Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Berakhir
"Ini memang, bukan anakmu!"
"Bukan anakmu!"
"Aku pikir, masih bisa mendapat sedikit keuntungan dengan kehamilanku."
"Aaaaa.... " Zamar berteriak sekeras mungkin, sembari memukuli dadanya yang sesak. Wajahnya memerah, bercampur air mata, yang menggenang.
Beberapa pengunjung, yang berada di taman rumah sakit, menatapnya bingung. Ada yang merasa iba, mungkin pria itu kehilangan orang yang dikasihinya.
Zamar masih belum merasa lega, ia masih ingin meluapkan amarahnya. Hatinya, sangat tidak terima dengan pengakuan Maya. Apa yang salah dengan hubungan ini? Ia memberikan semua yang terbaik untuk gadis itu. Tapi, kenapa? Kenapa?
Bugh, bugh.
Kenapa? Kenapa?
Perih di jari-jari Zamar, seolah tidak terasa. Ia meluapkan amarah, dengan menjadikan pohon sebagai sasarannya.
Bugh, bugh, kecepatan tangannya beriringan dengan air matanya yang menetes jatuh. Begitu, juga pertanyaan dalam hati, yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Tuan, tolong hentikan!"
Zamar menoleh, dengan penampilan berantakan. Air mata yang menggenang, wajahnya basah dan tangannya dipenuhi bercak darah.
Huan tampak iba, untuk pertama kalinya, ia melihat atasannya, sangat terpuruk dan menyedihkan. Lima tahun ia mengikutinya, ini adalah titik terendah dalam hidup sang presdir.
"Apa aku tidak pantas untuknya? Tiga tahun, aku memberikan segalanya. Tapi, kenapa ini yang aku dapatkan? Aku_"
Zamar menunduk dengan terisak. Ia jatuh diatas rerumputan, mengabaikan sang sekretaris. Ia tidak peduli lagi, dengan harga diri dan wibawanya sebagai seorang presdir. Lara dalam kalbunya, sangat menyayat perih dan menyakitkan. Ia tidak mampu berpikir jernih, karena tertutupi oleh kekecewaan dan sakit hati.
"Tuan. Tolong, bersabarlah!" ujar Huan, yang mencoba menenangkan. Ia sendiri bingung, menghadapi atasannya, yang sedang putus cinta.
Zamar tidak menjawab. Ia bangkit dengan mengusap wajahnya. Berjalan meninggalkan rumah sakit, diikuti Huan dibelakangnya.
"Kita ke apartemen," perintah Zamar, yang sudah duduk di kursi belakang.
"Baik, Tuan." Huan melaju dengan kecepatan sedang.
"Bagaimana dengannya?" tanya Zamar di sela-sela perjalanan mereka.
"Nona sudah siuman."
Zamar tidak menjawab lagi. Ia hanya menatap keluar melalui kaca jendela. Langit sudah gelap, matahari sudah tenggelam dan posisinya mulai diganti sang cahaya malam.
"Selesaikan semua administrasi rumah sakit dan panggil pelayan itu, untuk kembali. Mulai hari ini, biarkan Maya mengurus hidupnya seorang diri," titah Zamar, yang belum menoleh.
"Baik, Tuan."
Sepanjang jalan, Zamar kembali membisu. Ia duduk bersandar dengan mata terpejam. Entah dia tidur atau tidak.
Tiba di apartemen, Zamar masih belum bersuara. Ia melihat koper dan tas Maya, yang sudah dibereskan. Ia tidak berkomentar dan hanya melangkah masuk dalam kamar.
Dilihatnya, isi lemari yang menyisakan pakaian yang masih menggantung. Tas mewah yang masih terbungkus rapi dan kotak perhiasan yang sama sekali belum digunakan.
Di laci, ada kartu debit dan kredit yang Maya simpan dengan rapi. Sepertinya, gadis itu tidak pernah menggunakannya.
"Huan," panggil Zamar
"Iya, Tuan."
"Cabut beasiswa Maya dan kirim barang-barangnya ke rumah sakit."
"Hah! Tapi, Tuan_"
"Kenapa?" Zamar sudah memicingkan mata.
"Bagaimana dengan pernikahan Anda? Nyonya pasti akan terima?"
"Kau menyarankan ku, menikahi wanita yang sudah menipuku dan membesarkan anak orang lain. Begitu?"
"Bukan itu, maksud saya, Tuan. Saya_"
"Cukup! Lakukan saja, apa yang aku minta!"
"Baik, Tuan."
"Pulanglah. Jemput aku besok, disini."
Huan berpamitan. Sebelum pulang, ia membawa serta barang-barang Maya, bersamanya. Tugas berikutnya, pasti akan sulit bagi Huan. Karena, menyangkut pernikahan yang pasti sudah akan dibatalkan.
🍋🍋🍋
Di rumah sakit, Maya duduk bersandar diatas brankar. Pandangannya kosong dengan wajah yang sembab. Ia sudah tidak menangis lagi, tapi lebih banyak membisu.
Makanan diatas meja, sudah dingin dan belum ia sentuh. Pelayan yang bersamanya, juga sudah berpamitan pulang.
"Aku tidak mau menghabiskan uang dan waktuku, untuk anak harammu!"
Maya tersenyum, tapi hatinya menangis. Luka, tapi tak berdarah. Perkataan Zamar begitu membekas dalam ingatannya, dan ia akan mengingat ini seumur hidup.
Lalu, bagaimana sekarang? Pernikahannya, mungkin akan dibatalkan. Tapi, bagaimana dengan anak dalam kandungannya? Ia sudah lelah memohon, tapi tak jua mendapatkan kepercayaan. Ia seakan tidak punya pilihan lain, selain membesarkannya seorang diri.
Suara pintu diketuk, membuat Maya menoleh. Sekretaris Huan datang, dengan membawa koper dan tas, yang terasa familiar dimatanya.
"Nona, _" Huan menjeda kalimatnya, bingung harus mengatakannya. Wanita didepannya, pasti akan merasa sakit mendengarnya dan dia tidak tega.
"Terima kasih. Maaf merepotkanmu," ujar Maya, yang sudah mengetahui, maksud kedatangan Huan.
"Nona, bersabarlah," ujar Huan dengan sunguh-sungguh.
"Terima kasih, Huan. Tolong, berikan ini pada Zamar." Maya mengembalikan kartu debit, yang ia gunakan selama ini. "Katakan padanya. Karena, ia tidak percaya padaku, maka jangan pernah ia mencariku. Hiks, hiks, hiks." Maya terisak, setelah memberitahu Huan. Sangat sakit, mengatakannya secara langsung, dari pada saat masih tertanam dalam hati.
Huan menerima kartu itu. Ia merasa iba pada pasangan kekasih ini. Mereka tersakiti, hanya karena sebuah kesalahpahaman. Mungkin, sudah seperti ini takdir yang harus mereka lalui.
"Nona, aku sudah menyiapkan tempat tinggal untuk Anda. Maaf, aku hanya bisa melakukan itu."
"Terima kasih, Huan. Kau tidak perlu melakukannya. Tapi, bolehkah aku bertanya mengenai Sandra? Apa benar dia berada di luar negeri?"
"Benar, Nona. Dia sudah berada selama seminggu disana. Nona Sandra kabur dari perjodohan orang tuanya."
Lalu, siapa yang bersamaku malam itu? Aku tidak. mungkin salah, dia adalah Sandra.
Maya sudah mencoba menghubungi sahabatnya, namun tak pernah tersambung. Hal ini, membuatnya semakin yakin, dengan pikirannya.
"Terima kasih, Huan."
"Baik, Nona. Saya permisi."
Maya kembali tinggal seorang diri. Ia menatap koper dan tasnya, disudut ruangan. Berakhir! Semua sudah selesai. Itu adalah hal pertama, dalam pikiran Maya. Mulai besok dan seterusnya, ia harus kembali hidup seperti dulu. Meski, semuanya tidak sama lagi, karena ada tanggung jawab yang harus ia pikul.
Maya mematikan ponsel, lalu mengeluarkan card. Ia mematahkannya, menjadi dua bagian. Mungkin, ini adalah langkah pertama yang harus ia lakukan untuk menjalani hidup baru. Melupakan semua yang pernah terjadi dan menganggapnya tidak pernah ada.
Ponselnya kembali dinyalakan dan wajah Zamar memenuhi layar. Maya kembali menitikkan air mata, untuk kesekian kalinya. Munafik! ia mencemooh dirinya, yang menangis. Berat dan tidak rela, jika harus menghapus foto Zamar.
Tiga tahun, bukan waktu yang singkat. Banyak kenangan yang mereka ukir bersama. Menghapusnya begitu saja? Maya merasa tidak rela.
Ia kembali menangis pilu, memeluk ponselnya dalam dekapan. Andai saja ia tidak minum, mungkin ia akan tahu, apa yang terjadi malam itu.
Sandra, kenapa dia begitu tega? Mereka sudah seperti saudara, tapi kenapa menusuknya dari belakang? Apa dia sudah lama merencanakan ini?
🍋 Bersambung.
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan