"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Ketiga Belas Buku Itu
Sebulan telah berlalu. Sejak aku mendapati rumah Rani dalam keadaan kosong, hati ini sudah tak lagi bersemangat seperti sebelumnya. Aku tidak tahu entah apa tujuanku hidup di saat itu. Aku hanya sekedar bangun pagi, ikut orang tuaku ke ladang, dan kembali pulang di sore hari. Tak ada keinginan apapun yang ingin ku capai. Rani yang satu-satunya tujuan hidupku yang kuharap masih bisa kuwujudkan, juga telah pergi tanpa kutahu alamatnya. Saat itulah aku baru pertama kali merasakan hidup yang benar-benar kosong.
Senja itu, aku merenung di dangau yang dibuat Ayahku di tepi ladang jagung kami. Jagung yang sudah hampir panen, tak membuat hidupku bergairah. Aku tenggelam dalam pikiran yang mengingat perjalanan hidupku yang berantakan, dan masa depan yang tak punya kepastian. Rasanya, ujian di awal kedewasaan itu, tak mampu lagi ku jalani.
Angin bertiup sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan jagung yang menjulang tinggi di hadapanku. Sinar mentari senja menyusup di sela-sela daunnya yang mulai tua. Buahnya yang mulai keras, tampak menguning oleh biasan awan senja.
“Apa yang kamu pikirkan Fan?” seseorang datang menghampiriku kala itu. Dangau tempatku berteduh yang hanya terbuat dari batang bambu dan susunan atap rumbia di atasnya, terasa bergerak saat ia ikut menaiki dangau itu.
Aku menoleh ke belakang, melihat siapa yang datang. “Kamu Zis?
“Belum sampai setahun semenjak kita lulus SMA, kamu sudah melupakan aku Fan!” Razis merangkulku dan menggoyang-goyangkan tubuhku dalam rangkulannya. “Kenapa kamu nggak datang ke rumahku sejak pulang dari Pekanbaru?” tanyanya kesal.
“Aku nggak tahu kalau kamu masih di rumah Zis!” jawabku memberi alasan.
“Gimana mau tahu, kamu nggak pernah cari tahu!” ujar Razis masih kesal. “Untung aku bertemu Andra di bengkel kemarin, dan dia yang memberitahuku kalau kamu sudah di rumah,” imbuhnya. Walau aku dan Andra berbeda kampung dengan Razis, namun Andra sangat mengenal Razis karena kami bertiga pernah selokal waktu SMP.
“Keadaan sudah berbeda Zis! Langkahku sudah nggak sejauh dulu,” keluhku teringat pada sepeda motor Ayahku yang sudah dijual.
Razis menyudahi rangkulannya. “Aku mengerti maksud kamu Fan. Andra sudah menceritakan semuanya sehari yang lalu,” ucapnya mengerti akan jarak rumahku dan rumahnya yang cukup jauh, dan ia sepertinya juga sudah tahu keadaan keluargaku.
“Naik apa ke sini?
“Pakai sepeda Onthel peninggalan Ayahku. Aku baru memperbaiki nya kemarin. Suntuk di rumah nggak ada kendaraan.” jawab Razis tersenyum. Wajahnya masih setampan dan seceria dulu.
“Kamu di rumah aja selama ini Zis?” tanyaku pada temanku itu, mencoba membuka cerita baru. Aku ingin mengalihkan pikiranku yang sejak tadi merenungkan nasib hidupku yang telah berubah.
“Kemana aku akan pergi? Ibuku sendirian aja di rumah, sedangkan kakakku sudah merantau semua,” terang Razis. Temanku itu ialah anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya telah meninggal di waktu ia masih duduk di bangku SMP.
“Aku pikir kamu ikut kakakmu ke kota Bandung,” ucapku mengira sebelumnya, karena seingatku, Razis pernah bercerita bahwa kakaknya yang paling tua punya toko baju di kota Bandung.
“Inginku emang gitu Fan, cuma Ibuku nggak ngasih izin! Beliau nggak mau tinggal di kota. Nggak mungkinkan aku tinggalkan Beliau sendiri di rumah?” terangnya menatapku dengan tatapan dan intonasi yang meminta pendapatku.
“Iya juga, itu nggak mungkin,” jawabku meyakinkan pemikirannya.
“Apa Ibumu sudah cerita Fan?
“Cerita apa?” Tanyaku heran, belum tahu apa yang ia maksud.
“Dua bulan yang lalu aku bertemu dengan Vika. Waktu itu aku mau main ke rumah Dini, rupanya ada Vika di sana. Jadi Vika menanyakan alamat rumahmu kepadaku, aku kasih tahu aja alamat rumahmu sama Vika. Tapi waktu itu aku sudah bilang sama dia kalau kamu dan keluargamu sudah pergi ke Pekanbaru, tapi tetap saja dia bersikeras ingin pergi ke rumahmu. Di saat dia kembali ke rumah Dini, dia bilang kalau dia bertemu sama Ibumu!
“Oh, aku kira apa? kalau itu emang Iya. Vika memang bertemu Ibuku. Tapi waktu itu aku masih di Pekanbaru.
“Kata Vika nomer kamu udah nggak aktif lagi?
“Bukan nggak aktif, memang akunya yang nggak ada HP lagi. HP-ku hilang dicuri orang!” ungkapku teringat kembali dengan kejadian di Pekanbaru. “Bagaimana kabar Ayahnya Vika?” sambungku bertanya.
“HP-mu dicuri?” tanya Razis seolah tak percaya.
“Iya Zis!” jawabku mengangguk. “Biarlah, emang lagi sial aja waktu itu. Malas aku bahas yang itu. Ayah Vika gimana kabarnya?” desakku ingin tahu cerita keluarga Vika.
“Ayahnya sudah meninggal Fan. Enam bulan setelah menjalani operasi di Singapura, kondisi Ayahnya terus memburuk,” ungkap Razis.
“Sejak dia berangkat ke Singapura, aku sudah nggak bisa lagi menghubunginya Zis. Aku nggak pernah lagi komunikasi dengan Vika sampai sekarang.
“Vika juga bilang gitu. Katanya sejak sampai di Singapura HP-nya nggak berfungsi lagi.
“Apa dia sekarang masih di rumahnya Zis?
“Nggak Fan. Dia sudah pindah ke Padang. Waktu itu dia pulang karena Ibunya mau jual rumahnya yang ada di kampung. Katanya dia mau menetap tinggal di Padang. Keluarga Vika kan memang asli orang Padang Fan! Dia pindah ke sini karena Ayahnya membeli kebun karet di sini dan sekaligus jadi pembeli karet para petani di daerah ini.
“Sejak Ayahnya meninggal, perkebunan karet milik Vika sudah nggak ada yang ngurus, dan gudang karet miliknya juga nggak jalan lagi. Ibunya Vika kayaknya nggak minat nerusin usaha karet milik Ayahnya itu,” urai Razis menjelaskan. Razis yang satu kampung dengan Vika, dan pacarnya yang merupakan kawan dekat sekaligus tetangganya Vika, membuatnya tahu banyak tentang kehidupan Vika di banding aku waktu itu.
“Kehidupan memang sulit di tebak ya?” keluhku setelah mendengar cerita tentang Vika.
“Apa maksudmu Fan?
“Aku nggak nyangka Vika akan kehilangan Ayahnya.
“Umur memang nggak ada yang tahu Fan. Akupun dulu juga nggak nyangka Ayahku akan pergi secepat itu,” ucap Razis memandangi langit yang hampir gelap. Mata pemuda tampan yang penuh karisma itu seperti sedang membayangkan seseorang. “Apapun yang terjadi pada kita, kehidupan harus tetap berlanjut Fan!” sambungnya sambil menyentuh bahuku.
“Iya, memang berlanjut, tapi hanya sekedar melanjutkan.
“Jangan kehilangan semangat seperti itu Fan. Setiap orang punya cobaan masing-masing dalam hidupnya. Tapi jangan sampai cobaan itu membuat kita kehilangan semangat hidup. Nggak ada yang abadi di dunia ini, termasuk cobaan itu sendiri,” umbuk Razis melihat wajahku yang kembali lesu.
“Kamu mau hubungi Vika nggak? Dini punya nomornya,” ulas Razis kembali menawarkanku menjalin hubungan dengan Vika.
“Buat apa? Aku udah nggak punya HP lagi. Lagi pula, sebaiknya hubunganku dengan Vika memang harus berakhir. Itu lebih baik daripada aku terus berpura-pura menyukainya.
“Tapi Vika sangat menyukaimu Fan. Cintanya sungguh-sungguh! Dia sangat kehilangan kamu,” tambah Razis masih ingin mencoba memperbaiki hubunganku dengan Vika.
“Perasaanku masih sama seperti yang kuceritakan dulu Zis. Sebaiknya jangan kamu dukung lagi hubungan ini, dan aku minta, jangan beri tahu Dini kalau aku ada di rumah. Bisa-bisa Dini ngabarin Vika. Biarlah Vika menjalin hubungan baru dengan orang yang benar-benar menyukainya,” ucapku menjelaskan apa yang aku rasakan saat itu.
“Hatimu benar-benar terpaut sama Rani ya? Aku jadi penasaran seperti apa Rani itu?” Razis kembali membangkitkan ingatanku pada Rani di penghujung senja itu.
Akupun menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Rani. Hari yang hampir gelap, belum mampu melerai perbincangan kami di dangau itu.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,