Firnika, ataupun biasa di panggil Nika, dia dipaksakan harus menerima kenyataan, jika orang tuanya meninggal tepat, sehari sebelum lamarannya. Dan dihari itu juga, orang tua pasangannya membatalkan rencana tersebut.
Yuk ikuti kisah Firnika, dan ke tiga saudara-saudaranya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Bahagia
Sudah setahun Safana menikah, dia belum juga hamil. Beruntung, dia memiliki mertua seperti bidan Reni, karena dia tidak mempermasalahkan tentang kehamilan menantunya, bukan seperti mertua kebanyakan.
Keseharian Safana berubah. Dia menjaga minimarket dengan suaminya, dan tentu saja Hardi membayar gaji diluar dari nafkah darinya.
Dengan persetujuan dari Hardi, setiap gaji yang dibayarkan oleh suaminya, Safana selalu memberikannya kepada Nika.
Seperti hari ini, Safana kembali datang untuk memberikan gajinya, walaupun tidak semuanya.
"Ini kak, untuk adik-adik." ujar Safana menyerahkan amplop coklat.
"Kamu terlalu banyak membantu, padahal akhir-akhir ini, loudry kakak juga banyak pelanggan." ujar Nika. Dia belum juga mengambil amplop yang Safana taruh di dekatnya.
"Simpan aja kak, siapa tahu nanti Kanaya bisa kuliah. Cukup kita aja yang tamat sampai SMA." ujar Safana.
Barulah, Nika mengambil uang tersebut.
"Lagipula, ini uangku kak. Bukan uang dari nafkah yang Abang berikan." jelas Safana.
"Kamu bahagia kan?" tanya Nika.
Ah, seharusnya Nika tahu itu. Bukankah, selama ini adiknya selalu memancarkan wajah penuh kegembiraan. Bahkan, dia pun, ikut merasakannya.
"Sangat bahagia kak, mereka tidak pernah merendahkan aku. Terlebih mertuaku." tutur Safana membuat Nika melebarkan senyumnya.
"Bahkan, ide memberiku gaji adalah dari mertuaku kak. Dia juga yang menyuruhku untuk memberikan sebagian uang untuk kalian." tambah Safana.
Padahal, selain dari gajinya. Safana dan Hardi kerap kali memberikan aneka sembako mereka.
Tak lama kemudian, Amar pulang sekolah. Dia sangat senang kala melihat Safana di rumah, apalagi, melihat tentengan yang Safana bawakan.
"Boleh gak, nanti aku bagi-bagi sama teman." tanya Amar, setelah memeluk Safa.
"Boleh." sahut Safana.
"Iya, kan biasanya Amar juga di bagiin sama teman-temannya, sekarang giliran Amar yang melakukan hal yang sama." balas Nika.
"Malam ini, aku tidur disini ya kak, aku udah minta izin sama bang Hardi. Dan katanya, dia akan nyusul." pinta Safana.
"Tumben, kenapa mendadak?" tanya Nika heran.
Ini pertama kalinya, Safana kembali tidur di rumah, setelah tinggal di rumah suaminya.
"Entah kak, rasanya aku sangat rindu. Bahkan aku rindu pada Mak dan Ayah." ujar Safana, tiba-tiba melow sendiri.
"Entah kenapa, beberapa hari ini aku sangat merindukan mereka kak." lanjut Safa.
"Udah, jangan ngomong yang aneh-aneh." peringat Nika jadi parno sendiri.
Kanaya pulang sekolah berbarengan dengan Arka, tentu saja, dengan menggunakan sepeda motor Nika.
Karena Adnan sendiri sudah tamat SMA. Dan sekarang, Adnan malah pergi merantau ke luar kota, dia ingin mengadu nasib, karena jika tetap tinggal di kampung sana, tidak ada pekerjaan pasti.
Melihat adanya Safana, Kanaya pun sama seperti halnya Amar. Memeluk erat saudaranya itu.
"Kapan sih kak hamil? Mau dong gendong ponakan." tanya Naya.
"Kanaya ,,, emang hamil bisa kita nentuin kapannya? Jadi, jangan tanyakan hal itu lagi." tanya Nika.
"Maaf kakak, kan aku cuma nanya. Lagian aku nanya sama kak Safa, yang jelas-jelas udah punya suami. Kecuali aku nanya sama kak Nika, baru salah." sahut Naya.
"Udah lah kak, aku udah biasa kok mendapatkan pertanyaan itu. Jadi, Kanaya gak salah." bela Safa.
"Oya, tadi aku diberikan coklat oleh cewek yang naksir kak Arka. Kita makan sama-sama ya ..." ujar Kanaya mengeluarkan kotak coklat dari tasnya.
"Jangan ..." ujar Safana sembari berlari kearah kamar mandi.
Nika dan Naya mengejar Safa yang mengeluarkan seluruh isi perutnya.
"Udah beberapa hari ini, aku gak mau melihat dan memakan coklat kak." jelas Safa, sebelum saudarinya bertanya.
"Mungkin kah?" tanya Nika menebak.
"Tidak mungkin kak, karena tidak mau kembali kecewa, aku memutuskan untuk tidak mencek nya." ujar Safana.
Memang setelah menikah, Safana rutin mencek saat telat halangan. Bahkan dia pernah tidak mendapatkan halangan selama satu bulan lebih. Dan saat dia membeli testpack, hasilnya tetap negatif.
Dan karena tidak ingin kecewa untuk kesekian kalinya, Safana memilih untuk abai.
"Mungkin kamu gak enak badan, atau memang kamu stres aja." ujar Nika agar tidak membuat adiknya tersinggung.
Tapi, dihatinya yang paling dalam, dia yakin jika Safa hamil. Walaupun dia tidak pernah merasakannya, setidaknya dia pernah mendengar pada orang-orang yang menjadi pelanggan laundry-nya. Yang kata mereka, setiap gejala bisa saja berbeda, tergantung jenis tubuh yang mana.
Larut malam, Hardi baru datang ke rumah. Dia membawakan beberapa cemilan untuk orang disana. Karena sebelumnya, dia sempat menanyakan pada Safana untuk dibawakan apa.
Beruntung, Nika dan dua adik perempuannya belum tidur. Hanya Amar yang sudah pulas, itupun masih di depan televisi. Ditempat, dimana kakak-kakaknya sedang bersenda gurau.
"Wah, makasih ya bang, karena mau antri beli bakmi untukku." ujar Safa dengan berbinar.
Safana lagi mau makan bakmi yang sedang viral di tempat mereka. Dan siapapun yang beli diharuskan untuk bersabar, karena banyak pesanan dan juga antrian.
"Untukmu, apa sih yang gak ..." sahut Hardi.
"Antri dari jam berapa bang?" tanya Naya.
"Dari jam delapan sih kayaknya. Cuma Abang hanya mengambil nomornya, terus balik jam sebelas, saat toko tutup." sahut Hardi memakan mie yang berada di piring yang sama dengan Safana.
Semenjak menikah, makan sepiring berdua adalah kesukaan Hardi. Dia tidak peduli dengan perkataan Ibunya yang mengatakannya pelit. Bahkan Ibunya meragukan jika makan satu piring berdua, hanya Hardi yang kekenyangan, tidak dengan Safana.
"Lagian, kakakmu jarang minta yang ginian. Biasanya, aku yang tawarkan." sambung Hardi.
"Tapi, ini kan, abang juga yang nawarin." keukeh Safa.
"Abang hanya nanya mau makan apa sayang, dan biasanya kamu jawab terserah. Dan baru kali ini, kamu menjawab bakmi." jelas Hardi menjewer hidung Safa. Bahkan dia lupa, adan Nika dan Naya dihadapan mereka.
"Siapa tahu, dengan ini bisa melatih aku untuk menjadi suami dan calon ayah siaga ..." lanjut Hardi membuat Nika terdiam. Sedangkan Safana malah abai.
"Coba besok, kamu carikan Safana testpack, karena tadi dia muntah-muntah saat melihat coklat. Dan juga mual saat melihat kacang yang dibawa pulang Amar." ujar Nika.
"Benarkah?" tanya Hardi berbinar.
"Kak ..." Safa menggelengkan kepalanya.
"Aku keluar sekarang juga." seru Hardi bahagia.
"Kak ,,, aku gak mau bang Hardi kembali kecewa. Sakit kak, sakit saat melihat dia berharap pada hal yang jelas-jelas tidak ada ..." terang Safa, dia bahkan meneteskan air matanya.
"Apakah, kakak salah? Maafkan kakak Safa ..." ujar Nika memeluk tubuh Safa.
Sedangkan Kanaya juga ikut memeluk kedua tubuh kakaknya.
Hampir satu jam Hardi keluar. Dia baru kembali dengan membawakan tiga jenis testpack. Dia sangat berharap dan terus berdoa, semoga impiannya menjadi kenyataan. Bahkan di jalanan saat melihat bapak tua yang mendorong gerobak berisi hasil mulung, Hardi mengehentikan sepeda motornya, dan menyerahkan beberapa lembar uang, dan mengharapkan doa dari lelaki paruh baya itu.
"Coba lah ..." ujar Hardi dengan penuh harap.
Dan Safa menerimanya dengan tangan gemetar. Dia memang tidak mengharap lebih, namun untuk kembali mengecewakan suaminya, rasanya dia tidak tega.
Lima menit sudah Safa berada di kamar mandi, tiga orang lainnya malah menunggu dengan cemas. Terutama Hardi. Dia malah bolak-balik di depan kamar mandi.
Saat pintu terbuka, semua mata tertuju kesana. Apalagi, saat melihat tangisan dari Safa. Dan Hardi kembali kecewa, kecewa untuk kesekian kalinya.
"Tidak apa, kita masih muda. Dan masih bisa berusaha ..." ujar Hardi memapah tubuh Safana.
"A-aku akan jadi seorang Ibu ..." lirih Safana memperlihatkan hasil testpack dari genggamnya.
tapi ini beneran udah selesai, kak... ?
padahal baru beberapa bab, kak...
saking bucinnya, Nisa sampe nda bisa bedain yang benar dan yang salah