak terlihat.
Setelah beberapa saat keheningan yang menegangkan, Pak Ilham mengalihkan pandangannya ke arah jendela, seolah takut sesuatu di luar bisa masuk kapan saja. "Aku... aku melihat sesuatu. Beberapa malam sebelum semua ini terjadi."
"Melihat apa?" tanya Jasmine dengan nada curiga, alisnya terangkat.
“Pasukan misterius," bisik pria tua itu dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk membuat suasana semakin mencekam. "Mereka datang dengan truk besar, membawa kontainer-kontainer yang tertutup rapat. Aku tidak tahu apa yang mereka bawa, tapi tak lama setelah mereka pergi, orang-orang mulai jatuh sakit... lalu berubah.”
Gathan menelan ludah, merasakan bulu kuduknya merinding mendengar cerita itu. "Apa maksudmu... mereka yang menyebabkan ini?" tanya Gathan dengan mata membelalak.
Pak Ilham mengangguk lemah, wajahnya memucat. "Aku tidak yakin, tapi sepertinya begitu. Mereka datang seperti hantu, hilang begitu saja setelah meletakkan kontainer itu. Setelah itu, tak ada yang sama lagi."
"Ini bukan kebetulan..." pikir Gathan, tenggorokannya terasa kering. "Kalau benar ada yang bertanggung jawab atas ini, mereka masih ada di luar sana. Tapi kenapa?"
Sementara itu, Jasmine merasakan perutnya bergejolak. "Apa yang sebenarnya mereka bawa?" pikirnya dengan gugup. Tangannya mengepal, merasakan desakan untuk segera bertindak. Tapi kemana mereka harus pergi?
Tepat saat keheningan terasa semakin berat, suara keras dari luar tiba-tiba memecahnya—kaca yang pecah, diikuti oleh suara geraman aneh. Pak Ilham terpaku, matanya melebar dengan kepanikan yang nyata. "Mereka di sini... Mereka menemukanku!" Suaranya pecah, penuh ketakutan.
Gathan langsung berdiri, tubuhnya menegang seperti pegas. "Jasmine, kita harus keluar dari sini, sekarang!" Dia meraih lengannya, menariknya ke arah pintu belakang.
Jasmine menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah bayangan di luar jendela yang mulai bergerak mendekat, dengan tatapan penuh ketakutan. Jantungnya berpacu saat suara langkah kaki berat dan geraman mengerikan semakin jelas. "Tapi ke mana kita akan pergi?!" teriak Jasmine panik, matanya liar mencari jalan keluar.
"Ke mana saja asal jauh dari sini," desis Gathan dengan tegas, suaranya rendah namun mendesak.
Sementara itu, Pak Ilham membeku di tempatnya, seolah tak mampu bergerak. Tangan-tangannya yang gemetar mulai meremas-remas pakaiannya, air matanya hampir jatuh. "Aku... aku sudah terlalu lama bersembunyi... Aku tahu akhirnya mereka akan datang."
Mereka tidak punya waktu lagi. Suara zombie semakin keras, geraman mereka bergema di luar, seolah-olah siap menerobos masuk kapan saja. Gathan dan Jasmine harus membuat keputusan cepat: tetap bersembunyi dan mengambil risiko, atau keluar dan menghadapi bahaya di luar.