Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Dinarku sayang.
Sebenarnya hatiku masih takut, perasaanku cemas karena insiden beberapa hari yang lalu sempat membuat kandungan Dinar terganggu. Tapi melihat pulihnya yang cepat, tidak lagi ada tanda bahaya yang mengganggu, aku pun memberanikan diri menyentuh Dinar lebih dekat.
"Om Ran mau apa?"
Aku merasakan tubuh Dinar yang gemetar, aku tau kali ini adalah pengalaman 'pertamanya' setelah kemarin Dinar tidak menyadari apa yang sudah kulakukan padanya.
Memang benar kemarin aku memberikan pengalaman itu tapi sungguh, aku tidak 'melakukannya' dengan benar karena aku tau Dinar masih sepolos itu dan aku tidak ingin membuatnya trauma.
Siapa sangka kelakuanku saat itu sanggup membobol gawang pertahanan milik Dinar.
"Kita lakukan seperti kemarin..!! Tapi sekarang jauh berbeda, tidak seperti kemarin lagi." Kataku mencari-cari pandangan ke arah kedua bola mata Dinar yang bermanik coklat.
"Kalau kita lakukan, berarti Dinar tidak perawan lagi donk, Om." Kata Dinar.
Aku sampai membuang nafas berat mendengar jawaban polos istriku. "Sebenarnya kamu tidak b*doh, sayang. Hanya saja tidak pintar. Memang apa yang kita lakukan kemarin itu tidak 'sempurna' tapi pertemuan antara 'wanita dan pria' meskipun tidak tabrakan dan hanya saling salam tempel juga bisa di sebut 'hubungan'." Jawabku menjelaskan pada Dinar.
"Kenapa Om seberani itu??????" Protes Dinar terlihat emosi.
"Karena kita sudah menikah. Kalau belum menikah.. saya nggak berani, Neng." Aku mengecup kening Dinar tanda sayangku pada istri cantik ku itu.
Nyatanya meskipun bibirnya mengomel tapi Dinar tidak menolak perlakuanku. Ku harap sekarang Dinar mulai paham segala hitam dan putih hidup ini.
Dinar mendongak menatapku, ia menutup mulutnya seperti menahan rasa mual. Tak ada yang bisa kulakukan, bahkan kesal pun tidak bisa kalau semua ini adalah ulah si kecilku di dalam perut mamanya.
"Jangan samakan saya dengan Langkit. Biarkan dia dengan jalan hidupnya, saya pun ingin mengambil jalan dengan keputusan saya..!!" Aku kembali mengecup kening Dinar.
Perlahan aku mengarahkan tangan Dinar agar menyentuhku, mulai dari dada bidangku hingga ke bagian bawah. Dinar kaget dan menarik tangannya kembali tapi aku memeluk dan membujuknya sampai dirinya bisa beradaptasi dengan diriku.
Begitu pula denganku, hati-hati sekali aku menyentuhnya, aku tidak ingin Dinar ketakutan karena aku terlalu terburu-buru menginginkan dirinya.
Nampaknya bujukanku berhasil. Dinar mengejar diriku, bahkan tangannya mencengkeram erat pakaianku.
"Sudah ya.. katanya mau ke kampus?" Ucapku sengaja menggoda. Hari Sabtu ini dirinya harus masuk untuk mengejar ketinggalan satu pertemuan mata kuliahnya.
Dinar merengek kesal, ia merasa mual tapi tidak ingin berjauhan dariku.
"Tapi Dinar pengen....." Ucap Dinar pun terhenti, raut wajah istriku terlihat malu atau mungkin saja tidak bisa mengungkapkan perasaannya.
"Pengen apaaaa?" Godaku, sungguh ekspresi wajah Dinar membuatku semakin bergairah dan tidak tahan untuk melepaskan rasa rindu yang selama ini kutahan.
Dinar menggigit kecil bibirnya, jemariku semakin menelusup menerobos batas wilayah pertahanan.
Tak kusangka nafas Dinar menjadi berat. Istriku pun mulai berani. Kini aku lah yang kelabakan menangani diriku sendiri.
"Dinar mau Om Ran ajari sesuatu??" Tanyaku setengah berbisik.
"Apa Om??"
"Sama seperti kemarin, harus nurut tapi kali ini harus jauh lebih nurut. Jangan teriak dan percaya sama Om Ran..!!" Kataku.
Dinar mengangguk dan akhirnya aku beralih posisi.
POV Bang Ratanca off..
Bang Ratanca panik dan bingung saat dirinya melihat sembur bercak di atas sprei nya. Bagaimana bisa Dinar yang sedang hamil mengalami hal seperti ini lagi.
Sungguh dirinya sudah begitu lembut dan berhati-hati dalam 'menangani' istrinya.
"Kenapa dek???? Ayo bilang..!!! Saya nggak tau harus bagaimana kalau kamu tidak bilang..!!!!"
"Om Ran terlalu kencang." Jawab Dinar cemberut.
"Masa??? Saya sudah pelan. Kamu yang tidak bisa di arahkan, siapa suruh naik....... Aahh sudahlah..!!" Bang Ratanca mengusap perut Dinar.
Perlahan rasa sakit Dinar pun mereda, Bang Ratanca membuang nafas panjang di buatnya.
"Istirahat saja ya dek, tidak usah ke kampus. Selain ada kegiatan.. temanmu mengajak demo lagi, kan???" Kata Bang Ratanca.
"Darimana Om tau??? Dinar harus ikut demo."
"Kamu tidak bisa bohongi saya. Sebenarnya kamu ingin ikut demo, menyuarakan aspirasi yang mana?"
"Kalau kakak tingkat dan kawan-kawan ingin agar teori berimbang dengan praktek. Selama ini kampus memang kurang media untuk pembelajaran secara langsung. Dan kalau Dinar sendiri......."
"Apa?" Tanya Bang Ratanca penasaran.
"Dosennya jangan terlalu tua, dan lagi.. Dinar ingin harga makanan di kantin tidak terlalu mahal." Jawab Dinar dengan wajah seriusnya.
"Itu bukan aspirasi atuh Neng. Iku karepmu dewe." Rasanya rambut Bang Ratanca sampai kaku bertukar pikiran dengan Dinar.
.
.
.
.