Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Menolak Lamaran
"Maaf ya, semua.. Tadi ada urusan." kata Hanung kepada anak-anak kelas 2 yang sudah menunggunya.
"Nanti Hanung jelasin, Bu." kata Hanung yang melihat tatapan tanya dari Ibu Jam.
Hanung pun segera mencuci tangan dan menemui anak-anak. Hari ini bukan hari belajar melainkan hari PR. Jadi mereka mengeluarkan PR Tematik yang mereka miliki. Pertama-tama Hanung meminta mereka mengerjakan sebisa mereka dan setelah mereka selesai, Hanung akan membahasnya.
"Sudah selesai, Mbak!" seru salah satu anak.
"Belum!" seru yang lain.
"Santai saja, yang sudah selesai coba di cek lagi." kata Hanung menengahi.
Setelah semuanya selesai, Hanung meminta mereka bertukar buku. Lalu meminta mereka membaca satu persatu. Semuanya lancar sampai disoal ke 6, jawaban yang dibaca salah. Hanung pun membahas kesalahan tersebut dengan menjelaskan.
Anak-anak yang sudah paham, menyalin jawaban mereka ke buku tulis. Dan yang belum paham, masih mendengarkan penjelasan Hanung.
"Jadi, 1 baris balok ini nilainya 10. Kalau ada 5 balok, kita hitung 10+10+10+10+10. Berapa?" tanya Hanung.
"50." seru Nayla.
"Betul. Lalu, kalau ini berapa?" tanya Hanung yang menunjuk ke arah tumpukan balok.
"4 baris 10 dan 1 baris 5, jadi.. 45!" seru Nayla.
"Sudah paham kan? Sekarang kamu salin kalau tidak, kamu akan pulang terakhir."
"Siap, Mbak!"
Jika di kelas 1 ada Didik yang sedikit lambat, di kelas 2 ada Nayla, dan begitu juga dikelas lain. Sekolah di desa Hanung terbatas. Hanya ada satu sekolah yang mengakomodasi beberapa desa. Sehingga pihak sekolah menerapkan sistem jam pagi dan siang untuk membagi jam masuk setiap kelas.
Maka dari itu, para tetangga meminta Hanung untuk membantu anak mereka belajar. Mereka bahkan bersedia menyiapkan meja untuk digunakan anak mereka saat les. Hingga Ibu Jam dan Hanung merelakan ruang tamu mereka untuk digunakan.
Setelah anak-anak pulang, Hanung masih ada 2 kali jadwal les hari ini. Sebelum itu ia memutuskan untuk makan siang yang sudah terlewat. Ia bertemu Iwan yang juga sedang makan siang karena baru saja pulang sekolah.
"Mbak, nanti aku ikut les malamnya." kata Iwan setelah selesai makan.
"Tumben?"
Pasalnya Iwan tak pernah ikut lesnya, jika ada pertanyaan ia akan bertanya langsung kepada Hanung.
"Ada PR yang tidak aku mengerti. Kalau menunggu Mbak Hanung kosong, takut mengganggu jam istirahat."
"Padahal biasa begitu." goda Hanung.
"Mbak Hanung tidak asyik!" kesal Iwan yang pergi meninggalkan Hanung.
"Jadi, kenapa tadi pulangnya siang sekali?" tanya Ibu Jam yang menghampiri.
"Umi Siti minta bantuan di dapur tadi, Bu. Sebenarnya Umi Siti minta sampai selesai makan siang, tetapi Hanung tidak bisa. Dan dijalan tadi macet karena ada kecelakaan di lampu merah arah pasar.
"Innalillahi.. Apa anak-anak libur?"
"Iya. Libur 4 hari kata Umi Siti tadi."
"Pantas saja Umi Siti bersemangat mendengar kamu mau kesana, akhir bulan maulid ini anak-anak libur."
"Hanung tidur sebentar ya, Bu. Sakit kepala kepanasan di jalan tadi."
"Iya, jangan lupa dzuhur dulu. Nanti Ibu bangunkan kalau sudah jam 3." Hanung menganggukkan kepalanya.
Hanung yang hanya terlelap sebentar, bangun sekitar pukul 14.30. Ia pun memutuskan untuk mandi. Tetapi ketika ia masuk ke dalam kamar mandi, tidak ada air didalam bak.
Ia pun menyalakan pompa air. Tetapi tidak ada suara air mengisi di penampungan. Hanung berjalan keluar menuju sumur. Disana sudah ada Ibu Jam dan Marsudi yang sedang memperbaiki pompa air.
"Pompa nya masuk angin, Bu. Jadi bagian ini harus dibuka, lalu diisi air. Sepertinya air sumurnya surut juga, Bu."
"Terimakasih Mas Marsudi. Nanti saya cari Lek Samin untuk melihatnya." ucap Ibu Jam.
"Sama-sama, Bu. Kebetulan saya juga ada perlu dengan Hanung." Ibu Jam pun melihat kearah Hanung yang baru saja datang.
Sedangkan Hanung yang masa bodoh dengan percakapan Ibu Jam dan Marsudi, bingung dengan tatapan sang ibu. Ibu Jam menggelengkan kepala pelan dan mempersilakan Marsudi duduk di teras. Beliau juga meminta Hanung untuk menyuguhkan minuman.
"Maaf, disini saja takut mengundang fitnah."
"Iya, Bu. Saya mengerti."
"Ini minumnya, Mas. Silahkan diminum." Hanung menyuguhkan 2 cangkir teh untuk Marsudi dan Ibu Jam.
"Mbak Hanung tetap disini, katanya Mas Marsudi ada yang ingin disampaikan."
Hanung mengangguk dan ikut duduk disebelah Ibu Jam. Marsudi pun menatap kearah Hanung yang mengenakan gamis polos berwarna coklat dengan hijab instan senada.
"Hanung, sebelumnya saya minta maaf. Mungkin kamu sudah mendengar pembatalan lamaran dari orang tua saya. Tetapi saya sungguh tidak ada niatan untuk membatalkannya. Jadi, saya kesini untuk meyakinkan kamu atas keinginan saya untuk melamar kamu." Ibu Jam dan Hanung saling pandang.
Ibu Jam memberikan anggukan, tanda beliau menyerahkan keputusan kepada Hanung. Hanung pun mengutarakan pikirannya dengan mengatakan jika sebaiknya mengikuti keputusan kedua orang tua Marsudi. Alasannya sederhana. Menikah bukan hanya hubungan antara suami dan istri, melainkan juga hubungan kedua orang tua.
Jika orang tua sudah tidak setuju diawal, dipaksa pun akan menjadi masalah dikemudian hari. Hanung tidak menginginkannya. Lagipula, Hanung belum ada niatan untuk menikah saat ini.
Marsudi menunduk. Sungguh malu ia dengan sikap Hanung yang lebih dewasa dibandingkan dirinya. Ia hanya memikirkan perasaannya tanpa berpikir bagaimana kedepannya. Ibu Jam pun membenarkan ucapan Hanung dan menyarankan Marsudi untuk mendengarkan perkataan orang tuanya. Biarkanlah hubungan mereka tetap seperti ini daripada menjadi musuh.
"Salut sama kamu, Mbak." kata Ibu Jam setelah Marsudi pulang dengan wajah lesu.
"Salut apanya, Bu?" Hanung menghabiskan teh yang tidak tersentuh.
"Kamu menolak lamaran tanpa berkedip!" goda Ibu Jam.
"Iya-ya, Bu. Harusnya tadi Hanung sambil berkedip-kedip." Hanung tak mau kalah.
"Yang ada kamu dibilang "kiyer"!" Hanung tertawa, membuat Ibu Jam meninggalkannya di teras.
Hanung tak menyesali keputusannya menolak Marsudi. Ia sama sekali tak merasakan ketertarikan dengan Marsudi, walaupun laki-laki tersebut memiliki sikap yang lembut dan pengertian. Memang sifat yang cocok sebagai guru, tetapi tidak menarik di mata Hanung. Ia justru membandingkan Marsudi dengan laki-laki yang ia tabrak tadi.
"Astagfirullah.. Apa yang aku pikirkan? Kenal saja tidak!" gumam Hanung sambil menepuk dahinya.
Ia pun berlari masuk kedalam rumah dan mandi sesuai niat awalnya sebelum anak-anak datang. Selesai mandi, Hanung menyempatkan membantu Ibu Jam di dapur menyiapkan makanan untuk Jamal dan Nada.
"Assalamu'alaikum.." salam serempak terdengar dari luar, yang sudah bisa dipastikan adalah suara anak-anak.
"Wa'alakumsalam.." jawab Hanung dan Ibu Jam.
Segera Hanung pergi menyambut anak-anak dan memulai sesi PR mereka.
padahal udah bagus lho