"Papa, mama jadi hantu," ujar anakku seraya memandang sesosok bayangan putih tepat di depan kami. Hal ini terjadi setelah pesawat yang kami tumpangi jatuh akibat kecelakaan udara yang parah dan tak bisa di atasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 3112, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Kembali nampak mama kita.
“Papa lihat!“
“Apa?“
Anakku menunjuk. Pada suatu tempat. Di sana. Lumayan jauh. Dari tempat kita berdiri sekarang. Tepat di depan. Yang Nampak sangat jelas, dan itu membutuhkan kekuatan untuk menuju ke sana.
Sementara sebelumnya aku tak mengerti apa-apa. Sebelum semuanya jelas. Pada posisi tersebut. Sebab memang tertutup sesuatu. Baik itu tumbuhan maupun sekedar benda aneh yang mampu mengaburkan pandangan kami. Yang jelas memang sangat kesulitan dalam mengamati secara jelas.
Mungkin sekitar lima puluh meter. Dari tempat kita berdiri. Sembari melangkah. Yang memang tujuannya untuk mencarinya. Akan tetapi kesulitan. Setelah berjumpa justru dia tak mau menunggu kita. Yang seakan tengah mencari cara.
Bagaimana mendapatkan posisinya. Sebab kami memang pelan. Mau terbang lagi tak bias. Tak ada alat. Melangkah sangat pelan. Dan yang jelas semuanya itu membutuhkan waktu. Berbeda dengannya yang mudah kemana-mana. Baik itu melayang atau cukup menghilang saja lalu menuju ke lokasi yang diinginkannya. Kami tak bias. Mesti jalan selangkah demi selangkah. Belum kalau ada penghalang semacam duri liar maupun tumbuhan besar, yang mesti di hindari.
Juga bila ada tebing tinggi, yang tak bias sekali lompat. Mesti di lewati lokasi yang tinggi dan mungkin luas tadi. Itulah penghalang yang begitu berat menghalang kita.
Saat kami jalan. Pada sebuah tikungan itu. Terlihat satu sosok. Yang aneh. Dan barangkali tak terlihat siapapun. hAnya kami.
Dia yang seakan melayang.
Sejenak hanya menoleh. Dengan tatapan yang sayu.
Dia terus berlalu. Entah mengapa. Memang rasanya ada sesuatu yang hendak dia sampaikan. Cuma kesulitan. Sebab selain aku yang mungkin belum paham akan kondisi itu, serta kehilangannya, mungkin juga kesulitan dirinya sendiri untuk bias memberi sepatah dua patah kata terakhirnya yang seakan segalanya terjadi tiba-tiba dan tak kami inginkan.
Meninggalkan kami. Yah aku sendirian kini. Dengan tak bias menerima keadaan. Namun begitu mesti di coba. Sebab segalanya itu akan bias berlalu. Meski lambat.
Seiring waktu dan perjalanan hidup yang belum bias di tebak bagaimana dan mengapa, nantinya akan mempengaruhi segalanya. Itu yang mungkin terpikirkan oleh semua. Supaya butuh banyak hal yang meti di lalui dengan hati lapang. Serta sudah taka da beban memberat di batin kami ini.
Dan Kami terus berjalan. Mengikuti langkahnya. Walau tak jelas. Sebab sambil lalu. Terus menghilang. Langkah yang memang tidak melangkah. Seperti melayang secara datar saja. Pelan-pelan, lalu jauh. Sebelum memang hilang sama sekali. Bersama semilirnya angina. Dan kabut waktu yang menjadi misteri bagi kami, bagaimana mesti menguaknya jika segala sesuatunya juga masih buram. Serta tak bakalan segera terurai tanpa ada secercah sinar yang menampakkan diri.
Itu yang membuat kami kebingungan. Mengapa demikian. Apakah memang mau menunjukkan sesuatu. Atau karena beban berat sehingga dia demikian. Mungkin juga karena aku yang belum mampu menerima segala sesuatunya. Yang terang segalanya memang serba membingungkan.
Kami tetap belum mendapat pesawat. Entah mengapa juga. Padahal kalau ketemu, maka tentu semuanya akan lega. Dan dia juga bias langsung pergi ke keabadian. Serta tak perlu menemui kami, dengan berbagai rasa yang mendalam di batin dalam ini. Sebab tak sanggup kehilangan. Namun bagaimana lagi. Semua telah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Dan kesulitan untuk memutar waktu lagi.
