Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Rani
Ayu keluar dari kamarnya. Menghampiri Harini dan anak-anak yang sedang asyik bercanda di ruang tengah. Sementara Ninik pulang karena sudah malam.
"Mbak ke sini sama mas Ikram?" tanya Ayu duduk di samping Harini.
Keadaannya sudah mulai membaik. Hatinya yang tadi sempat rapuh kembali kuat dan tak akan mengingat masa lalu lagi.
"Iya, aku sudah menyuruhnya pulang. Untuk apa dia di sini, tidak ada gunanya," ucap Harini menohok.
Ayu membisu. Ia tak menceritakan tentang pertemuannya dengan Ikram di ujung jalan.
Harini mendongak. Menatap lampu pencahayaan yang sedikit redup. "Pantas saja remang-remang, ternyata lampunya kecil, Yu," tegur Harini tanpa aling-aling.
Ayu menanggapinya dengan senyuman. Ia tidak ingin anak-anak merasa tak nyaman, namun keadaan membuat mereka harus menerima dengan ikhlas. Harus bisa mengatur keuangan yang sangat tipis.
"Kak Joseph gak ikut?" Ayu menanyakan suami Harini. Mengalihkan perhatian wanita tersebut.
"Dia yang mengurus anak-anak. Jadi gak bisa ikut. Mungkin nanti akan menyusul ke sini kalau mereka liburan."
Mereka menatap anak-anak yang sibuk bermain. Makan malam memang sudah siap, namun Ayu dan Harini menunggu Hanan yang masih sibuk belajar. Ingin menikmati momen kebersamaan yang sudah lama hilang. Mungkin dengan begitu akan memberikan suasana baru.
"Aku punya sesuatu untuk kamu, Yu."
Harini mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Lalu meletakkan di pangkuan Ayu.
"Apa ini, Mbak?" tanya Ayu penasaran. Ia tak ingin menyentuh sebelum Harini menjelaskan.
"Buka saja!" titah Harini.
Ayu mengambil dan membukanya. Membaca tulisan yang ada di barisan paling atas. Hanya dengan itu saja ia sudah bisa menebak isi dari keseluruhan lampiran. Ternyata itu adalah sertifikat rumah atas nama Ayu.
"Untuk apa?" tanya Ayu polos.
Ia benar-benar tak tahu maksud Harini memberikan itu.
"Untuk kamu dan anak-anak. Tadi aku sudah bilang pada mas Joseph, dan dia setuju kalau aku membelikan rumah untuk kamu," jelasnya.
Ayu memasukkan kertas itu lagi. Mengembalikan pada Harini karena ia tak berhak menerimanya.
"Untuk saat ini aku memang belum bisa memberikan rumah yang mewah untuk anak-anak, Mbak. Tapi aku akan tetap berusaha membuat mereka bahagia." Menghela nafas panjang. ''Kalau Mbak ingin memberikan sesuatu, berikan saja pada Hanan atau Alifa, karena mereka yang berhak mendapat hadiah itu, bukan aku,'' terang Ayu.
Dari lubuk hati terdalam ia tidak ingin menolak pemberian Harini. Juga tidak tersinggung dengan apa yang dilakukan wanita itu, namun banyak yang ia pikirkan. Seandainya masih mau menerima bantuan darinya.
Harini pun tak memaksa. Ia paham yang dirasakan Ayu saat ini. Pasti sangat sulit dan lebih waspada mengambil keputusan.
''Baiklah, biar aku simpan dan akan memberikan pada Hanan nanti setelah dewasa.'' Memasukkannya lagi ke dalam tas.
Ayu berhamburan memeluk Harini. Beruntung memiliki saudara yang sangat baik dan tidak pernah memandang statusnya yang saat kini hanyalah mantan.
"Makasih ya, Mbak. Maaf kalau aku tidak bisa menerima pemberian dari, Mbak.''
Harini mengusap punggung Ayu dengan lembut. Sebagai sesama perempuan ia bisa mengerti dengan masalah yang menimpa adiknya itu.
"Lapar, Ma," keluh Hanan mengusap perutnya. Sebelum beranjak ia merapikan bukunya.
Harini langsung ke ruang makan. Menyiapkan dua porsi nasi untuk keponakannya.
Ayu menggiring ketiga anaknya menghampiri Harini.
Tak seperti malam sebelumnya yang hanya bertiga dan berteman dengan sepi, malam ini rumah Ayu lebih ramai dengan hadirnya Harini.
Hening
Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar saling bersahutan. Tak hanya Hanan, Alifa pun sudah mandiri dan bisa makan sendiri hingga tak merepotkan Ayu lagi.
Harini meneguk segelas air putih. Menatap Ayu yang nampak lahap. Padahal, makanan yang mereka santap hanya makanan sederhana, namun terasa sangat nikmat layaknya makan di restoran berbintang.
"Mau menginap di sini, Mbak?" tanya Ayu memelankan kunyahannya.
Harini mengangguk cepat. Satu-satunya tujuan pulang adalah ingin tinggal bersama dengan keponakan nya, dan ia tak ingin tidur di rumah Ikram.
"Sebentar, aku siapkan kamar dulu."
Ayu beranjak, namun pergerakannya terhalang oleh Harini.
"Kamar mana lagi yang akan kamu bersihkan. Di rumah ini hanya ada dua kamar. Aku yang tidur dengan anak-anak saja," ujar Harini antusias.
Ayu kembali duduk, ia pun tak bisa melarang keinginan wanita itu yang nampak penuh harap.
Malam semakin larut. Usai makan malam dan bercakap-cakap, Ayu dan Harini memindahkan Alifa dan Adiba yang terlelap di ruang tamu ke kamar. Lalu menyuruh Hanan tidur di kamar sang mama. Sebab, jika satu ranjang ada empat orang akan sangat sempit hingga salah satu harus tidur di kamar lain.
"Selamat tidur, Ma." Hanan melambaikan tangannya ke arah Harini yang sudah tiba di ambang pintu. Ia mengikuti langkah Ayu ke kamar sebelah setelah menyalakan lampu remang.
Harini berbaring di samping Alifa dan Adiba. Menatap mereka berdua yang sudah tenggelam di alam mimpi.
"Kamu sudah keterlaluan, Kram. Kamu meninggalkan anak-anakmu hanya demi wanita sialan itu.''
Jika teringat dengan Ikram, Harini semakin kesal, bahkan dadanya terasa hampir meledak.
Ia memutar otaknya untuk memberi pelajaran pada mereka berdua yang sudah berbuat semena-mena pada Ayu dan anak-anaknya.
"Mungkin tinggal di rumah Ikram bisa membuat berani mati kutu."
Harini cekikikan. Mencari cara supaya ia bisa membuat wanita itu tidak betah tinggal bersamanya.
Harini meraih ponsel yang ada di meja lalu menghubungi Ikram.
Tak berselang lama suara berat menyapa membuat Harini memulai senyum lebar.
"Aku akan tinggal di rumah kamu, mungkin sampai mas Joseph ke sini," ucap Harini tanpa basa-basi.
Rani yang ada di samping Ikram mendadak pias, namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya dengan paksa.
"Iya, Mbak. Besok aku akan siapkan kamar untuk, Mbak."
Tidak hanya Rani, Ikram pun cemas dengan kehadiran wanita itu. Pasalnya ia pasti akan terkekang dengan peraturan yang dibuat oleh Harini.
"Bagaimana ini, Mas? Apa kamu gak punya tempat tinggal lain untuk mbak Harini?" protes Rani.
Ikram terdiam. Sebagai pengusaha kaya ia memiliki banyak tempat mewah yang nganggur. Akan tetapi sulit baginya membujuk Harini untuk tinggal di tempat lain.
"Besok aku akan bicarakan dengan mbak Harini. Tidurlah, sudah malam." Ikram berpikir keras supaya Harini mau tinggal di tempat lain.
Ikram meringkuk. Memunggungi Rani yang masih cemberut. Ia merasa berada di titik kesulitan yang mendalam. Harini bukanlah orang yang gampang dibujuk. Ia akan murka jika tak sesuai dengan isuli hatinya.
Jalan satu-satunya aku dan Rani yang harus tinggal di tempat lain.
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2