Season 2 dari novel yang berjudul Dia Suamiku
Setelah 7 tahun berpisah, Mila kembali bertemu dengan mantan suaminya. Perpisahan mereka yang terpaksa oleh keadaan, membuat cinta dihati mereka tak pernah padam meski Elgar telah berstatus sebagai suami orang.
Akankan mereka kembali memperjuangkan cinta mereka demi sang buah hati?
Cerita itu adalah S2 dari novel yang berjudul DIA SUAMIKU.
Untuk lebih jelasnya, silakan baca S1 nya dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DMS 4
Salsa menekal tombol pintu apartemen lalu dengan tergesa gesa masuk dan membanting tubuhnya diatas ranjang. Melihat itu, seorang pria yang tengah sibuk dengan tab nya langsung menghampiri.
"Ada apa lagi?" Tanya pria itu.
Bukannya menjawab, Salsa malah membalikkan badan untuk menyembunyikan tangisnya.
Pria itu menghela nafas lalu duduk disebelah Salsa. Dibelainya surai indah Salsa dan ditariknya pelan bahu Salsa agar wanita itu menunjukkan wajahnya. Bukan yang pertama, hampir setiap datang, Salsa selalu menangis atau mengamuk.
"Aku paling tidak suka melihatmu menangis Sa. Stop, berhenti menangisi pria itu."
Salsa bangun lalu memeluk pria bertubuh kekar itu. "Sampai kapan aku harus kayak gini Ben, aku capek." Ujar Salsa disela sela isakannya.
Pria itu bernama Benedic, pria tampan keturunan spayol. Mereka berkenalan saat Salsa masih kuliah di US. Ben adalah seorang pelukis. Dari hobi yang sama itulah mereka akhirnya dekat.
Sejak awal bertemu, Ben sudah menaruh hati pada Salsa, apalagi setelah beberapa kali mereka melakukan ons, Ben semakin tak bisa melepaskan Salsa. Tapi keputusan Salsa untuk menikah dengan Elgar, dihargai oleh Ben. Menurutnya cinta tak bisa dipaksakan, dia rela melepas Salsa demi kebahagiaan wanita itu.
Tapi semenjak Salsa sering curhat tentang rumah tangganya yang tidak bahagia, Ben kembali mengukuhkan niatnya untuk mengejar cinta Salsa. Dia rela meninggalkan negaranya demi tinggal di Indonesia agar dekat dengan Salsa.
Tapi sudah 4 tahun mereka bersama, menjalin hubungan tanpa status, Salsa belum juga mau meninggalkan Elgar demi Ben.
"Lepaskan Elgar, Sa. Sudah waktunya kamu bahagia. Ada aku Sa, aku siap membahagiakanmu." Ujar Ben tulus.
Salsa menggeleng. "Aku mencintai El, Ben. Jadi jangan paksa aku meninggalkannya."
Ben tersenyum getir. "Cinta? Yang kamu cintai itu aku, tapi kamu masih belum mau mengakuinya Sa. Kamu masih belum bisa berdamai dengan keadaan, kamu belum bisa terima jika Elgar tak lagi mencintaimu."
"Stop Ben, stop, aku muak mendengarnya."
Ben mendengkus kesal, bukankah dia yang seharusnya muak. Dijadikan pelarian bertahun tahun tanpa kepastian. Berusaha menerima meski dia yang selalu ada tapi selalu dinomor duakan.
Tapi dia lagi lagi harus bersabar. Jika perdebatannya diperpanjang, yang ada Salsa malah memilih pergi.
"Mau aku bikinin pasta sebelum kita berangkat ke Paris?" Tawar Ben. Lebih baik mengubah mood Salsa daripada mengajaknya berbebat.
Salsa mengangguk. Mereka berdua memang akan pergi ke Paris untuk beberapa hari. Ben dan temannya menyelenggarakan pameran disana. Nanti, ada juga lukisan Salsa yang ikut dipamerkan.
Ben beranjak dari ranjang menuju dapur. Selalu ada stok pasta di almari dapurnya karena itu makanan favorit Salsa. Dia merebus pasta dan menyiapkan bahan bahan untuk saus. Disaat dia tengah sibuk, ada lengan yang melingkar diperutnya.
"Mau aku bantuin?" Tawar Salsa sambil menyandarkan kepalanya di punggung Ben.
Ben melepaskan belitan tangan Salsa lalu membalikkan badan. Diciumnya bibir Salsa sekilas lalu mengangkat dan mendudukkan wanita cantik itu dimeja kitchen.
"Kamu hanya perlu duduk manis dan memperhatikanku saja, honey." Ucap Ben sambil mengusap lembut pipi Salsa.
Ben melanjutkan masak, sementara Salsa hanya memperhatikannya sambil memberikan kecupan kecupan singkat saat pria itu mendekat.
"Bagaimana, kalau setelah urusan kita di Paris selesai, kita pergi ke Madrid. Bukankah kau bilang rindu keluargamu disana?"
Ben seketika mengerutkan kening. Rencanya mereka akan di Paris kurang lebih dua minggu. Itu sudah cukup lama, biasanya Salsa tak mau lama lama diluar negeri, tapi kali ini, wanita itu sendiri yang mengusulkan lebih lama. Walaupun pernah sekali mereka sebulan lebih di luar negeri.
"Ada masalah apa?" Tanya Ben sambil menatap kedua mata Salsa dan menggenggam tangannya. Tak mungkin seperti ini jika semua baik baik saja.
"Aku lagi malas bertemu mama."
"Dia nyinggung soal anak lagi?"
Salsa mengangguk.
...----------------...
Malam ini, Mila sudah bersiap dengan setelah celana bahan dan blous. Meskipun Pak Raka sudah bilang jika malam ini tak perlu perpakain formal, tapi dia tetap memakainya. Baginya, entah dikantor atau bukan, kerja tetaplah kerja, jadi dia ingin selalu profesional.
Tiga puluh menit menuju jam 8, Mila mengetuk pintu kamar Pak Raka. Sebaiknya meraka menunggu klien di restoran dari pada harus ditunggu. Imej perusahaan harus dijaga agar klien makin percaya dengan kinerjanya.
"Sudah siap Mil?" Tanya Pak Raka yang baru saja membuka pintu.
"Sudah Pak, mari."
Pak Raka mengangguk lalu keluar dan mengunci pintu kembali.
"Saya sudah bilang, tak perlu berpakaian formal. Makan malam ini hanya sekedar makan malam biasa. Saya sangat kenal mister Smith, dia orangnya santai." Ujar Pak Raka ketika mereka berjalan beriringan menuju lift.
Mila hanya menanggapi dengan anggukan serta senyum. Dia memang lebih suka berpakaian seperti ini.
Hotel tak begitu ramai malam ini, hanya ada mereka berdua didalam lift.
"Bagaimana penampilan saya Mil? Kalau saya pakai baju casual gini, terlihat lebih muda gak?" Tanya Pak Raka sambil memperhatikan penampilannya di dinding lift.
"Iya Pak." Jawab Mila seraya mengulum senyum. Bohong dikit tak apa demi menyenangkan hati orang, batin Mila.
Mereka berdua melangkah keluar begitu lift terbuka. Entah hanya halusinasi atau nyata, Mila seperti melihat Elgar masuk ke lift disebelahnya.
Apa benar tadi Elgar? Tapi kenapa dia ada di Bandung?
"Ada apa Mil?" Tanya Pak Raka saat Mila bergeming didepan lift.
"Ti,tidak ada apa apa Pak, mari." Dia mengajak Pak Raka menuju restoran.
Karena memang belum jam 8, Mila dan Pak Raka masih harus menunggu kedatangan Mister Smith.
"Gimana tinggal di Jakarta, kerasan?" Tanya Pak Raka.
"Alhamdulilah Pak, kerasan. Seberapa majupun negeri orang, negeri sendiri jauh lebih nyaman."
"Saya sangat setuju. Ya, meskipun gaji disana jauh lebih besarkan, hahaha." Canda Pak Raka.
"Bisa saja bapak."
"Kemarin baru dapat gaji pertamakan?" Mila mengangguk. "Pasti syok, biasanya dapat tebal, eh...sekarang tipis." kelakarnya.
"Enggaklah Pak. Biaya hidup di Jakarta dan Singapura berbeda. Jadi sudah wajar jika gajinya beda."
Obrolan mereka terhenti saat mister smith dan asistennya datang. Benar yang dikatakan Pak Raka, mister smith orangnya sangat santai. Membicarakan bisnis terasa sangat menyenangkan dan jauh dari kata tegang.
"Maaf, saya permisi ke toilet sebentar." Ujar Pak Raka setelah dia menghabiskan makanannya.
Ternyata bukan ke toilet tujuan sebenarnya. Dia mendatangi seorang pelayan dan memberikan sesuatu padanya.
"Ingat, jangan sampai ada yang tahu."
Setelah pelayan itu mengangguk, Pak Raka mengambil beberapa lembar uang merah yang dia simpan di saku celananya lalu diberikan pada pelayan itu.
Tak mau Mila dan lainnnya curiga, Pak Raka cepat cepat kembali kemejanya.
Tak lama setelah Pak Raka kembali, seorang pelayan mengantarkan dessert kemeja mereka. Dia meletakan sesuai pesanan mereka masing masing.
Pak Raka benar benar tak sabar melihat Mila menyantap dessertnya.
"Pilihan kamu tepat sekali Mil, tiramisu disini memang yang paling enak." Sengaja Pak Raka bicara seperti itu agar Mila segera menyantap dessrtnya.
Usahanya berhasil, Mila terlihat makin penasaran dengan rasanya. Tak pelak dia segera mencicipi tiramisu yang terhidang dihadapannya. Ternyata benar, rasanya sungguh nikmat.
Pak Raka tersenyum miring melihat Mila menghabiskan satu potong tiramisu tanpa sisa. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera melihat reaksi obat itu. Tapi dia harus sabar, obat itu baru akan bereaksi seketar satu jam lagi.
Setelah mengobrol sebentar dan diselingi dengan kelakar, mister Smith dan asistennya undur diri. Dengan begitu, berakhir pula pekerjaan Mila hari ini. Besok hanya ada satu agenda lalu kembali ke Jakarta. Dia sudah tak sabar ingin pulang dan bertemu Saga.
Mila melihat ponselnya, ada dua panggilan tak terjawab dari ibunya. Pasti Saga mencarinya. Dia sudah janji akan membacakan dongeng untuknya malam ini. Semoga saja jagoannya itu belum tidur.
"Maaf Pak, karena sudah selesai, bolehkan saya kembali kekamar?"
"Silakan."
Begitu mendapatkan ijin, Mila tergopoh gopoh kembali kekamarnya. Dan begitu sampai, segera dia hubungi nomor Bu Rahmi.
"Saga udah tidur." Mila merasa bersalah mendengarnya. Harusnya dia bisa memperkirakan ini semua. Putranya pasti sangat kecewa.
"Dia pasti ngambek Bu."
"Namanya juga anak anak. Jangan terlalu dipikirkan. Besok belikan dia oleh oleh agar hatinya melunak."
"Baiklah Bu."
"Kamu baik baik sajakan Nak?" Dari suaranya, terdengar cemas.
"Mila baik baik saja Bu. Kerjaan hari ini udah selesai. Tinggal besok pagi saja, habis itu pulang."
"Hati hati ya nak."
"Iya, Bu."
Mila mengakhiri panggilannya. Dia masih kepikiran Saga, tadi ibunya pasti kesusahan membujuknya untuk tidur.
Mila memandangi foto Saga dilayar ponselnya. Makin besar, wajahnya makin mirip Elgar. Memorinya kembali pada kejadian di balkon dan lift, apa benar yang dia lihat tadi adalah Elgar?
Disaat Mila masih galau memikirkannya, ponselnya tiba tiba berdering. Tertera nama Pak Raka di layar.
kek penyakit kali dengar jnda
Lo selingkuh sama laki-laki yang mencintai Lo.
di bisa memberi Lo kebahagian yang tidak Lo dapat dari Elgard
tidak tau siapa aja yang kerja di perusahaan ya El