Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Adnan meraih pergelangan tangan ku dengan kasar, menariknya menjauh dari Kevin dengan kekuatan yang membuat ku hampir terjatuh.
Wajah Adnan memerah, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala dengan api kemarahan yang tak terkendali. "Kau ini apa-apaan, Rania? Main peluk pria lain di depan suamimu sendiri!" teriaknya, suaranya menggema di ruang tamu yang sepi.
Aku menarik nafas dalam, mencoba meredam kepanikan yang menerpa diriku. Aku tidak merespon amarah Adnan, melainkan berbalik menghadap Kevin yang berdiri dengan raut wajah yang canggung.
"Maafkan Adnan ya, Kev," ucapku dengan suara yang lembut namun terdengar getir.
Senyum simpul menghiasi bibir Kevin, menunjukkan pengertian. "Tidak masalah, Rania," balasnya sebelum berlalu meninggalkan kami berdua.
Ketika Kevin menghilang dari pandangan, Adnan semakin meninggi suaranya, "Rania! Yang benar saja kamu, Ran? Kamu nyuruh selingkuhan kamu itu untuk pulang?" cemoohnya, tidak percaya dengan tindakan ku.
Aku menghadap Adnan, mataku menatap lurus ke dalam mata yang Adnan yang meradang. Wajahku tenang, berusaha mempertahankan ketenangan meskipun hatiku berkecamuk.
Aku tetap cuek terhadap Adnan, berusaha mengabaikan tuduhan dan kemarahan yang menguar tanpa bukti itu.
"Rania! Aku ini suami kamu, kenapa kamu beraninya jalan bersama pria lain?" lantang Adnan.
Mendengar ucapan Adnan, aku tak bisa menahan tawa. Hahaha, rasanya lucu sekali melihat ekspresi cemburu suamiku yang telah berselingkuh di belakangku.
"Kamu gak ngaca atau gimana, si Adnan? Terus kenapa kalau aku jalan sama pria lain? Masalah buat kamu, hah! Bukannya kamu yang ngajarin aku buat selingkuh, ya?" ucapku sambil tersenyum sinis.
Adnan tampak terkejut, wajahnya memerah seketika. Namun, aku tak merasa takut sama sekali, karena aku tahu aku tak bersalah.
"Iya, tapi aku gak suka, Ran! Hatiku sakit melihat kamu jalan sama pria tadi, apalagi main peluk dan pegang tangan!" sahut Adnan, masih dengan nada cemburu.
"Gak suka? Sakit hati? Apa kabar aku, Adnan! Yang diselingkuhin selama dua tahun bahkan hubungan kamu dan perempuan itu sudah di batas wajar! Menurutmu aku gak tahu tadi malam kamu pergi kan sama Sandra? Tidur dengan dia!" teriakku, kesal dengan kebodohannya yang mengira aku tidak menyadari kelakuan dia.
"Sok tau!" Kekeh Adnan, masih menyangkal.
Aku melangkah mendekati Adnan dengan hati berdebar-debar, "Aku bukan sok tahu, tapi aku emang tahu!" kekehku, berusaha menegakkan pendirianku.
"Udahlah, Rania! Jangan nyalahin aku saja, kamu juga salah! Ngapain kamu main di kafe sama pria lain tanpa seizin aku!"
"Lha gimana mau izin, orang kamunya saja sibuk selingkuh!" Jawabku, menyindir sikap Adnan yang tidak mau disalahkan.
"Stop, Rania! Aku gak suka kamu bilang seperti itu! Tadi aku sama Sandra jalan bareng cuma rekan kerja saja, gak lebih!" Adnan membela dirinya.
Aku menghela nafas kasar dan berusaha mengendalikan emosiku. "Bagaimana aku bisa tenang menghadapi orang yang tidak mau dianggap salah seperti dia?" gumamku dalam hati.
"Sekarang kamu pilih aku atau Sandra, Adnan!" ucapku dengan suara lantang, berusaha menuntut keputusan dari Adnan.
Aku memperhatikan Adnan yang tampak berpikir keras, serasa sejuta pertanyaan menghantui pikiranku.
Kenapa ia begitu sulit mengambil keputusan? Apakah ia lebih memilih dia dari pada aku?
"Jawab, Adnan!" desakku dengan suara yang semakin keras.
"Tidak bisa..." seru Adnan dengan suara tercekat.
Saat itulah, aku semakin yakin bahwa Adnan mengalami dilema besar dalam memilih antara aku atau Sandra.
"Baik! Aku sekarang mengerti, pergilah Adnan, aku tidak akan melarangmu! Tenang saja, aku tidak akan mempersulit kamu untuk memilih antara aku atau Sandra!" ucapku tegas,
mencoba menahan air mata yang sudah tak kuat menahan beban perasaanku. Adnan tampak bingung dan cemas, matanya memperhatikan ku,
"Apa maksudmu Rania? Aku tidak bilang aku mau memilih Sandra, beri aku waktu, Ran! Aku kasihan jika aku langsung meninggalkan Sandra begitu saja," sahut Adnan, mencoba meredakan situasi.
Aku hanya tersenyum sinis, merasa tak perduli akan kesedihan Adnan, "Terserah kamu! Dan aku sama sekali tidak peduli!" Jawabku tegas, berusaha meyakinkan diri bahwa aku memang tidak peduli.
Sementara itu, Adnan terlihat patah hati dengan kata-kataku. Aku membuka pintu rumah dan melangkah masuk, meninggalkan Adnan di belakang.
Adnan mengikutiku ke dalam rumah, rasa takut dan rasa bersalah jelas terlihat di wajahnya.
Sambil menghela napas, aku berkata, "Maaf Adnan, mulai malam ini kamu tidak usah ke sini lagi! Karena aku dan Naura sudah tidak butuh kamu lagi." Ucapku ketus, mengusir Adnan dari kehidupanku, meskipun bagian dalam hatiku merasa sangat terluka.
"Apa maksudmu, Rania?! Ini rumahku, jadi kamu tidak berhak mengusirku!" Adnan berseru dengan nada tinggi.
Aku segera membantah, "Kamu lupa, sertifikat ini atas namaku! Jadi, aku lebih berhak atas rumah ini!"
Namun, Adnan tampak begitu yakin, "Kamu lupa atau pura-pura lupa, Rania? Sertifikat ini sudah balik nama atas namaku."
Aku mencoba berpikir sejenak atas perkataan Adnan, dan benar, waktu itu rumah ini memang dibalik nama Adnan.
"Kenapa aku bisa sebodoh itu dulu?" batin ku dengan menyesali keputusan di masa lalu. Aku mulai merasa gelisah,
"Apakah ini semua karena kecerobohanku? Kenapa aku begitu percaya pada Adnan? Apakah sekarang aku harus merelakan rumahku?"
Adnan tersenyum sinis, ia melirikku seolah-olah mencari sesuatu. "Naura, di mana kamu?" teriaknya. Namun, Naura memang tak ada di rumah; dia pergi ke rumah bibiknya.
Aku memutuskan untuk tidak memberi tahu Adnan tentang keberadaan Naura. Entah kenapa, aku tidak ingin berada di bawah satu atap dengan pria seperti Adnan.
Aku masuk ke kamar untuk mengambil beberapa barangku. Namun, aku Semakin lega ketika kudengar Adnan sedang berbicara dengan Sandra lewat telepon.
Benakku mulai berkecamuk, "Apa maksudnya dia bicara dengan Sandra saat seperti ini?" Dengan langkah sigap, aku mengambil berkas penting, pakaian kerja, serta tas ransel dan koper Naura.
Aku berusaha segera melengkapi persiapan ku untuk pergi dari rumah ini. Tak lupa, aku membawa seragam sekolah, sepatu, buku, dan pakaian Naura. Di tengah kepanikan ini, satu pikiran terus menghantui pikiranku.
"Siap gak siap aku harus pergi dari kehidupan Adnan" gumamku
****