Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Pukul 7 Malam Mas Adi sampai di rumah, wajah lelaki itu tidak nampak menyiratkan bahwa dia lelah. Mas Adi bahkan terlalu bahagia untuk ukuran orang yang baru pulang kerja seharian Kayaknya besok atau kapan-kapan saja aku mengatakan perihal kedatangan si Friska di rumah siang tadi. Karena sepertinya mood Mas Adi sangat bagus dan aku tak ingin menghancurkannya.
"Kok senyum-senyum gitu sih Mas? Kamu malah jadi mengerikan," tuturku agak takut "Ya siapa yang nggak senang saat ketemu istri? Lelah Aku malah
menghilang Fir." Aku menahan senyum. Semakin hari, Mas Adi ini semakin
pandai menggombal ya. "Gombalan kamu basi Mas, seruku. Padahal sebetulnya aku lagi menahan diri agar tidak tergoda.
"Idih, gengsi ngakuin," ejeknya. Aku mendengus
"Serah kamu Mas. Aku malas debat." pasrahku. Aku lagi nggak mood untuk adu mulut dengan Mas Adi.
"Eh Iya Fir, besok jadwa kamul cek kandungan. Aku temenin ya. Kebetulan besok aku nggak punya jadwal pagi. Nanti aku minta Tatiana yang tanganin."
Aku terkejut. Aku lupa dengan jadwal cek kandungan.
"Oh iya Mas, aku hampir lupa. lya deh aku lagi pengen ditemenin sama kamu," halasku.
Mas Adi tersenyum dan langsung berlutut di depanku, di depan perutku tepatnya. "Anak Ayah, kamu dengar nggak? Ibu kamu udah mulai pikun tuh, Keterlaluan banget dia malah lupa. kapan kita cek kesehatan kamu." Ada rasa begitu nyaman dan terharu ketika melihat bagaimana Mas Adi berkomunikasi dengan calon bayi kami. Lelaki itu nampak begitu antusias ketika berbicara di depan perutku.
"Namanya juga manusia Mas, ya
maklum aja," sahutku.
Kami berbincang-hincang sebentar
dan Setelahnya aku membantu Mas
Adi menyiapkan air mandinya dan
pakaian tidurnya. Aku kembali mengecek beberapa
barang penting yang jangan sampai
ketinggalan saat akan cek kandungan
pagi ini.
Mas Adi menelpon rekan kerjanya yang kebetulan istrinya adalah seorang dokter kandungan dan minta jadwal paginya dikosongkan demi membawaku saja. Ya, mau melarang sudah begitu kalau anak sultan. Padahal sebenarnya aku ingin sekali merasakan hagaimana lamanya mengantri dan menunggu
nattia kita dipanggil.
Tapi Mas Adi takut aku lelah dan
stres karena terlalu sama mengantri
nantinya. Terdengar berlebihan tapi
romantis.
Setelah semua hal siap, kami pun
memutuskan berangkat dan kali ini
tanpa supir karena Mas Adi menyetir
sendiri.
"Kira-kira dia perempuan atau laki
ya?" tanya Mas Adi entah pada siapa.
Aku menggeleng.
Bagiku jenis kelamin apapun
tidak akan mempengaruhi
hidupku, namanya anak aku akan
menyayanginya. Aku sendiri tidak
memiliki keinginan khusus berkaitan
dengan jenis kelamin.
"Lihat aja entar Mas, siapa tahu udah
boleh kelihatan," balasku.
Tak lama kemudian kami sampai di
rumah sakit dan langsung menuju
di ruangan dokter kandungan yang
dimaksud Mas Adi
"Halo, selamat pagi. Mas Adi dan Mbak
Nesa ya?" sapa si dokter perempuan.
Aku mengulas senyum tipis sementar
Mas Adi diam bagai kanebo kering.
"Iya, Selamat pagi dokter," halasku
menyapa. "Ya udah duduk dulu, Mas dan Mbaknya," sahut si dokter sembari menyiapkan beberapa alat. "Udah bulan ke berapa ini mbak?" tanya dokter sembari menulis entah apa itu pada kertas yang mungkin hiasa dia gunakan saat akan mengecek. kandungan pasien. "Ehm, lupa dok empat atau lima deh kayaknya." Aku sendiri lupa dengan usia
kandunganku, astaga. Ya saat cek
pertama kali dokter ngomongnya
kandunganku itu sebulan dan aku lupa
kapan itu.
Apa memang ada ibu hamil yang
malah jadi sering pikun? Kalau ada,
pasti aku salah satunya.
Setelah bertanya beberapa hal
si dokter kemudian memintaku
berharing dan mengoleskan jel
di atas perut buncitku dan mulai
menggerakkan alat USGnya.
"Oh ini udah mau jalan 19 minggu
ya Mbak Nesa, aduh ini si dedeknya
nutupin," seru si dokter.
Ah, sepertinya bayi kami belum mau
memberitahukan jenis kelaminnya.
Sementara Mas Adi menonton layar
monitor USG dengan wajah serius
namun sesekali tersenyum. Sepertinya
dia senang sekali.
"Jadi bayinya sehat ya Mbak Nesa dan
Mas Adi
Beberapa saat dokter bertanya
beberapa hal padaku.
"Beberapa minggu belakangan mbak
Nesa masih sering mual?"
"Saya tidak yakin apakah ini mual
karena kehamilan namun saya
terus-terusan muntah beberapa
minggu belakangan ini."
"Sebenarnya normal saja mengalami
mual di trimester pertama dan juga
kedua. Apakah ada gejala lain yang
mbak Nesa keluhkan?"
"Enggak ada dok." jawabku.
"Ya udah, saya resepkan obat sebentar
dan daftar menu makanan sehat yang
harus Mbak Nesa makan setelah ini,"
ucap dokter itu.
"Oh iya dok, hubungan intim saya
sama istri gimana? Lebih baiknya di
usia kehamilan ke berapa?"
Aku melotot mendengar pertanyaan
Mas Adi
"Nggak apa-apa ini pertanyaan yang
paling banyak ditanyakan oleh pasien
saya, nggak usah malu."
Sepertinya
si dokter berucap karena
menyadari ekspresi wajahku.
"Karena usia kandungan mbak Nesa
ini sudah mau jalan 19 minggu sudat
baik untuk berhubungan tapi saya
sarankan satu atau dua kali seminggu
aja dan 4-6 minggu sebelum lahiran,
aktivitas ini sebaiknya bisa lebih sering
untuk membantu proses persalinan
nanti
Mendengar jawaban dokter kulihat
senyum jahil dari bibir Mas Adi. Dia
pasti senang sekali. Dasar.
Sementara itu di tempat lain.
"Kamu siapapin barang-barang
aku dan jangan sampai ada yang
ketinggalan," titah seorang lelaki.
"Iya Mas," balas Friska dengan pelan.
"Oh iya, besok jangan lupa lamar
kerja ke kantor Adi. Berani enggak,
pulang dari Lombok kamu bakal tahu
akibatnya.
Setelah itu sang suami langsung
memasuki kamarnya meninggalkan
Friska yang hanya mampu
menatap
punggung suaminya dengan senduh.
Seperti dugaan kalian, Friska
dan suaminya tidak tidur dalam
satu kamar tapi seminggu setelah
pernikahan mereka, sang suami
meminta mereka agar bisa tidur
terpisah.
Friska masuk ke dalam ruangan yang
berhadapan dengan kamarnya, itu
ruang khusus di mana pakaian dan
perlengkapan lain milik suaminya.
dan dengan telaten layaknya seorang
istri pada umumnya Friska mencoba
menyiapkan keperluan sang suami.
Tanpa sadar air mata perempuan
itu mengalir, perasaannya
benar-benar tersakiti. Istri mana yang
menginginkan pernikahan seperti ini,
sementara setiap hari suaminya begitu
banyak berubah. Seolah mereka tidak
lagi terikat dalam hubungan yang
namanya pernikahan,
Seolah hubungan ini hanyalah
berdasarkan hitam di atas putih,
"Gimana kabar istri kamu? Makin
hari makin gembira wajahnya," tanya
Tatiana saat Adi sampai di kantor
dengan sumringah.
"Baik dong, tadi kan baru habis cek
kandungan," pamer Adi pada Tatiana.
Tatiana mendengus.
"Gitu ya, bikin iri deh."
Adi tiba-tiba menghilangkan.
senyumannya dan menatap Tatiana
dengan serius.
"Putusin aja si Pak Tua itu Ti. Lagipula
entar lagi hak asuh jatuh di tangan
kamu. Kamu nggak butuh lagi
pura-pura bahagia jadi tunangan si
duda itu."
"Iya. Tenang aja, entar lagi kok."
Adi sekali lagi menatap Tatiana, kali ini
pandangannya iba.
Masih semuda ini sahabat
perempuannya itu harus merasakan
pahitnya perceraian hingga anaknya
yang dibawa oleh sang mantan suami
serta dia yang harus bertunangan
dengan seorang Duda kaya klien
mantan suaminya demi mendapatkan
hak asuh anaknya.
"Jangan natap gitu, aku baik-baik aja
kok Di, sahutnya.
"Eh iya, mantan pacar kamu melamar
kerja di perusahaan kita Iho," sahut
Tatiana lagi.
"Mantan pacar yang mana?"
Tatiana mendengus, Adi dengan begitu
pede bertanya. Padahal lelaki itu tidak
memiliki banyak mantan.
"Idih gayanya, si Friska Di."
Adi melotot.
Ini tidak baik, tidak baik untuk dirinya.
dan untuk hubungannya bersama sang
istri