DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM1
Readers 😇 Mohon untuk tidak membaca karya ini dengan cara melompat-lompat bab. Alur memang terkesan santai, tapi, saya memang sengaja.
Tujuannya adalah ingin membawa pembaca untuk meresapi sesak nya menjadi tokoh utama.
Diremehkan, direndahkan. Lalu,dengan usaha yang pantang menyerah, perlahan-lahan derajatnya di angkat.
Mohon kerja samanya ya, Readers 😍
*
*
"Raga, kamu itu kayak gak tau adikmu saja. Rama itu gak bisa di harapkan, anak sialan itu selalu saja menyusahkan ibumu ini. Memangnya kamu ada masalah apa sih?!"
Sore itu ku dengar, ibu mertua sedang menelfon Mas Raga yang sedang merantau di luar pulau. Mas Raga merupakan kakak tertua dari suami ku, Mas Rama.
Aku mengurut dada, hati ku serasa teriris ketika ibu mengatai suamiku dengan sebutan anak sialan. Memang ini bukan yang pertama kali, tetapi aku masih bingung hingga sekarang. Ada luka batin apa ibu pada suamiku? Sebagai ibu kandung, makiannya kejam sekali. Bagaimana kondisi Mas Rama saat masih kecil dulu? Aku benar-benar tidak bisa membayangkan.
"Terus nasib ibu bagaimana, Ga? Banyak banget loh ini iuran-iuran dan tagihan-tagihan yang perlu di bayar, sementara bapakmu baru pulang seminggu lagi. Masa sih, istrimu tidak bisa keluar sebentar untuk mentransfer uang, sesusah itu apa?!"
Sudah seminggu ini ibu mertua selalu uring-uringan karena Mas Raga telat mengirim uang bulanan. Biasanya paling telat tiga hari. Namun, entah kenapa kali ini kakak iparku itu telat, sampai-sampai ibu melampiaskan kekesalan nya padaku sejak pagi tadi.
"Astaga, kan ibu sudah bilang, adikmu itu gak berguna, Raga. Anak itu hidupnya selalu menyusahkan orang tua terus ...!" nada ibu semakin tinggi.
Hatiku kembali tercubit di dalam sana, rasanya tidak terima saat suamiku di hina seperti itu. Padahal sejauh ini, tagihan listrik dan air, iuran kampung, iuran RT, ku bayar dari gaji Mas Rama. Bahkan belanja makanan pun menggunakan uang suamiku. Berarti, sudah jelas uang yang di beri bapak mertua dan Mas Raga utuh di pegang ibu. Malah terkadang Mbak Raya, kakak dari Mas Rama, juga memberi ibunya uang, meskipun tidak rutin. Tapi, entah lah, di pakai untuk apa uang-uang itu.
...****************...
"Assalamu'alaikum."
Ku dengar suara dari ruang tamu, suara duniaku, Mas Rama.
"Wa'alaikumsalam." Aku menyambut kepulangan suamiku dengan senyum hangat. Segera ku sambar tangan kanannya dan ku cium dengan takzim.
Mas Rama menyandarkan tubuhnya di sofa, menyeruput es teh manis yang baru saja ku sediakan.
"Seger banget, terimakasih ya wahai istriku sayang, Alana." Mas Rama mengulum senyum.
Aku mengangguk pelan sambil mengulas senyuman tipis.
"Alana, Mas Raga sedang tertimpa musibah." Ucap Mas Rama setengah berbisik.
Ku lihat wajahnya yang mendung, ada kesedihan di wajahnya.
"Mas Raga kenapa, Mas?"
"Mas Raga masuk rumah sakit, Al. Kecelakaan waktu lagi panen sawit kemarin. Kata Mbak Utami, mesti di rawat inap semingguan. Untuk biaya pengobatan, di tanggung perusahaan, karena termasuk kecelakaan di jam kerja."
"Kalau Mbak Utami jagain Mas Raga di rumah sakit, Nanda dan Nindi siapa yang jagain, Mas?" Aku memikirkan kedua ponakanku yang masih belum cukup umur itu.
"Untuk sementara di titipin ke rumah tetangga, Al. "
"Syukurlah kalau begitu, Mas. Besok, aku telfon Mbak Utami ya, Mas. Oh iya, apa ibu sudah tau soal ini, Mas?"
"Sudah, Sayang. Mas Raga sudah menelpon ibu untuk mengabari."
"Oh, pantesan tadi ku dengar ibu ngobrol sama Mas Raga di telepon."
Mas Rama beranjak dari duduknya menuju kamar mandi, tampaknya pria ku itu sudah mulai gerah.
Semoga kejadian ini tidak berbuntut panjang, tapi, kok firasat ku mengatakan sebaliknya ya?
...****************...
"Kopi dan sarapannya sudah siap, Mas." Ucapku ketika melihat Mas Rama sudah rapih dengan baju kerja nya.
Mas Rama mengulas senyum tipis. "Ibu mana, Al?"
"Belum keluar kamar, Mas. Tadi sudah ku ketuk kamarnya, tapi tak ada jawaban. Apa mau di coba lagi, Mas? " tawarku.
Mas Rama menggeleng pelan. "Ayo sarapan bareng, Al."
Mas Rama mengunyah sarapan yang tersaji sambil sesekali menerawang. Entah apa yang tengah suamiku pikirkan.
Setelah menghabiskan sarapannya, Mas Rama bergegas berangkat ke pabrik.
Entah sengaja atau tidak, setelah Mas Rama berangkat, ibu baru keluar dari kamar dengan wajah masam dan langsung menuju ke kamar mandi. Ekspresi yang sudah biasa aku dapatkan setiap hari di rumah ini.
Ku lihat ibu keluar dari kamar mandi dan hendak belok ke kamarnya.
"Sarapannya gak di makan, Bu? Nanti magh Ibu bisa kumat, tadi malam juga kan gak makan." ucapku dengan harapan Ibu akan menyentuh sarapannya.
"Gak usah sok baik deh kamu, Lana. Kamu dan Rama itu sama saja, sama-sama bawa sial di rumah ini!" hardik Ibu dengan wajah ketus.
Ah, Ibu. Sikapnya semakin menjadi-jadi, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Apalagi dia terus-terusan menyebut suamiku pembawa sial.
"Bawa sial? Emang kesialan seperti apa, Bu? Bu, ucapan itu adalah doa. Ibu tuh orang tua kandung suamiku loh, kok tega banget mulutnya mendoakan yang seperti itu?"
"Heh, Alana! Rama itu sejak lahir sudah bawa sial untuk keluarga ini, syukur-syukur aku tidak membuangnya ke jalanan ...!" nada bicara Ibu semakin tinggi, bahkan dadanya sampai naik turun.
"Astagfirullah, Bu. Anak itu anugrah dari Allah, tiap anak punya rezekinya masing-masing. Gak ada anak yang bawa sial, Bu. Allah menitipkan suamiku di rahim ibu dengan maksud tertentu."
"Iya, dengan maksud untuk bertemu wanita sial sepertimu. Ingat ya, Lana. Kamu itu hanya orang luar yang di bawa anak sial itu untuk menumpang hidup di rumah ini. Untung saja kamu mandul, coba kalau subur dan beranak pinak? Amit-amit deh harus menanggung beban dari anak sialan yang lahir dari pasangan sialan seperti kalian ...!"
Ya Allah, sakitnya hatiku.
Hatiku begitu tercabik-cabik mendengar perkataan ibu yang menusuk hati. Aku tak kuasa menahan air mataku, rembes sudah.
"Alana gak mandul, Bu. Kami bukan pasangan mandul, hanya saja Allah belum menitipkan rezeki itu pada kami. Kami juga bukan pembawa sial, dan anak yang terlahir dari Alana nanti, bukan lah anak sial, Bu." sahut Mas Rama di ambang pintu.
Mas Rama berjalan masuk menghampiri ku dan menggenggam erat jemariku.
Ibu sempat kaget dengan kedatangan Mas Rama, tapi hanya sebentar saja. Wajahnya kembali ketus, seperti biasa.
"Kamu itu memang pembawa sial, Rama. Pembawa musibah! Kamu mana ingat tentang kebun bapakmu yang terbakar tak lama setelah kamu lahir. Tentang kakekmu yang meninggal karena kepikiran kebunnya yang habis di lahap api. Terus, bapakmu kecelakaan dan harus istirahat berbulan-bulan. Semua itu terjadi sejak kau lahir, Rama. Masih juga gak nyadar?!" teriak ibu sekuat hati.
"Itu musibah, Bu. Hanya saja musibah itu terjadi setelah Rama dilahirkan, Ya Allah. Kenapa Ibu berburuk sangka seperti itu, Bu? Andai Rama bisa memilih kapan Rama di lahirkan, pasti Rama memilih lahir saat orang tua Rama sudah kaya raya, Bu. Tapi kenyataan nya, Rama gak bisa milih, Bu." Bergetar suara suamiku.
"Itu namanya pembawa sial, Ram. Dan setelah kalian menikah, anakku kecelakaan sampai-sampai tak bisa mengirimi ku uang. Itulah yang terjadi jika kau juga menikah dengan wanita pembawa sial." Ibu menoleh padaku, menatapku sinis.
"Astagfirullah. Bu, kami menikah sudah satu tahun, dan baru kali ini Mas Raga terlambat mengirim uang bulanan. Apa kesialan bagi Ibu hanya di ukur dengan uang? Tega sekali Ibu mengatai kami seperti ini, Apa kurang bakti ku selama ini, Bu? Selama ini aku berusaha melakukan yang terbaik, agar di anggap ada oleh Ibu dan Bapak. Tapi, selama ini, Ibu memperlakukan aku dengan berbeda di banding anak-anak ibu yang lain. Jatah makan, mainan, baju, bahkan sampai pendidikan, aku selalu di bedakan. Aku terima, Bu. InshaAllah aku ikhlas, tapi, kenapa seolah belum cukup Ibu menyakiti perasaan ku?" papar Mas Rama panjang lebar dengan suara bergetar.
"Intinya kamu memang anak pembawa sial, Rama. Padahal aku sudah ingin membuangmu ke panti asuhan, tapi bapakmu melarang. Kalau saja Bapakmu menurut, pasti hidup kami sekarang sudah senang." Ibu menatap sinis Mas Rama.
"Astagfirullah, Ya Allah. Benarkah aku dilahirkan dari rahimmu, Bu?" Suara yang bergetar itu, kini mulai terisak. Sakit sekali perasaan suamiku tentunya.
"Seandainya saja tidak, tapi, mau bagaimana lagi? Sudah nasib ku melahirkan anak sepertimu, bahkan masih menyusahkan ku sampai hari tua seperti ini. Ah, malangnya nasibku." cicit Ibu.
"Menyusahkan? Apa karena kami menumpang di rumah ini? Bu, meski menumpang, kami tidak berdiam diri. Istriku bahkan nyaris seperti pembantu di rumah ini, aku menyisihkan gaji ku untuk membantu Ibu. Meskipun tak banyak," sahut Mas Rama.
"Oh, jadi kamu mau mengungkit uangmu yang gak ada apa-apanya itu? Kamu mau hitung-hitungan? Yakin? Memangnya sebanding dengan pengorbanan orang tuamu , demi membiarkan mu hidup? Jadi kamu dan istri sial mu yang mandul ini mau hitung-hitungan? Ibu sumpahin kamu ya, kamu dan keturunan mu nanti akan selalu hidup dalam kesialan ...!"
"Astagfirullah, nyebut bu, nyebut. Surgaku memang lah ada di bawah kakimu, Bu. Namun aku percaya, Allah maha adil dan maha mengetahui. Aku masih diam saat ibu selalu mengatai aku anak sial, tapi, tidak dengan istriku, Bu. Aku tidak terima jika ibu menyumpahi istri dan keturunanku, Bu. Demi Allah aku tidak terima, Bu. Aku akan buktikan pada Bapak dan Ibu, bahwa anak yang selalu kalian bilang sial ini akan membawa rezeki untuk kalian di masa tua nanti."
"Halah, banyak omong! Sekarang juga, pergi kalian berdua dari sini. Bawa istri sial mu ini, melihat wajahnya saja aku mau muntah!" Ibu membanting pintu kamar sekuat hati.
Mas Rama terbelalak, air matanya sudah membasahi kedua pipi. Aku mengerti, dari semua makian ibu, hari inilah yang paling menyakitkan.
Aku memeluk erat tubuh suamiku, seolah memberinya kekuatan dan kesabaran.
Lihatlah ibu, akan ku buktikan bahwa suamiku bukanlah pembawa sial!
*
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/