Semua KARENA Kamu

Malam harinya, Okan kembali kerumah. Hal itu dimanfaatkan oleh para orang tua untuk berbicara dengan pria itu. Benny, Galuh, Tio, Yasmin, Ryan dan Zahra, semua sudah berkumpul disana.

Mata orang tua menatap Okan dengan seribu macam pertanyaan terpendam.

"Sejak kapan kak..?" tanya Tio.

"Sejak umur aku delapan tahun pa..! perasaan aku lain sama yang aku rasa keRinjani. Aku pengen selalu deket sama Esra, aku pengen melindungi dia lebih dan lebih, aku pengen dia jadi milik aku, cuma buat aku. Udah aku coba membuang perasaan ini, aku pikir ini cuma sekedar obsesi.Tapi nyatanya bukan, makin aku coba membuang malah semakin besar perasaan ini."

"Kamu tau perasaan kamu itu akan seperti apa ujungnya.?" tanya Benny.

"Aku selama ini coba untuk menerima pa..! aku terima dia anggap aku cuma sekedar kakak, aku terima dia menjalin hubungan sama pria lain, aku terima sakit ini pa. Aku juga engak mau merasakan sakit begini terus terusan, tapi aku bisa apa pa..?" ucap Okan bergetar karena mulai menangis.

"KAK..!!" seru para orang tua pilu, melihat keadaan Okan yang hancur.

"Aku minta izin buat pergi dulu menjauh dari sini, sampai aku bisa membuang semua perasaan ini. Aku udah enggak bisa pa, ma...! aku enggak bisa bertahan lagi untuk melihat Esra sama yang lain dan juga dengan semua penolakan dia keaku."

"Berapa lama..?" tanya Benny berat hati.

"PAPA...!" pekik Galuh tak terima. Benny hanya menatap sang istri lalu mengangguk perlahan, memberi makna jika ini yang terbaik.

"Enggak tau, kalau perlu selamanya." jawab Okan semakin berat karena tangisnya.

"JANGAN GILA KAMU..!!" seru semua orang tua.

"Aku udah gila pa, ma,..! Om Ryan sama tante Zahra bisa melihat kan, kalau aku udah gila..?" balas Okan menatap para orang tua nanar.

"Udah sejak lama aku gila. Kenapa harus ada ikatan begini, kenapa..? Papa mama, om sama tante tau, disini" Okan menunjuk dadanya "udah enggak kuat untuk menampung semua sakit karena ikatan ini. Udah enggak sanggup melihat Esra tertawa bahagia sama pria lain, enggak sanggup menahan disaat dia ngomong aku cuma kakak buat dia. Enggak sanggup menahan disaat papa mama dan semuanya selalu ngomong kalian adik kakak." ucap sengit Okan tetap sembari menangis.

"Kak, kami juga terbebani sama perjanjian ini. Kami sebenarnya enggak mau ada aturan begini, tapi ini untuk kebaikan keluarga kita." kata Tio.

"Kebaikan apa..? kebaikan untuk kalian..? kenapa harus kami yang dikorbankan sedang yang bermasalah kalian semua..?"

"OKAN..!"

"Aku cinta sama Esra, aku tulus cinta sama dia. Aku enggak memiliki dendam, aku bener bener mau hidup bahagia sama Esra." ucap Okan dengan suara sedikit meninggi.

Para orang tua saling melirik, mereka serempak menghela nafas. Hati mereka juga terasa ngilu melihat putra tersayang hancur tak ada daya begini. Tapi kisah pelik dimasa lalu, menanamkan trauma yang tidak lah ringan.

"Kesalahan bukan ada sama kita, sama mereka yang sekarang sudah enggak sama sama kita. Tapi kenapa harus kita yang menderita karena ulah mereka dan perjanjian konyol yang ditinggalkan kakek, KENAPA...?"

"OKAN...!"

"Aku mau pergi, tolong berikan izin kalian semua." ucap lemah Okan lagi.

"Enggak, mama enggak mau kamu pergi. Kamu enggak pikirin gimana perasaan mama..? mama yang bisa gila tanpa kamu kak." jawab Galuh.

"Jadi mama mau aku yang beneran gila..?" tanya Okan lepas kendali.

"Jaga sikap kamu kak..!" seru Benny.

"Aku harus gimana pa..? aku harus apa sekarang..?" tanya Okan kembali menangis frustasi.

Para orang tua saling melempar pandangan lagi, melihat Okan menangis tersedu sedu.

"Aku mohon pa, ma, izinkan aku pergi, aku mohon..!" hiba Okan dengan tubuh luruh kelantai bersimpuh dihadapan para orang tua.

"KAKAK.. !"

"ONTA...!" pekik Abra yang baru tiba.

Abra langsung menghampiri Okan, kemudian meraih tubuh sahabat sekaligus saudaranya itu. Dipeluk raga Okan sembari memberi tepukan dipunggung pria itu.

Para orang tua terenyuh melihatnya. Galuh, Yasmin dan Zahra, sudah ikut menangis. Benny juga ikut meneteskan air matanya, anak kebanggaannya terluka, sakit karena cintanya tidak dapat diraih.

"Jangan kaya gini onta, loe mesti kuat." ucap lemah Abra.

"Gue enggak bisa Bra, gue udah enggak bisa." balas Okan melepas pelukan Abra.

"Aku mohon pa, ma..! Izinkan aku pergi dari sini. Izinin aku ya om Ryan, tante..! aku mohon...!"

"ENGGAK BOLEH. !" sambar Abra "loe mau pisah dari gue..? cuma loe sohib gue onta. Jangan kasih izin pa, ma..!"

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang melihat adegan itu. Hatinya terasa teriris, sebesar itukah cinta sang kakak untuknya. Air mata pun lolos membasahi pipinya. Tapi hati tidak lah bisa dipaksa, baginya Okan tetap sebatas kakak sama seperti Abra.

"Terus gue harus gila gitu disini..? melihat Esra nanti sama orang laen. Tiap hari gue harus melihat Esra tanpa bisa memiliki. Tiap hari gue harus dengerin mulut dia yang menganggap gue cuma kakak, gitu..?"

"Pokoknya loe enggak boleh pergi, ENGGAK BOLEH.!" tegas Abra dengan suara meninggi.

"Loe enggak tau gimana rasanya jadi gue..? elo jangan egois cebong, disini gue yang sakit, GUE...!" balas Okan sembari mendorong tubuh Abra.

"OKAN...!"

Abra bangkit berdiri, menantang sengit keOkan "loe pikir dengan pergi dari sini semua selesai, enggak..? kita udah sepakat akan lewati ini sama sama kan."

"Selesai Bra, setidaknya gue enggak melihat Esra. Dengan begitu gue bisa melupakan dia, membuang perasaan gue."

"Kalau bisa, kalau enggak gimana..?"

"Setidaknya enggak akan terlalu sakit karena gue enggak perlu melihat Esra. Please Bra, jangan begini."

"Pokoknya elo enggak boleh pergi, jangan egois deh loe." kekeh Abra.

"Terserah apa kata loe, tanpa izin loe dan kalian semua gue akan tetap pergi." tegas Okan.

"Jangan jadi pecundang deh loe..!" kesal Abra dengan suara meninggi.

"BODO AMAT..! terserah apa kata loe."

"Brengsek loe...!" umpat Abra mencengkram baju dibagian leher Okan, yang dibalas hal serupa oleh Okan.

"OKAN...!"

"ABRA...!"