Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Di sinilah mereka. Berdiri menghadap ke arah danau hijau yang indah.
Halim dan Medina berdiri dengan jarak. Medina yang senantiasa menunduk itu membuat bibir Halim terus menerus untuk tersenyum.
“Dek,” panggil Halim dengan suara lembutnya.
Medina mengangkat wajah. “I-iya?”
Mata Medina bersitatap dengan mata tajam Halim yang sendu menatapnya. Duh! Indah sekali momen ini.
Mereka bertatapan agak lama. Sebelum Medina berdehem dan kembali menunduk.
“P-Pak Halim tadi katanya ada yang mau dibicarakan?”
Halim ingin berdecak karena Medina masih memanggilnya dengan Bapak.
‘Abang bukan Bapak kamu, Medina. Abang ini calon kekasih hati kamu. Oh, shit! Astaghfirullah.’
“Dek?”
Medina lagi-lagi mengangkat wajahnya. Lagi-lagi netra mereka bertemu. Wajah Halim yang begitu tampan itu membuat Medina kepanasan. Dia bahkan sudah merasa-pipinya bersemu merah karena Cuma memandangi Halim.
‘Ya Allah, sepertinya gue akan pingsan kalau begini terus!’
Medina hendak menunduk lagi, tapi langsung dicegah Halim. Halim mau Medina melihat matanya saat dia bicara nanti.
“Jangan menunduk lagi, Dek! Tolong tatap Abang sebentar aja.”
Medina yang terkejut, langsung manggut-manggut dengan grogi.
“Dek, mungkin Adek udah dengar dari Nona tentang niat Abang. Cuma, karena Adek ada di hadapan Abang sekarang, Abang akan ngomong langsung.”
“I-iya.”
“Dek, Abang udah berniat mau melamar Adek. Adek pasti udah tahu itu ‘kan? Abang minta waktu, ya? Abang menunggu Mama Abang yang masih ada di Paris. Setelah Mama pulang, Abang baru akan datang ke rumah.”
Medina mengerjapkan matanya. Waktu seakan-akan terhenti, saat dia dengar sendiri Halim ingin segera melamarnya.
Medina menatap dalam mata Halim. Mencoba menyelami keseriusannya, lalu kemudian Medina menunduk lagi.
“Pak Halim memang udah yakin akan melamar Medi? Medi bukan orang berada, Pak. Banyak yang lebih baik dari Medi. Termasuk-“
“Adek ragu ya dengan niat Abang? Dan termasuk yang Adek bilang, apa tentang Bu Rania?”
Medina manggut-manggut. Sebenarnya, tidak pantas ‘sih dia mengungkapkan semua ini di depan Halim. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, akan lebih baik kalau Medina tahu semuanya.
“Dek, Abang langsung berani mengutarakan niat baik Abang, bahkan belum lama dari kita bertemu. Karena Abang melihat sesuatu dari diri Adek yang gak dimiliki oleh orang lain. Dan tentang Bu Rania, Abang gak ada hubungan apa-apa. Abang selalu menghindar kalau dia mulai dekati Abang.”
Halim berbicara dengan mata yang masih konsisten menatap Medina yang menunduk.
Melihat Medina hanya menunduk, Halim tersenyum. Tangan kanannya mulai terangkat ke udara untuk mengusap puncak kepala Medina, tapi urung dia lakukan.
“Dek, mungkin omongan Abang belum bisa sepenuhnya Adek percaya. Tapi, lamaran Abang yang akan membuktikan semuanya. Sabar sebentar lagi, ya? Abang akan mempersiapkan semuanya.”
Bunga-bunga di hati Medina mulai bermekaran mendengar ucapan Halim. Kupu-kupu seakan beterbangan, di sekitar bunga yang baru saja mekar itu. Medina bertekad, akan terus menjaga bunga itu agar tetap mekar dan tak layu.
Apakah ini, rasanya bahagia akan dilamar oleh seseorang? Seseorang yang kita suka? Benarkah begini rasanya? Omaygooot!
Medina perlahan mengangkat wajahnya menatap Halim dan tersenyum.
“Kalau Pak Halim punya niat baik sama Medi, insya Allah, Medi akan mendukung dan menerima. Semoga Allah mudahkan niat Pak Halim,” ucap Medina dengan malu-malu dan pipi bersemu merah.
Halim semakin melebarkan senyumnya. “Terima kasih, Dek.”
Medina mengangguk lalu tersenyum malu-malu.
Begitu juga Halim, yang mulai grogi dan salah tingkah.
“Ah, elah! Kalah gue!” protes Nona, ketika kalah bermain game epep kesukaannya.
Suara Nona yang melengking, mengalihkan atensi Medina dan Halim yang masih saling curi-curi pandang.
Mereka menoleh pada Nona yang cemberut, lalu bertatap mata lagi dan tertawa.
........*****........
Semenjak pertemuan mereka seminggu yang lalu, benih-benih rasa suka yang dipupuk dengan sabar dalam diam- semakin tumbuh dengan besar.
Walaupun mereka jarang mengirim chat, telponan ataupun yang lain. Perasaan untuk saling memiliki semakin ingin diraih.
Mereka kadang tak segan untuk saling melempar senyum saat bersisian jalan. Yang pastinya tanpa ketahuan oleh orang lain.
Bahkan untuk penampilan mereka, saat perpisahan anak kelas XII terbilang sempurna. Karena baik Medina dan Halim, sama-sama saling memberi semangat satu sama lain, dengan perasaan penuh cinta dalam diam.
“Na, temani gue!” Medina bangkit dari duduknya.
“Eh, mau ke mana?”
“Ke perpus. Gue mau latihan di sana.”
Nona meletakkan hp ke atas meja. Tangan kanannya sibuk menggaruk kepala yang tertutup hijab itu. “Latihan? Memang elu mau latihan apa di perpus? Baru tahu gue kalau latihan bisa di perpus?”
Medina menghela nafas dan geleng-geleng kepala. “Lu gak ingat kalau gue mau ikut olimpiade besok? Gue harus latihan jawab soal!”
Nona melongo. “Hah? Besok? Kok mepet banget latihannya baru sekarang?”
“Iya. Pak Halim baru dapat informasinya tadi.”
Nona cengar-cengir. Dia lalu menutup mulutnya yang sudah ingin menggoda Medina.
Medina langsung melotot dan berkacak pinggang. “Mau apa lu, hah? Mau godain gue?”
Nona terkekeh sembari mengibaskan tangannya. “Hehe, gak loh, Me! Ya udah, ayo!”
........*****........
Medina yang masih berdiri di ambang pintu, menatap Halim yang sedang duduk membaca buku disalah satu meja. Posisi duduk Halim membelakangi Medina.
Punggung tegap Halim yang berbalut baju dinas berwarna khaki itu, membuat Medina ingin menghambur dan memeluknya dari belakang.
Medina yang sekarang sering sekali berpikiran indah, langsung mengenyahkannya segera dari otaknya.
‘Kenapa, ya? Otak gue makin aneh aja kayaknya. Huuufftt.’
Medina menarik nafas lalu membuangnya perlahan.
“Abang menunggu Mama Abang yang masih ada di Paris. Setelah Mama pulang, Abang baru akan datang ke rumah.”
Entah ada angin apa, kata-kata Halim itu tiba-tiba terngiang di telinganya. Medina tertegun sejenak. Dan pada saat yang tak tepat, matanya malah terasa panas seperti hendak menangis.
‘Ke-kenapa gue malah teringat itu?’
Nona mengernyit melihat Medina hanya berdiri dengan bengong. Dia menyenggol lengan gadis itu.
“Ssstt. Ada apa?”
Medina tersentak, kemudian mengerjapkan matanya dan menggeleng.
“Gue gak kenapa-kenapa.”
Nona mengeluarkan senyum jahilnya, alisnya langsung naik turun mirip harga sembako. “Jangan bilang kalau elu grogi ya mau jumpai calon suami?” Jari telunjuknya sudah menuding Medina.
Medina mendelik dan mencebik. “Apaan ‘sih lu? Jangan ribut tahu! Ini perpus! Udah, ayo!”
Medina menarik lengan Nona yang masih cengengesan.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
Mendengar suara lembut itu, bagaikan ada angin berhembus dengan lembutnya di depan wajah Halim.
Halim meletakkan bukunya, dan segera mendongak. Lalu melukiskan senyuman stok manis yang selama ini dia miliki, untuk gadis cantik di hadapannya ini.
“Wa’alaikumsalam. Ayo duduk.”
Medina mengangguk lalu menggeser kursinya untuk duduk.
“Me, gue ke belakang dulu, ya? Mau ambil buku.”
“Iya, jangan lama-lama, Na!”
Nona mengangguk, lalu melenggang pergi.
Medina masih menatap langkah kaki Nona menuju rak buku paling belakang. Biasanya diisi majalah-majalah yang menarik.
Medina memutus tatapannya dari Nona, lalu menoleh pada lelaki tampan di depannya.
Medina sempat terkejut, karena sedari tadi Halim ternyata masih tersenyum terus padanya.
Apa bibirnya tidak capek?
Tiba-tiba hawa dingin menyeruak di dalam ruangan perpustakaan ini. Entah ini perasaan Medina saja, atau ada hal lain yang terjadi, Medina tidak tahu.
Yang pasti di perpus ini, hanya ada Medina, Halim, Nona dan Penjaga perpustakaan.
Tapi entah kenapa, Medina merasa dia sedang berduaan saja dengan Halim sekarang.
‘Na, kenapa elu lama banget? Gue butuh pendamping ‘nih!’ Medina menggerutu di dalam hati.
“P-Pak, apa gak sebaiknya kita mulai aja latihannya?”
Halim tersentak. Dia lalu berdehem untuk menetralkan rasa yang tidak bisa dia artikan sendiri di dalam hatinya.
“Iya. Ayo kita mulai, Medina.”
‘Duh! Menyebut namanya aja, jadi gak sabar untuk segera menyebutnya saat akad nanti. Uhui.’
“Medina! Kamu ngapain di sini sama Pak Halim?”
Sebuah suara melengking tiba-tiba saja datang bagaikan jalangkung, yang datang tidak diundang, pulang ogah diantar.
Mau tak mau, Medina dan Halim mengalihkan atensi mereka ke sumber suara berisik itu.
........*****........