Malam itu petir mengaum keras di langit, suara gemuruhnya bergema. Angin mengamuk, langit menangis, meneteskan air dengan deras. Alam seolah memberi pertanda, akan datang suatu bencana yang mengancam sebuah keluarga.
Clara seorang ibu beranak satu menjadi korban ghibah dan fitnah. Sampai mati pun Clara akan ingat pelaku yang sudah melecehkannya.
Akankah kebenaran akan terungkap?
Siapa dalang di balik tragedi berdarah ini?
Ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Kampung Ghibah
Raungan sirine memecahkan keheningan malam. Petugas Polisi langsung turun tangan melerai para warga yang tidak henti-hentinya adu kekuatan. Mereka tidak memperdulikan para petugas. Sampai dentuman keras dari pistol yang diarahkan petugas ke angkasa berhasil membuat mereka semua berjongkok sambil menaruh kedua tangan mereka ke belakang kepala.
Semua diam, hening tidak ada yang berani mengangkat kepala. Dan tiba-tiba saja dari dalam rumah Clara keluar asap. Mereka semua berdiri melihat ke dalam rumah. Para petugas dan Pak Kades masuk ke dalam. Betapa terkejutnya mereka melihat Clara dan Kafi yang sudah tak bernyawa, saling berpelukan dengan tombak yang menancap di tubuh mereka.
Kepulan asap semakin menjadi dan membuat dada sesak. Api bergemuruh melahap bagian belakang rumah Clara. Pak Kades dan beberapa warga berusaha menyelamatkan jasad Clara dan Kafi. Tapi apa daya, api dengan cepat menjalar sampai ruang tamu rumah Clara. Reruntuhan kayu yang ada di atas jatuh menimpa tubuh Clara dan Kafi. Jasad mereka terpanggang api.
Petugas polisi, Pak Kades dan warga berlarian menyelamatkan diri. Semua ikut membantu memadamkan api. Dan lagi-lagi hujan turun dengan derasnya dan angin dengan kencang meniup api yang sudah berkobar panas membara. Perlahan api meredup, hujan memeluk dan mengakhiri amukannya.
"Bu Clara, Pak Kafi, maafkan kami. Kami tidak dapat menyelamatkan kalian. Tapi saya yakin Anda berdua tidak bersalah." Pak Kades menangis tubuhnya merosot ke bawah tidak sanggup melihat kondisi terakhir Clara dan Kafi.
Beberapa warga lain juga menangisi kepergian Clara Dan Kafi. Mereka menyesal semua ini menimpa orang baik seperti mereka. Dan mereka melindungi Dilara yang pingsan dari sasaran warga yang membenci keluarganya.
"Dia! Anak itu juga harus mati!" Nenek tua itu mencoba kembali mempengaruhi warga.
Pak Kades dan warga yang baik menghadang orang-orang yang ingin melukai Dilara.
"Pak Polisi, tolong, Nenek tua ini telah memprovokasi warga. Dia memfitnah keluarga Pak Kafi sebagai pelaku pesugihan." Pak Kades menunjuk ke arah nenek tua.
"Apa benar yang dituduhkan Pak Kades?" Pak Polisi menatap si nenek tua.
"Perempuan yang tinggal di rumah itu adalah pembunuh! Dia memakan sukma bayi-bayi yang ada di desa ini," jawab si nenek tua.
"Apa ada buktinya?" Pak Polisi kembali bertanya.
Si nenek diam. Semua warga yang ada di belakangnya saling berpandangan. Mereka memang tidak mempunyai bukti yang menyatakan Clara adalah pemangsa sukma bayi yang dituduhkan si nenek. Mereka hanya mempercayai apa yang mereka lihat. Keluarga Clara yang dulunya miskin tiba-tiba menjadi kaya. Pastilah mereka memakai pesugihan.
"Kalian semua tidak ada bukti? Kalian sudah membunuh sepasang suami istri di dalam sana!" Pak Polisi memandangi mereka satu persatu.
"Para warga sekalian, dari mana kalian mendapatkan kabar bahwa keluarga Pak Kafi melakukan pesugihan dan menjadikan bayi-bayi di desa ini tumbal?" Pak Kades berdiri di samping Pak Polisi.
Semua warga mulai berbicara, mereka mendapatkan kabar itu dari mulut ke mulut. Dan tidak tahu siapa yang pertama kali menyebarkan kabar tersebut. Dan mereka semua memandangi nenek tua yang ada di antara mereka.
"Nenek, dari mana Anda tahu, Bu Clara adalah pemangsa sukma bayi di desa kita?" Pak Kades menyorot tajam ke arah si nenek tua.
"Aku mencium bau amis yang sangat pekat. Bau itu berasal dari rumah itu." Mata si nenek memerah ketika menatap ke reruntuhan rumah Clara yang sebagian sudah menjadi arang.
Dan dari dalam rumah Clara, muncul seekor ular berwarna hijau. Awalnya ular itu menampakkan dirinya dengan ukuran normal. Lama kelamaan ular itu menjadi besar. Ular itu menyerang dan mengibaskan ekornya kepada warga pembenci keluarga Kafi. Ular itu kemudian melilit tubuh si nenek tua.
Dengan suara berat dan penuh dengan kemarahan sang ular menatap warga yang tergeletak di tanah penuh dengan luka. "Kalian sudah termakan hasutan Nenek tua ini! Clara tidak bersalah. Asal kalian tahu, si wanita bajingan inilah yang sudah memakan sukma bayi kalian!"
Semua yang ada terperanjat mendengar perkataan si ular. Mereka yakin ular inilah yang ditolong Kafi dan Clara. Ular itu juga mencoba masuk ke dalam pikiran semua orang yang ada di sana tanpa terkecuali. Ular itu memutar sebuah adegan dibenak mereka semua, saat si nenek tua melakukan ritual pesugihan. Dia menaburkan sesuatu di depan rumah warga sebagai tanda.
Malam harinya seorang wanita astral berambut panjang berantakan, berbaju putih lusuh, datang ke rumah yang sudah ditandai si nenek tua. Dialah yang memakan Sukma bayi-bayi tak berdosa di desa itu. Setiap malam jum'at kejadian seperti itu terus berlanjut. Sampai di hari ke 49, sang nenek harus mencari orang yang bisa di kambing hitamkan.
Setelah nenek itu berkeliling desa, keluarga yang pantas dikorbankan adalah keluarga Kafi. Warga pasti dengan mudah percaya karena kehidupan mereka yang berubah drastis. Dan dari mulut sang nenek keluarlah ghibah berujung fitnah yang memancing kemurkaan warga.
"Astaghfirullah, kita salah, kita telah membunuh keluarga tak berdosa," salah satu dari mereka menyesal dan merasa bersalah.
"Ini semua gara-gara kamu nenek!" Ibu-ibu yang tidak mau sepenuhnya disalahkan kini beramai-ramai mendekati si nenek.
Petugas Polisi mencoba menghalangi para Ibu-ibu yang ingin menyerang nenek tua. Nenek tua tidak berdaya karena tubuhnya masih terlilit ular. Ular hijau melepaskan lilitannya. Perlahan ular menghilang dari pandangan mata.
Ibu-ibu mulai menyerang nenek tua yang tergeletak di tanah. Mereka mencakar, menjambak, bahkan ada yang tega menendang tubuh nenek yang sudah tua itu. Dan Polisi lagi-lagi menembakkan pistol ke udara untuk menenangkan mereka.
Demi keselamatan, si nenek tua, para warga dibawa paksa ke Bhabinkamtibmas. Nenek tua dibawa dalam mobil patroli yang terpisah. Sedangkan para warga diangkut dengan mobil pickup yang dipinjam dari para warga setempat.
Pak Kades dan beberapa orang warga yang sudah mendapatkan izin dari pihak kepolisian meminta izin untuk memakamkan Clara dan Kafi secara layak. Pemakaman pun dilaksanakan malam itu juga. Dilara yang sudah sadarkan diri hanya diam menatap pusara kedua orang tuanya.
Pak Kades sangat mengerti keadaan Dilara sekarang. Pak Kades terus meminta maaf kepada Dilara atas semua yang terjadi. Dilara harus ikhlas menerima semuanya. Mungkin ini adalah jalan hidup yang harus dia jalani.
Pak Kades akhirnya menyerahkan Dilara kepada keluarganya yang jauh-jauh datang dari kota setelah melihat berita di televisi. Mereka sangat mengutuk perbuatan warga yang sudah menghilangkan nyawa Kafi dan Clara. Mereka ingin para warga dihukum seberat-beratnya.
Keluarga Dilara akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Dan malam itu juga mereka meninggalkan desa ghibah. Ya desa yang penuh dengan ghibah, gunjing, gosip yang tidak berdasarkan fakta.
Dan setelah Dilara dan keluarga meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Kafi dan Clara, lagi-lagi langit menangis. Lolongan anjing malam semakin menambah kehororan area pemakaman. Petir dan kilat kembali menyambar.
JGEEEER!
JGEEEER!
Makam Clara berguncang. Dari dalam tanah keluar sebuah tangan berwarna hitam. Tangan itu terus menggapai permukaan, gali dan terus menggali. Nampak lah sosok seorang wanita berambut panjang, hitam gosong, berbadan bungkuk merangkak di atas makam.
"AKU DATANG, AKU AKAN MENCARI KALIAN!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...