"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18 - Masih labil
Malam itu Nadia memutuskan untuk menginap di rumah Saga karena sudah terlalu malam untuk pulang. "Aku akan tidur di sofa, tidak usah khawatir," kata Nadia dengan senyum ramah.
"Baiklah, jika itu membuatmu nyaman. Terima kasih sudah membantu Lea tadi."
Lea yang masih mendengar percakapan itu dari kamarnya, kini hatinya merasa semakin sesak. "Bibi Nadia hanya mencari alasan untuk tetap bersama Paman," pikir Lea dengan kesal.
Keesokan Harinya...
Pagi itu, Lea bangun dengan suasana hati yang buruk. Saga dan Nadia yang sudah berada di dapur asyik mengobrol sambil menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi, Lea, sudah merasa baikan?," sapa Nadia dengan ceria.
Lea hanya mengangguk tanpa bicara dan langsung duduk di meja makan. Sementara, Saga memperhatikan perubahan sikap Lea, tetapi menganggap itu masih karena masalah di sekolah.
"Lea, kamu mau telur dadar atau roti panggang?," tanya Saga dengan senyum.
Lea mengangkat bahunya. "Apa saja," jawabnya singkat.
Selama sarapan, Lea sengaja menjatuhkan sendoknya berulang kali dan membuat suara berisik karena berharap Saga akan menyadari rasa tidak sukanya pada Nadia.
Namun, Saga dan Nadia hanya saling bertukar pandang dan mencoba mengabaikan tingkah Lea yang aneh itu.
Setelah sarapan, Saga dan Nadia duduk di ruang tamu, berbincang tentang berbagai hal. Lea yang merasa semakin kesal, memutuskan untuk pergi ke kamar dan mengunci diri di sana.
"Kenapa Paman tidak mengerti? Kenapa bibi Nadia harus selalu ada?," pikirnya. Ia merasa hatinya tersayat setiap kali melihat kedekatan Saga dan Nadia.
Kebetulan hari ini hari libur, Lea tidak perlu pergi ke sekolah. Terlebih setelah kejadian kemarin, rasanya Lea menjadi sedikit enggan untuk pergi ke sekolah.
Beberapa saat kemudian...
Tok tok tok!
"Lea, Paman harus pergi sebentar, kamu tidak apa-apa di tinggal sendirian?," tanya Saga.
Hening, tidak ada jawaban dari dalam. Saga menghela napas karena merasa bingung juga khawatir.
Lalu Nadia menyusul dengan mengetuk pintu kamar Lea. "Lea, bibi pulang dulu ya, kamu baik-baik saja kan?."
Tetap, tidak ada jawaban dari Lea. Nadia dan Saga saling berpandangan dan bertanya-tanya.
"Sudahlah, kita pergi saja, mungkin dia perlu waktu untuk sendiri," ujar Saga.
Lea mendengar langkah kaki mereka yang menjauh. Ia lalu menarik selimutnya dan menutupi seluruh tubuhnya seraya menangis. "Hiks hiks... Aku tahu, Paman Saga pasti pergi untuk mengantar bibi Nadia... hiks hiks...."
Air mata Lea terus mengalir dengan perasaan cemburu dan kesepiannya. "Kenapa Paman tidak pernah mengerti? Kenapa dia tidak pernah bertanya apa yang Lea rasakan?," gumamnya di antara isak tangis.
Umurnya yang sedang labil membuatnya bertingkah serba salah dan mudah marah dengan mood yang berubah-ubah.
Lea merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, ia ingin Saga selalu bersamanya, tapi di sisi lain, ia merasa semakin terabaikan oleh kehadiran Nadia.
Sementara itu, Saga mengendarai mobil dengan ekspresi serius, sesekali ia melirik ke arah Nadia yang duduk di sebelahnya. "Aku khawatir dengan Lea. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan," kata Saga.
"Aku juga merasa begitu. Mungkin kita perlu memberinya ruang dan waktu untuk menceritakan semuanya."
"Semoga saja dia mau terbuka pada kita."
-
-
"I Love You, Paman."
Seketika suara Lea terngiang di benak Saga hingga membuatnya mulai memikirkan kembali ungkapan Lea.
Saga pun menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis karena merasa konyol telah memikirkan hal itu.
Adapun Lea, ia terus menangis hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. Dalam tidurnya, ia bermimpi tentang masa kecilnya bersama Saga. Ia teringat betapa bahagianya mereka dulu, hanya berdua, tanpa ada orang ketiga.
~ Hmm... Adakah di antara para readers yang pernah menyukai orang yang berbeda usia? Yang bahkan lebih tua? Jangan dikira, yang lebih dewasa lebih mateng lho... 😁 ~
**
Sepulangnya Saga yang awalnya mengatakan hanya sebentar, nyatanya Saga baru pulang setelah beberapa jam kemudian...
Saat tiba di rumah, Saga terkejut melihat keadaan rumah yang kini sudah lebih rapi dan bersih. Pakaian sudah terjemur, bahkan tercium aroma masakan yang menggugah selera dari dalam rumah.
"Siapa yang masak?," gumam Saga seraya membuka sepatu dan membuka pintu.
Saat membuka pintu, Saga melihat Lea yang sedang sibuk menata hidangan di meja makan. Lea pun melihat kedatangan Saga lalu menyambutnya dengan ceria.
"Paman sudah datang?," serunya sambil berjalan menghampiri.
Saga sempat tertegun karena merasa heran dengan perubahan ekspresi Lea. Padahal sejak semalam sampai tadi pagi, ia sangat dingin dan terlihat kesal, tapi sekarang lebih ceria dan tersenyum bahagia.
"Paman kok bengong aja?."
Seketika Saga tersadar dan mulai berjalan menuju meja makan di tuntun Lea. "Paman pasti lapar, Lea sudah buatkan makanan, kita makan yuk!," ajak Lea bersemangat.
"Waah... Ini beneran kamu yang masak?," tanya Saga sambil melihat raut wajah Lea yang mungkin berubah lagi.
"Tentu dong Paman, semua ini Lea yang masak, spesial untuk Paman," balas Lea sambil menyiapkan piring untuk Saga.
Saga merasa berat hati, pasalnya baru saja dia sudah makan bersama Nadia.
"Paman, ayo di makan," pinta Lea.
Saga menghela napas karena merasa tidak enak hati. "Lea, sebenarnya paman sudah makan tadi di luar."
Perasaan kecewa mulai Lea rasakan hingga semangat makannya pun berkurang. "Sama bibi Nadia?," tanya Lea dengan tatapan menghakimi.
"Ya sudah kalau begitu, tidak usah makan!," lanjut Lea dengan nada ketus dan raut wajah kembali kesal.
"Tapi paman masih ingin makan kok," seru Saga sambil hendak mengambil nasi karena merasa tidak enak hati.
"Tidak usah memaksakan diri, Lea gak papa kok," timpal Lea menyudahi makannya yang belum habis. Lalu beranjak membereskan meja makan, meninggalkan Saga yang hanya bisa menggigit sendok karena terpaku.
Lea membereskan piring dengan gerakan cepat dan kasar sambil menumpahkan air matanya tanpa suara.
Lalu Saga menghampiri Lea dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Lea, maafkan Paman. Paman tidak bermaksud membuatmu kecewa," ucap Saga.
Lea berhenti sejenak lalu menatap Saga dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa Paman tidak mengerti? Lea sudah berusaha keras untuk membuat Paman senang. Tapi Paman selalu lebih memilih bibi Nadia."
Saga terdiam dan merasa tidak berdaya. Ia ingin memeluk Lea, tapi takut perasaan gadis itu semakin terluka. Juga karena Lea yang sudah beranjak dewasa membuatnya seakan berjarak untuk lebih menghormatinya.
"Lea, Paman belum mengerti, apa maksud Lea sebenarnya?."
"Maksud Lea, jangan biarkan bibi Nadia mengambil Paman dari Lea!," balas Lea sambil berlari ke kamarnya, meninggalkan Saga yang terpaku dengan perasaan bersalah dan bingung.
Blugg!
Lea menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu menangis tersedu-sedu di atas tempat tidurnya. Ia merasa cemburu dan terluka. Perasaan tidak menentunya itu membuatnya bingung.
"Hu u u u... Gak ada yang mengerti Lea! Semua orang di sekolah sangat jahat! Paman Saga juga tidak mengerti perasaan Lea! Hiks hiks hiks...."