Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelang Pemberian Mommy
Sore ini, Balqis yang seharusnya pergi mengaji memilih diam di kamar. Tekadnya sama sekali tidak berubah dan tidak bisa digubris. Dia sangat tidak suka kulitnya menjadi hitam karena biasanya dia selalu melakukan perawatan. Namun sejak tinggal di pesantren semua hal yang biasanya dilakukan kini tidak pernah dilakukan lagi. Dia mengurung dirinya sendiri sejak kemarin. Bahkan untuk pergi ke kamar mandi pun tidak dilakukannya karena takut bertemu terik matahari.
"Ke mana, Balqis?" tanya Azizah. Dia keheranan sejak kemarin tidak melihatnya yang selalu ke sana sini.
"Di kobong, Ning. Dia tidak ingin keluar karena takut kulitnya menjadi hitam," jawab Raras.
"Apa?" Azizah terkejut mendengarnya.
Begitu pula dengan Alditra yang tengah membaca buku. Alisnya mengeryit karena apa yang dilakukan Balqis sangat aneh.
"Aku permisi dulu, Ning!" pamit Raras yang kemudian berlalu.
Azizah hanya mengangguk. "Balqis Balqis, ada-ada saja dia. Mana mungkin kulitnya akan hitam, sedangkan sudah bawaan lahir putih."
Alditra hanya diam saja. Matanya juga melirik Azizah yang berlalu masuk ke rumah sambil memijit keningnya. Dia yang ditinggal sendirian ikut pergi dari teras. Roda kursinya terus berputar menghampiri gerbang yang selalu dikunci.
Entah apa yang sebenarnya terjadi? Karena semenjak kedatangan Balqis, gerbang selalu dikunci dan dibuka bila ada kepentingan.
"Om Gus!"
Alditra tidak menoleh. Dia tahu suara siapa yang memanggilnya dari belakang.
"Hallo, apa kabar Om?"
Helaan nafas panjang terdengar samar dari bibir Alditra. Dia pun memundurkan kursinya untuk pergi.
"Tunggu! Mau ke mana?"
Dengan malas Alditra melirik. Dia dapat melihat Balqis dengan jelas membawa buku. "
Bukannya dia tidak ingin keluar kamar karena takut hitam? Lalu kenapa sekarang ada di sini? Tunggu dulu! Apa jangan-jangan dia ada dua orang.
"Heh, jangan ngelamun!"
Alditra menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Harusnya sih gue nggak keluar hari ini soalnya mataharinya terik banget! Tapi ya... mu gimana lagi, gue tiba-tiba aja dikasih tugas dan jawabannya nggak boleh nanyain ke yang laen. Kan nggak adil soalnya gue nggak tau apa-apa,"
Alditra mengangguk-ngangguk. Dia pun melihat buku yang disodorkan Balqis.
"Bantuin gue buat ngisi ini?"
Alis Alditra mengeryit karena Balqis tidak bisa mengisi tugas yang menyuruhnya menuliskan do'a sebelum tidur. Padahal anak kecil saja tahu, tapi ternyata dia sebaliknya.
"Padahal buat apa sih baca do'a sebelum tidur? Ribet amat."
Alditra tidak bisa menjawab dengan isyarat karena pastinya tidak akan dimengerti oleh Balqis. Dia pun mengambil buku kecilnya dan menulis di sana.
"Om, ayo cepetin bantu gue? Nanti gue kasih upah deh. Berapa pun yang lo minta pasti bakalan gue kasih,"
Alditra mendongak. Entah kenapa dipikiran Balqis hanya ada uang uang dan uang. Hanya ada membayar membayar dan membayar. Apa tidak ada yang lain selain itu?
"Ck... Kesel banget deh."
Alditra tidak merespon. Dia fokus menulis sesuatu di buku dan ini untuk pertama kalinya juga ia berinteraksi lama dengan orang.
Dia tahu bahwa dirinya kekurangan. Dua lebih menyukai kesendirian karena bersama dengan orang-orang pun tidak akan mengerti apa yang dikatakannya.
Dulu dia sering berinteraksi dengan banyak orang, namun hinaan dan perkataan mereka membuat hatinya terluka. Dia hanya seorang manusia biasa, bila mendapatkan perkataan yang tidak baik akan melukai hatinya.
Alditra juga masih ingat bagaimana pertama kalinya dia jauhi orang-orang. Saat itu seseorang melukai hatinya dengan parah. Dia sakit hati dengan perkataanya sampai mendorong dan memukul kakinya. Hal itu dilihat orang-orang dan seketika mencap dirinya menjadi laki-laki galak dan jahat.
Bahkan isu yang tersebar dia melukai orang itu sampai parah. Padahal hanya mendorong dan memukul satu kali. Itu pun tidak keras karena fisiknya tidak kuat seperti orang pada umumnya.
Andaikan orang-orang tahu bagaimana perkataan orang itu padanya, mungkin mereka akan melakukan hal yang lebih. Namun sayang, dia tidak bisa membela dirinya sendiri selain diam.
"Om, cepetan!"
Alditra menepis ingatan yang menumpang lewat di kepalanya. Dia pun memperlihatkan do'a tidur yang sudah ditulisnya di buku.
"Jangan arab iihh. Mana bisa gue nulisnya."
Alditra pun membuka satu lembar buku. Dia memperlihatkan do'a tidur yang Latinnya.
"Nah gitu dong, itu baru gampang!"
Balqis menulis di bukunya sambil beberapa kali melihat ke buku kecil berwarna putih dan bersampul hitam. Alditra yang melihat tulisan Balqis menggelengkan kepalanya. Tulisannya seperti cacing dan tidak rapih sama sekali. Setelah Balqis selesai menulis. Alditra menulis lagi di buku dan memperlihatkannya.
(Lulusan apa sekolahmu?)
"Gue?" Balqis menunjuk dirinya sendiri. "SMA lah. Kenapa mau bilang tulisan gue jelek? Ck udah biasa. Lagian gue nggak suka nulis,' "
(Kamu di sekolah ngapain saja? Sampai tidak bisa menulis,)
"Ya duduklah. Lagian gue nggak perlu repot nulis. Tinggal nyuruh orang lalu bayar mereka dengan uang, selesai. Uang gue banyak. Nggak perlu khawatir kehabisan, hahaha."
Alditra memijit keningnya. (Bila banyak tunjukkan uangmu padaku?)
Balqis langsung merogoh sakunya. Dia mengeluarkan uang berwarna merah sepuluh lembar. Mata Alditra pun membulat.
Darimana dia punya uang sebanyak itu? Bukankan kemarin untuk makan saja dia minta pada saya?
"Sorry ya! yang ada di saku gue cuma segini. Selebihnya ada di rekening gue,"
(dari mana datangnya uang sebanyak itu? Bukankah kemarin buat makan saja kamu minta sama saya?)
"Ya dari Om Abrahamlah. Kemaren dia nengokin gue pas diluar gerbang sekalian minta bantuan gue buat nyelesein permasalahan di organisasinya. Trus dia ngasih jajan deh buat gue... Tadinya kemaren gue mau ikut pulang, tapi kata Om jangan dulu permasalahan Daddy belum beres mereka takut masih ada orang yang masih ngincer gue... Jadi lebih aman tinggal disini..."
Alditra tidak lagi menunjukkan tulisannya. Dia memilih menyimpan buku kecilnya dan terdiam menyambungkan kecurigaannya terhadap mobil hitam kemarin dan orang yang memphoto Balqis dari luar.
Sedangkan Balqis juga pergi ke kobong sambil membaca do'a barusan. Dia mencoba menghapalnya yang sangat sulit untuk diingat.
Dugh!
"Astaghfirullah!"
Karena kesal tidak bisa menghapalnya, Balqis membanting buku ke dekat Melodi yang tengah membaca kitab.
"Ck... Kenapa harus hapalan sih?"
Melodi kali ini memilih diam. Dia membiarkan Balqis bicara seorang diri karena dia juga sedang menghafal kitab untuk setoran nanti.
"Waiitt! Di mana gelang gue?"
Melodi menutup kitabnya. Dia menghampiri Balqis yang kini tengah mengobrak-abrik lemari bajunya. "Apa yang kamu cari, Qis?"
"Gelang,"
"Gelang seperti apa?"
Melodi mencoba membantunya mencari. "Gelang yang mana?"
"Yang waktu gue pake ke acara nikahan Gus Miftah itu loh, Mel"
"Terakhir kamu simpan di mana? Coba ingat-ingat lagi,"
"Ck... Gue lupa nyimpennya di mana, Mel?"
Melodi yang awalnya membantu mencari kini beralih membantu membereskan baju-baju Balqis yang dia tarik keluar.
Balqis sangat panik jika gelang itu hilang. Apalagi gelang itu kenang-kenangan dari almarhum ibunya dulu.. Gelang ini hadir saat Balqis baru lahir dan gelang ini juga kenang-kenangan dari ibunya.
Brugh!
Mata Melodi membulat sempurna. Dia terkejut saat balqis mengeluarkan isi tas yang selalu disimpannya di dalam lemari.
Ini untuk pertama kalinya juga dia melihat perhiasan Balqis begitu banyak. Bahkan kartu ATM pun tidak hanya satu, dua dan tidak lupa black card yang hanya dimiliki orang kaya serta beberapa lembar uang kertas berwarna merah.
"A-apa ini perhiasan asli?"
Melodi tidak berani memegangnya. Dia hanya melihat saja karena takut tergiur.
"Iyalah. Masa imitasi?"
Setelah memastikan gelang yang dicarinya tidak ada ditumpukan perhiasan, Balqis pun kembali memasukkan semuanya.
"Gimana ini? Gelangnya nggak ada... Itu kenang-kenangan dari Alm. Mommy..." ucap Balqis berkaca-kaca.
"Sabar Qis. Kamu harus mencarinya dengan tenang dan sabar, bila seperti itu yang ada kamu panik dan pasti tidak akan menemukannya,"
"lo gimana sih, Mel? Orang kehilangan kok malah disuruh sabar,"
"Iya, aku tahu kamu kehilangan. Tapi kamu juga harus sabar, nanti juga akan ketemu, yakin deh"
"Nanti kapan? Gue maunya sekarang! Itu tuh penting banget buat gue!"
"Astaghfirullah!"
Melodi pun diam. Kini dia mendapatkan sifat Balqis yang lain. Selain sifatnya yang rakus, pelit, sombong, selalu membanggakan diri, pemalas, pemarah, dia juga tidak sabaran.
Apa ada sifat Balqis yang tidak kesebut selain di atas?
Ceklek!
"Ada apa ini?" Raras dan Siti yang baru datang mengeryitkan alisnya saat melihat keadaan kamar acak-acakkan.
"Heh, kalian yang selalu diem di kamar ini kan? Berarti kalian yang ngambil gelang gue, iya kan?" tuduh Balqis secara tiba-tiba.
"Balqis, enggak boleh nuduh sembarangan seperti itu?" Melodi menenangkan Balqis yang kesal.
"Astaghfirullah! Apa maksud kamu nuduh kita tanpa bukti?" teriak Siti. "Kita tidak tahu apa-apa soal gelang kamu. Bahkan bentuknya saja kita tidak tahu,"
"Gelang gue ilang di dalem lemari. Siapa lagi kalo bukan kalian yang ngambil? Karena kalian yang suka ada di kamar juga kan," ujar Balqis.
"Balqis, jangan seperti itu!" ucap Melodi.
"Kamu keterlaluan, Balqis! Kamu sudah nuduh kita sembarangan," hardik Raras. "Mana buktinya kalau kita yang ambil?"
"Stop!" bentak Balqis. "Kalo kalian nggak merasa mengambil, ya kalian bantu gue nyari sampe ketemu!"
Raras dan Siti yang tidak ingin dituduh langsung mencari gelang untuk membuktikan bahwa mereka tidak mencurinya. Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba dituduh seperti itu, siapa yang menerima.
*****
"Huh!"
Balqis merentangkan badannya ke sana sini, dia berolah raga pelan agar badannya tidak sakit-sakit. Pikirannya juga masih kacau memikirkan gelangnya yang belum ketemu.
"Balqis, cepat ganti baju! Sebentar lagi ada pemeriksaan kobong."
Dengan malas Balqis menoleh. Dia memperhatikan teman-temannya yang membereskan kamar. Tempat tidur disulap menjadi rapih, lemari dilap menjadi kinclong, sampah yang menumpuk segera dibuang.
Semua orang dibuat sibuk dalam waktu beberapa detik. Bahkan tidak hanya itu, mereka pun berpakaian rapih dengan baju seragam santri.
"Qis, cepat ganti baju!"
Balqis tidak mendengarkan perkataan Melodi. Dia malah mengorek telinganya yang terasa gatal. Padahal hari ini libur mengaji, tapi tetap saja santri dibuat sibuk beres-beres karena ada pemeriksaan dari pihak pesantren.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam, Umi."
Balqis melihat ke bawah. Keningnya mengerut saat Umi Fatimah dan dua orang perempuan yang lain datang.
Bukan hanya mengecek kebersihan kobong, seluruh bangunan pun dicek karena takutnya ada yang membahayakan pada santri.
"Maasyaa Allah."
Balqis menoleh. Kemudian acuh saat Umi Fatimah bersama yang lain mengecek satu persatu kamar. Dia juga menatap cuek mereka yang kini ada di depan.
Tidak ada seulas senyuman yang ditunjukkannya seperti yang lain. Dia sibuk mengurus kuku-kukunya agar cantik.
"Umi, siapa dia?"
"Santri baru. Maklumi saja penampilannya seperti itu, Maryam. Dia belum terbiasa seperti kita."
Dengan tatapan sinis Balqis menatap perempuan yang bertanya barusan pada Umi Fatimah. Dia ingin melihat wajah asli perempuan itu yang terhalang cadar.
Setelah lamanya pengecekan kobong, akhirnya Umi Fatimah bersama yang lain keluar untuk membahas keadaan kobong santriwati di ruang organisasi, karena ada beberapa lantai yang sudah rusak.
"Qis, barusan Ning Maryam sangat cantik bukan?" tanya Melodi.
"Oh, jadi yang barusan itu Ning Maryam istri Gus Miftah?" Balqis bertanya balik.
Melodi mengangguk-ngangguk. "Sepertinya Ning Maryam akan tinggal di sini, karena barusan beliau juga dikasih tahu semua tentang kobong sama Umi."
Balqis hanya mengangguk pelan saja, karena dia sendiri tidak peduli tentang hal itu.
"Sofie, Agnia, Anisa, Siti Maesaroh, Nurul, dan yang lainnya. Orang tua kalian datang berkunjung. Mereka ada di ruang pertemuan. Segera temui mereka."
Balqis yang mendengar pengumuman langsung teralihkan. Dia melihat beberapa santri dengan riang gembira menghampiri orang tuanya yang berkunjung ke pesantren.
Bahkan tidak hanya itu, sebagian dari mereka sudah bersiap-siap untuk mengambil kiriman dari orang tuanya yang tidak bisa datang.
"Qis, kamu mau ikut?" tawar Melodi. "Orang tuaku juga datang berkunjung,"
"Nggak ah, Mel. Gue di sini aja." tolak Balqis.
Melodi pun mengangguk. Kemudian tergesa-gesa turun ke bawah bersama teman sekobong yang lain.
Mereka semua sangat antusias. Karena hari libur mengaji adalah hari di mana mereka bisa bertemu keluarga dan mendapatkan kiriman seperti uang serta kebutuhan yang lain.
Balqis yang sejak tadi hanya diam pada akhirnya mengganti baju. Dia ingin melihat orang tua mereka.
Sesampainya Balqis di depan ruang pertemuan, dia mengintip mereka dari pintu. Hatinya seketika bergetar hebat melihat pemandangan yang hangat.
Semua orang terlihat bahagia, tertawa bersama, saling bercerita, saling tukar makanan, bahkan ada yang saling berpelukan melepas rindu.
Termasuk Melodi. Terlihat dia begitu senang sambil menceritakan kisah kehidupannya pada keluarganya. Bahkan terlihat ibunya terus mengusap pucuk kepalanya.
Balqis yang hanya menyaksikan terasa iri pada mereka. Dia pun memutuskan pergi dengan mata berkaca-kaca. Ingin rasanya dia merasakan kehangatan itu, namun sayang semuanya hanya angan-angan belaka.
Tap!
Langkah Balqis terhenti. Dia melihat beberapa santri kerepotan membawa beberapa plastik dari rumah Ustadzah Hilma. Yang dipastikan itu kiriman dari orang tua mereka.
Tentu hal itu membuat Balqis kembali iri, karena di hari libur dia tidak bisa bertemu orang tuanya dan tidak mendapatkan kiriman.
Balqis pun kembali melanjutkan langkahnya. Namun lagi-lagi terhenti saat melihat di rumah Arsalan banyak orang. Semua keluarga Ning Maryam berkunjung.
Dan tidak hanya itu, orang tua santriwan pun terlihat berlalu lalang membawa oleh-oleh untuk anaknya.
Kini butiran bening lolos dari mata Balqis. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi melihat pemandangan hangat mereka.
Dan itu hanya berlaku untuk mereka. Karena hanya dia seorang diri yang tidak merasakannya. Hanya dia yang kosong tanpa kehangatan.
Balqis pun kembali berjalan sambil meratapi nasibnya. Dia ingin pergi sejauh mungkin. Dia tidak ingin menyaksikan kehangatan mereka bersama para orang tuanya. Karena di balik kebahagiaan mereka ada dia yang tengah terluka karena tidak merasakan perasaan itu.
Tap!
Langkah Balqis terhenti. Dia menatap gerbang yang terbuka. Namun dia tidak bisa lewat karena beberapa santriwan senior berjaga ketat mengamankan kendaraan yang keluar masuk.
"Huft!"
Balqis berulang kali menghela nafas sesak. Dia tidak bisa pergi ke mana-mana selain harus menyaksikannya.
Trek!
Trek!
Penglihatan Balqis teralihkan. Senyumannya seketika menyungging saat melihat Alditra di kebun. Dia yang bingung harus pergi ke mana pada akhirnya menghampiri Alditra.
"Om Gus!"
Alditra menoleh. Keningnya mengerut melihat Balqis datang dengan ekpresi yang berbeda. Biasanya dia datang dengan sangar dan jahil, namun kali ini datang dengan keadaan sedih.
"Jangan nanya gue lagi kenapa... Gue itu iri sama mereka"
Alditra terdiam. Dia memperhatikan Balqis yang duduk di sembarang tempat. Tangannya juga memeluk lutut menumpahkan kesedihan.
"Lo liat kan Om, cuma gue yang nggak ketemu sama Daddy. Cuma gue yang nggak dapet kiriman. Gue iri sama mereka, gue juga mau kayak mereka."
Alditra yang mendengar curhatan Balqis hanya bisa terdiam, mau menasehati pun tidak bisa karena tidak bisa bicara, dan kalaupun menulis sepertinya itu akan terlalu lama... Lalu karena dia menghargai Balqis yang ingin bercerita dia pun menutup laptopnya karena memang dari awal Alditra sedang menonton video tindakan operasi yang dikirim oleh temannya.
Ya... Sebelum kecelakaan Selain mengajar di pesantren Alditra berprofeai sebagai dokter spesialis bedah, sama seperti Gus Zaigham hanya saja Gus Zaigham hanya sebagai Dokter Umum. Tapi kemampuan keduanya tidak bisa ditandingi. Semenjak kecelakaan Alditra resign dari pekerjaannya, tapi sekarang temannya mulai rewel dan sering konsultasi padanya sebagai sesama dokter spesialis bedah. Dan Alditra pun mulai menambah ilmunya lagi di bidang bedah dan memperdalam lagi skilnya meskipun masih teori, karena untuk praktek dia masih belum bisa.
"Padahal gue itu udah sedih gara-gara fasilitas yang gue milikin ilang. Sekarang gue harus ngadepin kehangatan merekabyang nggak gue dapetin lagi..." lanjut Balqis memgeluarkan unek-uneknya.
"Hah... Ya Gue tau, untuk sekarang gue nggak bisa kayak mereka. Dipeluk sama Daddy apalagi sama Mommy nhgak mungkin banget, soalnya pas gue lahir gue udah nggak bisa dapet pelukan Mommy, gara-gara gue lahir Mommy meninggal... Coba kalo gue nggak lahir ya... Mommy pasti bisa terus hidup sama Daddy..."
Balqis pun mulai terisak. Dia menumpahkan kesedihannya selama ini. Entah akan didengar atau tidak karena saat ini dia merasa hatinya terluka.
Alditra sangat ingin mengeluarkan suaranya menenangkan Balqis dan memberi nasehat pada Balqis agar jangan bicara sepeeti itu, tapi dia tidak bisa. Tenggorokannya seakan kering. Dia haya bisa berdehem menyamankan tenggorokannya.
"Dari kecil, Gue tumbuh diasuh sama baby sitter gue. Dia itu udah kayak pengganti Mommy buat gue. Dia sangat perhatian. Tapi semuanya juga langsung ilang. Dia meninggal tepat di depan mata gue dia ditembak sama musuh Daddy gara-gara mau ngelindungin gue..."
"Ya.... Lagi-lagi gara-gara gue semua orang yang ada di deket gue, dan yang gue sayangin mati! Kadang gue pernah mikir, apa gue mati aja biar nggak ada orang mati lagi gara-gara gue?"
Alditra langsung melihat kearah Balqis tajam. Lalu dengan segera dia menulis sesuatu di dalam buku kecilnya lalu memperlihatkan catatan itu pada Balqis.
(Istigfar... Jangan pernah meragukan jalan yang Allah kasih buat kamu... Qodarullah hidup maupun mati semua ada di tangan Allah, Allah paling benci kepada orang yang putus asa apalagi adanya niat bunuh diri Naudzubillah Min Dzalik
Artikel ini telah tayang di https://www.sonora.id dengan judul "Arti Naudzubillah Min Zalik...)
"Gue bahkan nggak bisa meluk orang yang gue sayangi buat terakhir kali, karena gue harus kabur dari para musuh-musuhnya Daddy."
Alditra hanya bisa terdiam kaget dengan kehidupan yang Balqis jalani.
"Om! masih dengerin gue kan?!"
Balqis mendongak. Dia memperlihatkan wajahnya yang berantakan. "Gue masih keliatan cantik kan?" ucapnya sambil mengusap matanya dengan punggung tangannya sambil menarik ingusnya yang hendak keluar.
Alditra tidak menjawab karena pertanyaan Balqis terdengar konyol. Dan kelakuannya dibatas normal. Menurutnya semua perempuan itu cantik. Dan ada juga yang lebih cantik, yaitu bundanya.
"Om, gue juga pengen kayak mereka? Apa gue bisa kayak mereka lagi?"
Alditra pun menulis lagi di sana, lalu ditunjukkannya lagi pada Balqis.
(Suatu saat nanti, Insya Allah keinginanmu akan terwujud.)
"Gue pengennya sekarang?!"
"Ck..." Alditra berdecak kesal.
(Keras kepala.)
Balqis mendengus kesal. Tangannya terulur memetik buah tomat.
"Ngomong-ngomong ini merahnya bagus ya!" ucapnya dengan nada yang sudah biasa lagi tidak rapuh seperti tadi.
Alditra mengangguk pelan sambil memperhatikan Balqis yang membelakanginya.
"Om Gus, nggak mau cari istri?"
Alditra menggelengkan kepalanya. Dia tahu, semua perempuan akan menolaknya. Meskipun Umi Fatimah tidak menyerah dan terus menjodohkannya.
"Cari istrilah. Biar ada yang nemenin."
Alditra mengangguk-ngangguk. Dia juga ingat, bila setiap perempuan yang dikenalkan Umi Fatimah terkadang lebih tua darinya. Katanya biar lebih dewasa.
Setelah dipikir-pikir lebih baik seperti itu. Mungkin yang lebih tua akan sangat mengerti, karena bila yang seumuran Balqis akan lebih pantas menjadi adik. Apalagi usianya sekarang menginjak 33 tahun.
"Om Gus! Kapan pertemuan orang tua kayak gini selesainya?"
(Nanti malam.)
"Hah..." helaan pasrah Balqis sangat keras sampai membuat Alditra tersenyum karena melihat reaksi Balqis.