Ariana tak sengaja membaca catatan hati suaminya di laptopnya. Dari catatan itu, Ariana baru tahu kalau sebenarnya suaminya tidak pernah mencintai dirinya. Sebaliknya, ia masih mencintai cinta pertamanya.
Awalnya Ariana merasa dikhianati, tapi saat ia tahu kalau dirinya lah orang ketiga dalam hubungan suaminya dengan cinta pertamanya, membuat Ariana sadar dan bertekad melepaskan suaminya. Untuk apa juga bertahan bila cinta suaminya tak pernah ada untuknya.
Lantas, bagaimana kehidupan Ariana setelah melepaskan suaminya?
Dan akankah suaminya bahagia setelah Ariana benar-benar melepaskannya sesuai harapannya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman Giandra
"Bibik," teriak Monalisa dari ruang tamu. Bibik yang sedang mencuci piring di dapur menggeram kesal. Sejak kedatangan Monalisa 30 menit yang lalu, perempuan itu tak henti-henti menyuruhnya ini dan itu.
"Bibik, ambilkan air dan handuk untuk kompres!"
"Bibik, buatkan aku jus jambu!"
"Bibik, mana kotak P3K?"
"Bibik, ini ... "
"Bibik, itu ... "
Monalisa berlagak seperti nyonya besar di rumah itu.
"Non Ana aja nggak pernah tuh perintah-perintah. Yang ada minta tolong. Dasar, pelakor nggak tau malu. Pantesan aja Non Ana memilih pergi, lah suaminya ternyata udah nikah lagi. Mana speknya jauh banget lagi. Meskipun cantik, tapi cantik di paras aja buat apa. Zaman sekarang kebo di dandanin aja bisa cantik kok. Asal ada duit, semua perempuan pun bisa cantik. Tapi yang namanya cantik hati itu nggak bisa di mek ... mek apa itu? Oh ya, mek oper. Ya mek oper. Tuan kesambet apa sih bisa selingkuh sama perempuan yang speknya jauh banget dari non Ana? Entar nyesel baru tau rasa lho!" omel bibik yang bersungut-sungut di dapur.
"Heh, kamu itu punya kuping nggak sih? Saya manggil-manggil, tapi kami justru pura-pura budek!" sentak Monalisa membuat bibik yang sedang membilas cangkir reflek menyiramkan air di dalam cangkir itu ke Monalisa.
"Eh kodok, eh kodok, eh ada kodok bangkong," gagap bibik.
"Aaargh, dasar pembantu sialan kamu! Awas kau ya!"
Monalisa yang kesal lantas mengambil air sabun dan menyiramkannya ke muka bibik.
"Aduh, mataku ... mataku ... " pekik bibik merasa perih di matanya. Bibik yang merasa pedih di mata berjingkrak-jingkrak membuatnya tak sadar menabrak Monalisa hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. Untung saja ia segera berpegangan di kursi. Kalau tidak, ia pasti sudah terjatuh.
"Ah, pembantu sialan! Awas kau! Aku pasti akan membuat Mas Danang memecat mu," teriak Monalisa penuh ancaman.
Lalu ia kembali ke depan dengan langkah menghentak-hentak.
"Kamu ngapain sih, Sa? Ribut banget. Perasaan selama berbulan-bulan Ana di sini, aku nggak pernah sekalipun mendengar keributan," kesal Danang. Ia sedang pusing karena Ariana yang ternyata sudah bertekad bulat ingin bercerai, lalu kini makin dibuat pusing oleh ulah Monalisa yang yang penting keributan.
"Mas bandingin aku sama istri Mas yang durhaka itu?" Mata Monalisa melotot.
"Kalau kamu cuma mau membuat keributan di sini, lebih baik kamu pulang sekarang! Pusing tau nggak dengerin kamu ngoceh melulu nggak berkesudahan," hardik Danang membuat Monalisa kesal.
"Kamu ngusir aku, Mas? Nggak. Aku nggak mau. Pokoknya mulai sekarang aku mau tinggal di sini."
"Nggak. Ini rumahku dan Ana. Lebih baik kamu pulang ke rumah mama aja. Nanti kalau aku udah baikan, aku akan ke sana."
"Nggak mau. Pokoknya aku mau tinggal di sini. Titik. Ingat, Mas, aku ini istrimu. Apalagi istri kamu itu sudah pergi dari sini, lantas siapa yang akan urusin kamu kalau aku nggak di sini," kekeh Monalisa yang sudah tak sabar ingin tinggal di sana. Apalagi rumah itu lebih besar dari rumah ibunya tentu akan lebih menyenangkan bila ia tinggal di sana.
"Aku bisa urus diriku sendiri, Lisa. Lebih baik kamu pulang. Sana, cepat pulang!"
"Aku bilang nggak, nggak, ya nggak, Mas. Apa kamu nggak malu sama mama? Masa' aku masih tinggal di rumah mama sih? Oke kalau kamu nggak mau aku tinggal di sini, tapi belikan aku rumah sekarang! Rumah itu harus sama besarnya dengan rumah ini kalau perlu lebih besar." Monalisa berkacak pinggang.
Mata Danang membulat. Meskipun ia seorang dokter, gajinya pun lumayan besar, tapi tetap saja membeli rumah itu bukan perkara sepele. Tidak seperti membeli kacang yang bisa tinggal tunjuk, bungkus, dan bayar.
"Apa kamu gila? Kamu pikir beli rumah itu murah?"
"Kan nggak mesti kontan. Bisa kredit. Tapi bukan KPR. aku nggak mau."
"Astaga, Lisa, kamu ... "
Prok prok prok ...
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari arah pintu membuat sepasang suami istri yang sedang bertengkar itu sontak menoleh. Mata Danang membulat sempurna saat melihat siapa yang sudah berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sorot matanya tajam dengan senyuman sinis membuat Danang gelagapan sendiri.
"Gi-Giandra, sejak kapan kamu berdiri di situ?"
"Tak usah banyak bicara, mana barang-barang kakakku?"
Ya, barang-barang sudah Danang bawa masuk lagi ke kamarnya. Ia yakin Ariana akan kembali untuk mengambil barang-barangnya itu ke rumah. Ia sudah berencana ingin menjebak Ariana di dalam kamar dan menghamilinya. Ia yakin, dengan begitu Ariana pasti akan membatalkan gugatan perceraiannya. Ariana pasti takkan tega membiarkan anaknya tumbuh tanpa keluarga yang lengkap.
"Kalau kau datang kemari hanya untuk mengambil barang-barang Ana, maka lebih baik kau segera pergi karena aku takkan memberikannya," tolak Danang yang sudah berdiri. Giandra menatap sinis hidung Danang yang ditampal plester luka. Giandra menduga pasti itu ulah Athariq.
"Baiklah kalau itu maumu."
Danang pikir, Giandra akan menyerah lalu segera pulang. Tapi ternyata dugaannya salah sebab beberapa detik kemudian, Giandra sudah merangsek mendekat lalu ...
Bugh ...
"Aaargh ... " jerit Danang saat Giandra menghajarnya tepat di hidung. Hidung yang tadinya masih sakit kini bertambah sakit.
"Mas," pekik Monalisa terkejut saat Giandra dengan cepat menghajar suaminya.
Tak cukup sampai di situ, Giandra juga menendang perut Danang. Seakan belum puas melihat teriakan kesakitan laki-laki yang masih menjadi kakak iparnya tersebut, Giandra kembali merangsek Danang lalu menarik salah satu lengannya dan membantingnya membuatnya kian menjerit.
"Maaas, berhenti! Apa yang kau lakukan, hah? Kau ingin membunuh suamiku?" pekik Monalisa. Ia yang tadinya kagum dengan ketampanan Giandra seketika marah saat melihat Giandra dengan seenaknya memukul, menendang, dan membanting Danang.
Giandra lalu melirik tajam Monalisa yang menatapnya nyalang.
"Kenapa? Apa kau pun ingin merasakan nikmatnya dibanting, huh?" seringai Giandra membuat nyali Monalisa seketika menciut.
"Ka-kau berani melakukannya? Aku---aku bisa saja melaporkan mu ke polisi?" ancam Monalisa gugup.
"Silahkan saja, aku tidak takut. Tapi apa kau siap aku laporkan balik karena sudah menikah dengan suami orang tanpa sepengetahuan istri sahnya? Kau tahu kan kalau di negara kita ini ada hukum yang bisa mempidanakan pasangan yang menikah tanpa izin pasangan sahnya alias selingkuh?" tukas Giandra tenang, tapi ternyata mampu membuat Monalisa bungkam dengan wajah memucat. Bahkan Danang yang tadinya tidak terima dengan apa yang sudah Giandra lakukan ikut terbungkam.
Lalu Giandra kembali mengarahkan pandangannya kepada Danang yang hidungnya sudah kembali berdarah. Bahkan sudut bibirnya pun ikut berdarah. Giandra tersenyum sinis. Ia pun melangkah mendekat ke arah Danang yang menatapnya penuh amarah. Danang beringsut mundur saat Giandra mendekat. Danang seumur hidupnya hanya berkutat dengan buku dan ia tidak memiliki kemampuan bela diri sama sekali. Jelas saja ia khawatir bagaimana kalau Giandra kembali menghajarnya.
"Kenapa?" cibir Giandra. "Takut?" imbuhnya.
"Takut? Siapa? Jangan bercanda! Kau hanya bocah ingusan, untuk apa aku takut. Lagipula aku tidak membalas karena kau adik Ariana. Kalau bukan, pasti aku tidak akan mengampuni mu."
Giandra tergelak mendengar apa yang barusan saja Danang sampaikan.
Tiba-tiba saja tangan Giandra terangkat seolah-olah ingin memukul Danang. Danang dengan cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya membuat Giandra terkekeh.
"Aku tidak ingin bermain-main sekarang, katakan dimana barang-barang kakakku kalau tidak ... "
Whusssh ...
Tinju Giandra bergerak dengan cepat dan berhenti tepat di depan wajah Danang. Saking cepatnya gerakan Giandra sampai-sampai menimbulkan hembusan angin yang menerpa wajah Danang membuat laki-laki itu tertegun dan reflek memejamkan mata.
"Berhenti!" teriak Monalisa. "Ini ... ini ambil barang-barang kakak sialan mu itu. Kau pikir Mas Danang masih akan menerimanya di sini? Bawa semua sampah ini dan jangan pernah kembali!" desis Monalisa dengan mata melotot.
Mendengar Monalisa menyebut kakaknya 'sialan' dan menganggap barang-barang kakaknya sebagai sampah membuat darah Giandra mendidih. Giandra pun dengan cepat bergerak ke arah Monalisa membuat wanita itu ketakutan. Ia pun segera membalikkan badannya hendak berlari, tapi jambakan di rambutnya menghentikannya.
"Aku peringatkan kau, jangan pernah menyebut nama kakakku dengan panggilan seperti itu lagi kalau tidak ... "
"Aaargh ... " pekik Monalisa saat Giandra mengeratkan jambakannya. "Lepas! Sakit! Mas ... Tolong aku!" teriaknya.
"Kalau tidak, aku bukan hanya akan menjambak rambutmu yang menjijikan ini, tapi juga akan memotong lidah busukmu itu agar tidak bisa lagi berbicara. Camkan itu!"
Usai mengatakan itu, Giandra melepaskan cengkraman tangannya dan segera menyeret koper serta tas Ariana. Kunci mobil sudah ia temukan. Jadi ia bisa segera pergi membawa mobil dan barang-barang Ariana dari sana.
Tubuh Monalisa seketika lemas. Ia sampai meluruh di lantai dengan wajah pucat.
"Dasar sialan! Awas saja kau! Aku pasti akan membalas perbuatanmu," desis Monalisa yang tidak terima dengan perbuatan adik Ariana itu.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Soale kan kandungan nya emang udah lemah ditambah pula,sekarang makin stress gitu ngadepin mantannya Wira
bukannya berpikir dari kesalahan
kalou hatinya tersakiti cinta akan memudar & yg ada hanya kebencian...