Kisah tentang tiga anak indigo yang berjuang demi hidup mereka di dalam kiamat zombie yang tiba tiba melanda dunia. Mereka mengandalkan kemampuan indigo mereka dan para hantu yang melindungi mereka selama mereka bertahan di tempat mereka, sebuah rumah angker di tengah kota.
Tapi pada akhirnya mereka harus meninggalkan rumah angker mereka bersama para hantu yang ikut bersama mereka. Mereka berpetualang di dunia baru yang sudah berubah total dan menghadapi berbagai musuh, mulai dari arwah arwah penasaran gentayangan, zombie zombie yang siap menyantap mereka dan terakhir para penyintas jahat yang mereka temui.
Genre : horror, komedi, drama, survival, fiksi, misteri, petualangan.
Mohon tinggalkan jejak jika berkenan dan kalau suka mohon beri like, terima kasih sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Ajeng dengan santai duduk di depan mereka, tentu saja mereka sedikit lega karena Ajeng terlihat ramah dan baik kepada mereka. Reno yang mendengar ucapan Ajeng bertanya,
“Mau cari yang selamat lagi ya ?” tanya Reno.
“Iya, kita kembali menyisir ring satu untuk mencari yang selamat dan membersihan area yang termasuk ring satu,” ujar Ajeng.
“Oh gitu,” ujar Reno.
“Ngomong ngomong mba, ini kan penjara, narapidana nya masih ada ga ya ?” tanya Dewi.
“Hmm soal itu ya, tentu saja kalian pasti bertanya soal itu, tenang saja, narapidana di sini sudah bersih...maksudnya mereka semua jadi zombie dan kita bersihkan,” jawab Ajeng.
“Tidak ada sisa ?” tanya Reno.
“Tidak ada sisa sama sekali, ketika kita tiba di sini dua hari lalu, kondisi penjara sudah terbuka, seluruh yang ada di dalam sel hanyalah zombie zombie yang berusaha keluar sampai tubuh mereka hancur sendiri, kami sudah menyisir satu persatu selnya,” jawab Ajeng.
“Syukur deh kalau gitu,” balas Reno.
Tiba tiba Reno dan Dewi di kejutkan dengan kemunculan seorang pria di belakang Ajeng. Pria itu memakai seragam tentara dan berwajah sangat tampan, dia tersenyum ketika menyadari Reno dan Dewi melihat dirinya. Reno dan Dewi mundur sedikit, kemudian kepala mereka saling menempel,
“Lo liat Wi ?” tanya Reno.
“Iya liat, tiba tiba muncul,” jawab Dewi.
“Iya, siapa ya kira kira,” balas Reno.
“Ga tau, tapi yang pasti keren dan kalau di liat seragamnya, sama kayak mba ajeng,” balas Dewi.
“Coba tanya aja,” balas Reno.
“Tanya apa ?” tanya Dewi.
“Mba Ajeng punya suami ga,” jawab Reno.
“Ok, coba deh,” balas Dewi.
Keduanya kembali maju ke depan, Ajeng sedang menoleh untuk berbicara dengan seseorang yang kebetulan lewat di dekatnya sambil tetap duduk di depan keduanya, setelah Ajeng selesai bicara,
“Mba Ajeng, sori boleh tanya ga ?” tanya Dewi.
“Tanya apa ?” tanya Ajeng balik.
“Mba Ajeng punya suami ?” tanya Dewi.
“Punya, suami ku juga TNI, dia bertugas di solo, kok kamu tanya gitu ? mau minta nasihat cinta ya hehe,” jawab Ajeng ceria.
“Um...dia ada tahi lalat di pipi kanan nya ya mba ? namanya Budi ?” tanya Dewi yang membaca nama di seragam pria di belakang Ajeng.
“Loh kok kamu tau ? kamu kenal suami saya ya,” jawab Ajeng.
“Um....ga terlalu sih, mba Ajeng sudah kontak dia ?” tanya Dewi lagi.
“Belum, karena kontak terputus, aku sama sekali belum kontak dia selama semingguan ini, tapi aku positif thingking aja, aku yakin dia selamat dan suatu hari nanti akan berkumpul padaku,” jawab Ajeng sambil menunduk.
“Iya mba, pikir positif aja,” balas Reno.
Reno dan Dewi melihat pria bernama Budi di belakang Ajeng, wajah Budi terlihat sedikit sedih walau dia tetap tersenyum, dia terlihat seperti mengucapkan terima kasih dan mengangkat telapak tangannya ke atas kemudian menggelengkan kepalanya dengan perlahan. Reno dan Dewi mengangguk, keduanya langsung menunduk dan tangan mereka mengepal. Air mata mulai keluar dari mata Dewi dan menetes membasahi pipinya. Ajeng yang melihat Dewi menitikkan air mata langsung menaruh gelasnya dan mendekat ke Dewi.
“Dewi kamu kenapa ?” tanya Ajeng.
“Um...um.....,”
“Ga apa apa mba, dia kelilipan, (membalik tubuh Dewi menghadap dirinya) coba liat sini,” ujar Reno sambil mendekatkan wajahnya ke depan wajah Dewi. “Jangan ngomong, tahan, gue tau ini sedih tapi tahan, itu permintaan mas Budi,” ujar Reno berbisik di telinga Dewi.
“Iya gue ngerti,” balas Dewi berbisik.
“Tuh kan, debu, makanya abis ini cuci muka ya,” ujar Reno sambil membersihkan air mata Dewi.
“I..iya mba Ajeng, kena debu, ga usah khawatir,” balas Dewi memaksakan diri tersenyum.
“Kalau kalian masih lelah, tidur saja lagi, tidak apa apa kok, aku ngerti banget, tentunya berjuang selama seminggu menghadapi semua ini pasti berat banget bagi kalian, tidak usah khawatir, kami pasti menjaga kalian dan membersihkan semua yang berani kesini,” balas Ajeng.
“Iya mba Ajeng, kami percaya kok kalau mba Ajeng bisa di andalkan, tapi...tolong hati hati ya kalau keluar mba Ajeng,” ujar Dewi.
“Pasti dong, aku tidak akan meninggal sampai aku bisa bertemu lagi dengan mas Budi, suami ku, kalau boleh jujur, sebenarnya aku kangen banget ama dia haha,” balas Ajeng ceria.
“I..iya mba, nanti pasti ketemu lagi,” balas Reno.
Hati Reno dan Dewi semakin sakit melihat Ajeng yang bersemangat dan tetap positif, tapi ketika mereka melihat ke belakangnya, mereka terus melihat Budi yang menggelengkan kepalanya memberi isyarat supaya mereka tidak mengatakan kepada Ajeng kalau dia sudah tidak ada di dunia.
“Ok de, aku harus ke ruang briefing sekarang, aku permisi dulu ya,” ujar Ajeng berdiri.
“Iya mba, ingat ya mba, hati hati,” balas Dewi.
“Iya, makasih ya, kalian istirahat saja, nanti sore aku kembali, dadah,” ujar Ajeng sambil berjalan dan kemudian melambaikan tangannya.
Reno dan Dewi melambaikan tangannya, Budi yang mengikuti Ajeng juga menoleh ke arah keduanya sambil tersenyum dan dia sedikit menunduk seakan akan mengucapkan permisi dan terima kasih. Setelah Ajeng keluar melalui pintu di belakang bangsal, Dewi langsung membenamkan kepalanya di pundak Reno yang langsung merangkulnya dengan satu tangannya.
“Huaaaaaa,” Dewi menangis di pundak Reno supaya suaranya tidak terdengar.
“Udah...udah Wi, kita doakan aja mas Budi supaya di terima di sana, tapi gue bangga ama lo, sampe detik terakhir lo ga ngomong ama mba Ajeng,” balas Reno.
Dewi mengangguk dan terus menangis, Reno mulai berpikir, karena Budi yang bertugas ke solo sekarang kembali menjadi hantu yang mengikuti Ajeng di jakarta, berarti kondisi kota solo kurang lebih sama seperti jakarta atau bahkan lebih parah dari jakarta. Reno menyadari, indonesia atau bahkan dunia sudah tenggelam di dalam badai zombie dan dunia sudah tidak berputar lagi, masa depan yang kelam menunggu dirinya, Dewi dan Felis di dunia yang sudah tidak menentu.
“Sekarang harus bagaimana,” ujar Reno sambil membenamkan kepalanya ke pundak Felis yang sedang di pangkunya.
******
“Ren...Ren...Reno...bangun Ren,”
“Ugh,” Reno membuka matanya, dia melihat wajah Dewi tepat berada di depan nya, bibirnya langsung manyun maju ke depan, “plak,” terdengar suara nyaring yang menandakan telapak Dewi mendarat di pipinya.
“Aaaaaw...apaan sih,” ujar Reno sambil memegang pipinya.
“Ngapain lo manyun ?” tanya Dewi.
“Ya muka lo ada pas di depan gue, ya gue manyun lah,” jawab Reno.
“Jangan bercanda, gue serius, Felis ilang Ren, kita harus cari dia,” ujar Dewi panik.
“Hah,” Reno langsung menyadari kalau dia tidak lagi memangku Felis, dia menoleh dan melihat sekelilingnya, dia tidak melihat Felis berada di dalam bangsal. Reno langsung berdiri,
“Ayo Wi, kita cari,” ujar Reno.
“Iya, ayo,” balas Dewi.
Keduanya berlari berpencar memutari bangsal, mereka melihat dan bertanya kepada seluruh pengusi yang berada di dalam bangsal, namun tidak ada satupun yang mengatakan kalau mereka Felis, termasuk para relawan dan tentara, mereka juga tidak melihat Felis di manapun, Reno dan Dewi berkumpul kembali di depan pintu bangsal,
“Ga da Wi, kemana sih dia ?” tanya Reno.
“Ga tau, aduh gimana nih, dia masih kecil lagi,” jawab Dewi panik.
“Tenang, jangan panik, kalau di dalam ga ada, coba cari di luar,” balas Reno.
“Ayo Ren, cepet, kita harus menemukan dia,” ujar Dewi.
Keduanya berlari keluar bangsal, mereka menelusuri lorong dan sampai ke lapangan, keduanya langsung lega karena melihat Felis berdiri di pagar kawat yang membatasi lapangan dengan gedung, sepertinya Felis sedang melihat ke lapangan, kedua tangan kecilnya memegang pagar kawat pembatas. Reno dan Dewi berlari mendekati Felis, langsung saja Reno menggendong Felis dan Dewi memeluknya,
“Kamu kalau pergi bilang bilang dong,” ujar Dewi menegur Felis.
“Hik...hik,” Felis menangis, tangan kecilnya mengucek matanya.
“Kenapa Fel ?” tanya Reno.
“Kak Reno....kak Dewi, Felis mau pulang, Felis ga betah di sini, Felis mau pulang, hik...hik,” ujar Felis.
Reno dan Dewi saling melihat satu sama lain, kemudian Reno menurunkan Felis dan jongkok di depannya,
“Felis, kamu ingat kan om dan tante yang semobil sama kita semalem ?” tanya Reno.
“Inget,” jawab Felis.
“Nah mereka kan petugas kebersihan tuh, sekarang mereka sedang membersihkan rumah kita,” ujar Reno sambil menoleh melihat Dewi dan berkedip.
Dewi yang mengerti maksud Reno, langsung jongkok di depan Felis, dia langsung mendekap Felis,
“Sabar ya Felis, nanti kalau rumah kita sudah bersih, kita pulang,” tambah Dewi.
“Janji ya kak Reno, kak Dewi,” balas Felis.
“Janji,” balas Reno dan Dewi bersamaan.
“Ya udah, Felis udah ga apa apa,” ujar Felis sambil tersenyum kembali.
“Nah gitu dong, lain kali ga boleh berkeliaran sendirian ya, kalau ada orang jahat gimana ? misal narapidana yang ada di sini,” ujar Reno.
“Iya, walau kata mba Ajeng udah aman dan semua narapidana udah di basmi tapi kan tetap harus hati hati,” tambah Dewi.
“Hmm...siapa yang bilang di sini sudah tidak ada narapidana, masih ada kok tapi di kurung di gedung lain,” ujar seseorang di belakang Reno dan Dewi yang sedang jongkok di depan Felis.
Karena kaget, Reno dan Dewi langsung berdiri, di belakang mereka ternyata berdiri seorang pria paruh baya bertubuh kurus, berkepala separuh botak, berhidung bengkok dan wajahnya nampak sangat licik tepat di belakang pagar pembatas. Mata pria itu melihat Dewi dari atas ke bawah kemudian naik ke atas lagi seperti sedang memindai tubuh Dewi dan tersenyum licik, tentu saja Dewi yang merasa tidak enak langsung bersembunyi di belakang Reno sambil menggendong Felis.